Rocky Gerung: IPO Subholding Pertamina Ibarat Perdagangan Organ Tubuh
loading...
A
A
A
Sementara itu, Refly Harun mengingatkan bahwa Pertamina adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak serta harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Amanat Pasal 33 UUD 1945 dan UU BUMN tersebut dipastikan bertentangan atau menimbulkan konflik kepentingan dengan investor swasta dan asing yang tentu lebih mengutamakan keuntungan sebesar-besarnya.(
)
Refly mengatakan, untuk menjamin BBM digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, maka lini bisnis utama Pertamina dari hulu sampai hilir, harus integral atau satu kesatuan. Bukan justru dipecah-pecah menjadi enam Subholding sebagaimana yang dilakukan Direktur Utama Pertamina pada Juni 2020 lalu.
Refly menambahkan, salah kaprah jika Pertamina dikelola dan diarahkan sama seperti perusahaan swasta yang target utamanya adalah laba sebesar-besarnya. Hal itu karena Pertamina sebagai BUMN memiliki fungsi dan tugas sebagai agen pembangunan dan perusahaan negara yang menciptakan nilai-nilai baru, misalnya nilai pro lingkungan dan pro HAM.
Pakar Energi Kurtubi mengatakan, makna cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak, bukan hanya dikuasai negara sebatas cara mengatur atau menerbitkan regulasi. Selain regulasi, negara juga harus memilikinya serta mengeksplorasi dan mengeksploitasinya melalui perusahaan negara yang diberi Kuasa Pertambangan. Terkait dengan alasan efisiensi jika Subholding Pertamina dilepas ke lantai bursa, Kurtubi mengingatkan bahwa monopoli negara jauh lebih efisien dari mekanisme pasar bebas. "Harus diingat pasar besar kalah efisien dari monopoli negara," kata Kurtubi.
Adapun Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, pembentukan enam subholding Pertamina berpotensi menimbulkan persaingan usaha antar anak perusahaan Pertamina. Padahal, untuk menjamin pasokan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar, lini bisnis inti Pertamina harus terintegrasi.
Hakeng juga mengingatkan, penyaluran BBM ke wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar di Indonesia disubsidi Pertamina hingga mencapai Rp35.000-Rp50.000 per liter. Menurutnya, investor swasta dan asing pasar bebas yang sejatinya berorientasi pada pencapai laba sebesar-besarnya, tentu tidak mau menanggung beban subsidi tersebut.
Refly mengatakan, untuk menjamin BBM digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, maka lini bisnis utama Pertamina dari hulu sampai hilir, harus integral atau satu kesatuan. Bukan justru dipecah-pecah menjadi enam Subholding sebagaimana yang dilakukan Direktur Utama Pertamina pada Juni 2020 lalu.
Refly menambahkan, salah kaprah jika Pertamina dikelola dan diarahkan sama seperti perusahaan swasta yang target utamanya adalah laba sebesar-besarnya. Hal itu karena Pertamina sebagai BUMN memiliki fungsi dan tugas sebagai agen pembangunan dan perusahaan negara yang menciptakan nilai-nilai baru, misalnya nilai pro lingkungan dan pro HAM.
Pakar Energi Kurtubi mengatakan, makna cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak, bukan hanya dikuasai negara sebatas cara mengatur atau menerbitkan regulasi. Selain regulasi, negara juga harus memilikinya serta mengeksplorasi dan mengeksploitasinya melalui perusahaan negara yang diberi Kuasa Pertambangan. Terkait dengan alasan efisiensi jika Subholding Pertamina dilepas ke lantai bursa, Kurtubi mengingatkan bahwa monopoli negara jauh lebih efisien dari mekanisme pasar bebas. "Harus diingat pasar besar kalah efisien dari monopoli negara," kata Kurtubi.
Adapun Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, pembentukan enam subholding Pertamina berpotensi menimbulkan persaingan usaha antar anak perusahaan Pertamina. Padahal, untuk menjamin pasokan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar, lini bisnis inti Pertamina harus terintegrasi.
Hakeng juga mengingatkan, penyaluran BBM ke wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar di Indonesia disubsidi Pertamina hingga mencapai Rp35.000-Rp50.000 per liter. Menurutnya, investor swasta dan asing pasar bebas yang sejatinya berorientasi pada pencapai laba sebesar-besarnya, tentu tidak mau menanggung beban subsidi tersebut.
(abd)