INA Digital, Mungkinkah Terwujud?
loading...
A
A
A
Ketiga, keterampilan (skill) yang belum mumpuni. Penerapan super apps ini jelas membutuhkan penyesuaian kerja-kerja aparatur yang lebih taktis dan adaptif. Skill adjustment ini meski membutuhkan waktu dan kesabaran, tentu sebuah keniscayaan. Jika ada masyarakat melaporkan adanya kesulitan dalam mendaftar sertifikasi tanah misalnya, aparat dituntut tidak hanya lihai dalam layanan aplikasi, juga membuat kebijakan yang solutif. Tentu di era keterbukaan informasi saat ini, respons yang diberikan harus cepat dan tepat.
Keempat, kebutuhan anggaran yang besar. Transformasi layanan digital secara nasional ini jelas menguras anggaran negara tidak sedikit. Baik itu mulai dari perencanaan, pembangunan sistem, hingga sosialisasi ke publik. Namun lebih dari itu, harus dipahami bahwa besarnya anggaran itu sebanding dengan keuntungan yang tercipta. Seperti terwujudnya akan kemudahan akses, kecepatan layanan, responsivitas aduan, transparansi dan terhindar dari praktik korupsi.
Di luar empat hal di atas, tentu masih banyak tantangan lain yang muncul di lapangan. Hadirnya beragam tantangan adalah hal yang lumrah dalam sebuah kebijakan. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah bagaimana agar super apps ini benar-benar bisa terwujud sesuai target waktu, terealisasi secara membumi dan memberikan banyak kemanfaatan. INA Digital adalah megaproyek pemerintah dalam layanan publik bercirikan digital. Sudah seharusnya, program besar ini dikomunikasikan dengan matang. Dalam ranah digital yang meniscayakan aspek demokratis-deliberatif ini seperti dikonsepsikan Vincent Mosco (2014), publik perlu dilibatkan secara aktif dalam memberi pertimbangan-pertimbangan kebijakan. Strategi ini penting untuk memotret secara nyata situasi batin dan layanan yang menjadi kebutuhan mendasar publik. Ribuan aplikasi yang mangkrak selama ini harus menjadi pelajaran berharga akan pentingnya membangun layanan berbasis kebutuhan riil, bukan semata anggaran.
Keberhasilan Kementerian Agama (Kemenag) yang membangun layanan digital dalam satu aplikasi Pusaka bisa menjadi benchmark. Sejak diluncurkan resmi pada 25 November 2022 lalu, Pusaka telah memberikan kemudahan layanan baik kepada internal pegawai maupun masyarakat seperti pendaftaran menikah, haji, beasiswa, bantuan, pelatihan, dan lainnya. Meski belum sepenuhnya tuntas, aplikasi Pusaka yang diinisiasi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini bisa jadi contoh karena setidaknya ada kesungguhan Kemenag untuk mengintegrasikan 2.258 aplikasi yang ada. Ini tentu bukan kerja enteng, karena Kemenag memiliki 4.173 satuan kerja dan 250 layanan publik alias terbesar di Indonesia.
Bulan Mei menyisakan waktu kurang dua bulan lagi. Apalagi jika dikurangi banyaknya hari libur karena Hari Raya Idulfitri dan cuti bersama, maka hari efektif hakikatnya semakin tipis. Kendati pun begitu, rencana besar pemerintah memulai INA Digital pada Mei nanti bukanlah hal yang tak mungkin. Indonesia telah memiliki sederet pengalaman dalam transformasi digital. Setidaknya, ini diakui oleh dunia, di mana pada 2023 merujuk data IMD WDCR, daya saing digital Indonesia naik menjadi peringkat 45. Meski masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand, capaian Indonesia terus mengarah ke tren positif. Survei terakhir tentang e-government yang dirilis PBB pada 2022 juga menunjukkan, peringkat Indonesia membaik ke-77 dari sebelumnya di posisi 88 pada 2020. Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang berjalan membaik menjadi salah satu kunci pencapaian ini.
Selama empat tantangan di atas benar-benar disadari dan dicarikan solusi yang tepat, peluncuran super apps INA Digital mulai Mei nanti akan bisa diwujudkan. Kuncinya adalah keseriusan. Tanpa itu, layanan yang terintegrasi tunggal ini bakal akan terus menjadi impian. Bahkan sampai pemimpin negeri ini berganti hingga tak terbilang.
Jurnalis Sindonews.com
Mahasiswa S3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keempat, kebutuhan anggaran yang besar. Transformasi layanan digital secara nasional ini jelas menguras anggaran negara tidak sedikit. Baik itu mulai dari perencanaan, pembangunan sistem, hingga sosialisasi ke publik. Namun lebih dari itu, harus dipahami bahwa besarnya anggaran itu sebanding dengan keuntungan yang tercipta. Seperti terwujudnya akan kemudahan akses, kecepatan layanan, responsivitas aduan, transparansi dan terhindar dari praktik korupsi.
Di luar empat hal di atas, tentu masih banyak tantangan lain yang muncul di lapangan. Hadirnya beragam tantangan adalah hal yang lumrah dalam sebuah kebijakan. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah bagaimana agar super apps ini benar-benar bisa terwujud sesuai target waktu, terealisasi secara membumi dan memberikan banyak kemanfaatan. INA Digital adalah megaproyek pemerintah dalam layanan publik bercirikan digital. Sudah seharusnya, program besar ini dikomunikasikan dengan matang. Dalam ranah digital yang meniscayakan aspek demokratis-deliberatif ini seperti dikonsepsikan Vincent Mosco (2014), publik perlu dilibatkan secara aktif dalam memberi pertimbangan-pertimbangan kebijakan. Strategi ini penting untuk memotret secara nyata situasi batin dan layanan yang menjadi kebutuhan mendasar publik. Ribuan aplikasi yang mangkrak selama ini harus menjadi pelajaran berharga akan pentingnya membangun layanan berbasis kebutuhan riil, bukan semata anggaran.
Keberhasilan Kementerian Agama (Kemenag) yang membangun layanan digital dalam satu aplikasi Pusaka bisa menjadi benchmark. Sejak diluncurkan resmi pada 25 November 2022 lalu, Pusaka telah memberikan kemudahan layanan baik kepada internal pegawai maupun masyarakat seperti pendaftaran menikah, haji, beasiswa, bantuan, pelatihan, dan lainnya. Meski belum sepenuhnya tuntas, aplikasi Pusaka yang diinisiasi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini bisa jadi contoh karena setidaknya ada kesungguhan Kemenag untuk mengintegrasikan 2.258 aplikasi yang ada. Ini tentu bukan kerja enteng, karena Kemenag memiliki 4.173 satuan kerja dan 250 layanan publik alias terbesar di Indonesia.
Bulan Mei menyisakan waktu kurang dua bulan lagi. Apalagi jika dikurangi banyaknya hari libur karena Hari Raya Idulfitri dan cuti bersama, maka hari efektif hakikatnya semakin tipis. Kendati pun begitu, rencana besar pemerintah memulai INA Digital pada Mei nanti bukanlah hal yang tak mungkin. Indonesia telah memiliki sederet pengalaman dalam transformasi digital. Setidaknya, ini diakui oleh dunia, di mana pada 2023 merujuk data IMD WDCR, daya saing digital Indonesia naik menjadi peringkat 45. Meski masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand, capaian Indonesia terus mengarah ke tren positif. Survei terakhir tentang e-government yang dirilis PBB pada 2022 juga menunjukkan, peringkat Indonesia membaik ke-77 dari sebelumnya di posisi 88 pada 2020. Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang berjalan membaik menjadi salah satu kunci pencapaian ini.
Selama empat tantangan di atas benar-benar disadari dan dicarikan solusi yang tepat, peluncuran super apps INA Digital mulai Mei nanti akan bisa diwujudkan. Kuncinya adalah keseriusan. Tanpa itu, layanan yang terintegrasi tunggal ini bakal akan terus menjadi impian. Bahkan sampai pemimpin negeri ini berganti hingga tak terbilang.
Jurnalis Sindonews.com
Mahasiswa S3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(abd)