Ramai-ramai Ajukan Jadi Amicus Curiae untuk Mahkamah Konstitusi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial atau Center For Law and Social Justice (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) serta puluhan seniman dan budayawan mengajukan menjadi Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memeriksa perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024. Adapun berkas Amicus Curiae dari LSJ UGM 31 halaman.
Penyerahan berkas Amicus Curiae ini dilandasi atas indikasi yang sangat kuat bahwa terdapat praktik-praktik curang dalam penyelenggaraan rangkaian Pilpres 2024. “Penyerahan tadi siang kurang lebih jam 11.30-12.00. Tadi pagi saya tiba di Jakarta (berangkat dari Yogyakarta) dan langsung menuju ke Mahkamah Konstitusi setelah mendapatkan kopi fisik," ujar Peneliti LSJ FH UGM Antonella dalam konferensi pers secara daring melalui Zoom, Senin (1/4/2024) sore.
Ia mengaku sempat kebingungan karena tidak diarahkan dokumen harus disampaikan ke mana. “Tidak diberitahukan masuknya melalui mana. Saya bertemu dengan sekuriti dan diterima di lobby, ada kesalahan dari pegawai MK. Ada kepaniteraan menyebutkan admisi tersebut tidak bisa diterima dari pihak tidak mengajukan ke pihak berperkara. Kita harus memasukkan melalui pemohon yakni 01 dan 03. Seharusnya kita sebagai masyarakat sipil bisa mengajukan," ungkapnya.
Kesulitan itu baru mereda setelah pihak humas Mahkamah Konstitusi bersedia menemui Antonella sebagai perwakilan dari Fakultas Hukum UGM. "Ia menyebutkan amisi yang diberikan oleh berbagai pihak akan diserahkan ke delapan orang Majelis Hakim MK sebagai bahan pertimbangan," kata dia.
Ketua LSJ FH Departemen Hukum Tata Negara UGM Herlambang P. Wiratraman mengungkapkan alasan pihaknya mengajukan Amicus Curiae tersebut. "Praktik-praktik curang dilakukan dengan mengintervensi lembaga peradilan dan lembaga penyelenggara pemilu, serta penggunaan sumber daya negara. Sementara hal ini bertentangan dengan mandat konstitusional Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 tentang Pemilu Luber Jurdil," ujar Herlambang.
Pihaknya khawatir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggunakan dalil-dalil limitatif dari regulasi yang ada dan membiarkan dugaan kecurangan Pemilu 2024 secara terstruktur, sistematis, dan masif dibiarkan begitu saja. Para akademisi atau peneliti FH UGM mengajukan Amicus Curiae agar majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan argumen hukum yang mendayagunakan perspektif dan nalar hukum kritis atas konteks politik elektoral yang menunjukkan pelumrahan kebijakan yang menopang kepentingan politik paslon, termasuk pembiaran konflik kepentingan yang memerosotkan keadaban dalam bernegara.
"Pemilu itu merupakan hak asasi manusia. Kecurangan pemilu melanggar hak asasi manusia karena tidak dilaksanakan dengan kejujuran, keadilan. Putusan MK Nomor 90 membuat nepotisme dan bentuk campur tangan pemerintah karena ada anak dari presiden yang sedang berkuasa menjadi kontestan Pilpres 2024," kata dia.
Ia menjelaskan alasan lainnya mendaftar Amicus Curiae ke Mahkamah Konstitusi sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. "Kita sebut amisi karena plural. Karena lebih dari satu kita sebut amisi. Selain dikaji juga didukung akademisi, sebagai kritik terkait sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi. MK kita khawatirkan memutuskan dengan tafsir sempit, nalar kritis tidak dibangun. Pendekatan sangat limitatif. Ada sejumlah bunyi di UU MK, kalau tidak hati-hati, penggunaan pasal sangat restriktif dan limitatif," paparnya.
Penyerahan berkas Amicus Curiae ini dilandasi atas indikasi yang sangat kuat bahwa terdapat praktik-praktik curang dalam penyelenggaraan rangkaian Pilpres 2024. “Penyerahan tadi siang kurang lebih jam 11.30-12.00. Tadi pagi saya tiba di Jakarta (berangkat dari Yogyakarta) dan langsung menuju ke Mahkamah Konstitusi setelah mendapatkan kopi fisik," ujar Peneliti LSJ FH UGM Antonella dalam konferensi pers secara daring melalui Zoom, Senin (1/4/2024) sore.
Ia mengaku sempat kebingungan karena tidak diarahkan dokumen harus disampaikan ke mana. “Tidak diberitahukan masuknya melalui mana. Saya bertemu dengan sekuriti dan diterima di lobby, ada kesalahan dari pegawai MK. Ada kepaniteraan menyebutkan admisi tersebut tidak bisa diterima dari pihak tidak mengajukan ke pihak berperkara. Kita harus memasukkan melalui pemohon yakni 01 dan 03. Seharusnya kita sebagai masyarakat sipil bisa mengajukan," ungkapnya.
Kesulitan itu baru mereda setelah pihak humas Mahkamah Konstitusi bersedia menemui Antonella sebagai perwakilan dari Fakultas Hukum UGM. "Ia menyebutkan amisi yang diberikan oleh berbagai pihak akan diserahkan ke delapan orang Majelis Hakim MK sebagai bahan pertimbangan," kata dia.
Ketua LSJ FH Departemen Hukum Tata Negara UGM Herlambang P. Wiratraman mengungkapkan alasan pihaknya mengajukan Amicus Curiae tersebut. "Praktik-praktik curang dilakukan dengan mengintervensi lembaga peradilan dan lembaga penyelenggara pemilu, serta penggunaan sumber daya negara. Sementara hal ini bertentangan dengan mandat konstitusional Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 tentang Pemilu Luber Jurdil," ujar Herlambang.
Pihaknya khawatir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggunakan dalil-dalil limitatif dari regulasi yang ada dan membiarkan dugaan kecurangan Pemilu 2024 secara terstruktur, sistematis, dan masif dibiarkan begitu saja. Para akademisi atau peneliti FH UGM mengajukan Amicus Curiae agar majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan argumen hukum yang mendayagunakan perspektif dan nalar hukum kritis atas konteks politik elektoral yang menunjukkan pelumrahan kebijakan yang menopang kepentingan politik paslon, termasuk pembiaran konflik kepentingan yang memerosotkan keadaban dalam bernegara.
"Pemilu itu merupakan hak asasi manusia. Kecurangan pemilu melanggar hak asasi manusia karena tidak dilaksanakan dengan kejujuran, keadilan. Putusan MK Nomor 90 membuat nepotisme dan bentuk campur tangan pemerintah karena ada anak dari presiden yang sedang berkuasa menjadi kontestan Pilpres 2024," kata dia.
Ia menjelaskan alasan lainnya mendaftar Amicus Curiae ke Mahkamah Konstitusi sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. "Kita sebut amisi karena plural. Karena lebih dari satu kita sebut amisi. Selain dikaji juga didukung akademisi, sebagai kritik terkait sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi. MK kita khawatirkan memutuskan dengan tafsir sempit, nalar kritis tidak dibangun. Pendekatan sangat limitatif. Ada sejumlah bunyi di UU MK, kalau tidak hati-hati, penggunaan pasal sangat restriktif dan limitatif," paparnya.