Pakar Hukum Tata Negara: Mazhab Kuantitatif Bisa Diperdebatkan dalam Gugatan PHPU
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai, mazhab kuantitatif dalam gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) masih bisa diperdebatkan. Hal itu dikatakannya dalam acara Dialog Spesial Rakyat Bersuara di iNews, Selasa (2/4/2024).
"Kalau saya sendiri merasa bahwa dalam banyak hal terutama dalam pemilu yang sekarang, mazhab kuantitatif itu sangat bisa diperdebatkan kalau saya bahkan dalam posisi sangat tidak setuju," ucap Bivitri.
Bivitri mengatakan, bahwa hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pernah melihat perkara dalam bentuk kualitatif dalam Pilkada 2020. "Di pilkada pernah, misalnya yang terjadi pada 2020 itu ada tiga yang dilihat secara kualitatif. Dalam arti MK mau melangkah keadilan yang sifatnya lebih substantif, tidak angka-angka itu mereka sudah lakukan," katanya.
Bivitri menjelaskan, saat itu MK telah menutup perkara tersebut. Hanya saja, MK memandang jika perkara tersebut bersifat serius karena melibatkan warga negara asing mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
"Kami juga waktu itu deg-degan dan ternyata MK mau buka pintu lagi dan ternyata pemungutan suara ulang jadi itu adalah satu catatan penting, tapi memang pilkada," ungkapnya.
Menurutnya, jika hanya berbicara tentang kuantitatif maka perkara tersebut tidak akan bisa diselesaikan. "Mau pakai Sirekap, perhitungan manual adalah mengapa angka itu bisa sampai ke situ. Mau pakai sistem secanggih apapun engga akan bisa dibaca, mau yang manual ataupun tidak," jelasnya.
"Maksud saya adalah kenapa kemudian main-main di 13 juta atau berapa persen itu tidak akan menyelesaikan masalah, karena ada persoalan-persoalan yang sifatnya pelanggaran-pelanggaran hukum sebenarnya yang tentu saja belum bisa dibuktikan dan ini yang sedang tengah berjalan," tambahnya.
Bivitri menilai, saat ini tidak sedikit masyarakat yang berpikir bahwa pemilu itu hanya soal angka, hitung-hitungan, pencoblosan. "Yang sebenarnya sudah dilakukan untuk membuat orang memilih atau tidak memilih paslon tertentu, oleh orang yang memegang kekuasaan dalam hal ini adalah presiden karena kekuasaan demikian besar dan anaknya yang nyalon, jadi kita jangan lupa konteks nepotismenya ini," tuturnya.
"Dan saya kira kebanyakan orang sekarang berpikir bahwa pemilu itu hanya soal angka, pemilu itu hanya soal hitung-hitungan pencoblosan padahal pemilu itu proses," tandasnya.
"Kalau saya sendiri merasa bahwa dalam banyak hal terutama dalam pemilu yang sekarang, mazhab kuantitatif itu sangat bisa diperdebatkan kalau saya bahkan dalam posisi sangat tidak setuju," ucap Bivitri.
Bivitri mengatakan, bahwa hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pernah melihat perkara dalam bentuk kualitatif dalam Pilkada 2020. "Di pilkada pernah, misalnya yang terjadi pada 2020 itu ada tiga yang dilihat secara kualitatif. Dalam arti MK mau melangkah keadilan yang sifatnya lebih substantif, tidak angka-angka itu mereka sudah lakukan," katanya.
Bivitri menjelaskan, saat itu MK telah menutup perkara tersebut. Hanya saja, MK memandang jika perkara tersebut bersifat serius karena melibatkan warga negara asing mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
"Kami juga waktu itu deg-degan dan ternyata MK mau buka pintu lagi dan ternyata pemungutan suara ulang jadi itu adalah satu catatan penting, tapi memang pilkada," ungkapnya.
Menurutnya, jika hanya berbicara tentang kuantitatif maka perkara tersebut tidak akan bisa diselesaikan. "Mau pakai Sirekap, perhitungan manual adalah mengapa angka itu bisa sampai ke situ. Mau pakai sistem secanggih apapun engga akan bisa dibaca, mau yang manual ataupun tidak," jelasnya.
"Maksud saya adalah kenapa kemudian main-main di 13 juta atau berapa persen itu tidak akan menyelesaikan masalah, karena ada persoalan-persoalan yang sifatnya pelanggaran-pelanggaran hukum sebenarnya yang tentu saja belum bisa dibuktikan dan ini yang sedang tengah berjalan," tambahnya.
Bivitri menilai, saat ini tidak sedikit masyarakat yang berpikir bahwa pemilu itu hanya soal angka, hitung-hitungan, pencoblosan. "Yang sebenarnya sudah dilakukan untuk membuat orang memilih atau tidak memilih paslon tertentu, oleh orang yang memegang kekuasaan dalam hal ini adalah presiden karena kekuasaan demikian besar dan anaknya yang nyalon, jadi kita jangan lupa konteks nepotismenya ini," tuturnya.
"Dan saya kira kebanyakan orang sekarang berpikir bahwa pemilu itu hanya soal angka, pemilu itu hanya soal hitung-hitungan pencoblosan padahal pemilu itu proses," tandasnya.
(rca)