INA Digital, Mungkinkah Terwujud?

Senin, 01 April 2024 - 07:14 WIB
loading...
INA Digital, Mungkinkah Terwujud?
Indonesia akan memiliki layanan pemerintah yang sangat terintegrasi, bernama INA Digital per Mei 2024. FOTO/SINDOnews/MASYHUDI
A A A
BULAN depan atau per Mei 2024 nanti, Indonesia akan memiliki layanan pemerintah yang sangat terintegrasi. Namanya, INA Digital. Presiden Joko Widodo, Senin (25/3/2024) lalu sudah menetapkan deadline agar portal nasional ini benar mulai terwujud meski harus bertahap. Pada September 2024, portal nasional ditarget benar-benar beroperasi penuh, setidaknya untuk 9 layanan prioritas. Yakni layanan kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, identitas digital berbasis data kependudukan, Satu Data Indonesia, transaksi keuangan, integrasi portal service, layanan aparatur negara, dan SIM online.

Ini tentu kabar baik sekaligus lompatan luar biasa bagi bangsa Indonesia. Jika ini benar terealisasi, tentu menjadi catatan sejarah. Sebab sejak Indonesia berdiri 78 silam, baru kali ini ada layanan kepada rakyat yang terhimpun dalam satu genggaman. Bahkan sebagian mungkin bisa dilakukan cukup dalam beberapa sentuhan saja lewat telepon seluler.

INA Digital ini memang diproyeksikan sangat lengkap. Dari urusan data kependudukan, pendidikan, kesehatan, pangan, papan, investasi, hingga pernikahan semua bisa dilayani dalam satu aplikasi. Dengan layanan ini, masyarakat kian mudah seperti untuk urusan bayar kuliah, akses ke rumah sakit, antre periksa dokter, mendapat vaksin atau imunisasi, akses bantuan sosial, urus BPJS, hingga kartu kependudukan. Semua mudah karena keseluruhan urusan itu hanya bermodal satu kali mengisi data aplikasi, bukan malah berkali-kali seperti yang selama ini terjadi. Dalam jangka panjang, INA Digital diyakini bisa membuat birokrasi yang efisien dan efektif, dan mampu mengeskalasi pertumbuhan ekonomi.

Sederhananya, government technology (govtech) ini adalah satu layanan Indonesia yang mengurusi dari sejak masalah kelahiran, kehidupan, hingga kematian. Harapan besarnya, semua akan menjadi lebih praktis, mudah, cepat, hemat anggaran, berkeadilan, dan bebas praktik korupsi.

Namun sejatinya, INA Digital ini pun bukan rencana baru-baru amat. Ruh layanan pemerintah yang terpadu dan mengedepankan transparansi ini sudah termaktub dalam Nawa Cita atau 9 Program Perubahan untuk Indonesia yang diusung Jokowi saat maju sebagai calon presiden, satu dasawarsa silam. Pada poin 5 Nawacita, pasangan capres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla bertekad membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratif dan terpercaya. Pada periode Jokowi-Ma’ruf, satu di antara lima visi besar yang diusung juga berisi tentang reformasi birokrasi. Artinya, kesadaran untuk membangun sistem dan tata kelola pemerintah yang mudah diakses sudah muncul sangat lama. Jika berpijak dari fakta ini, tentu bisa dikatakan Indonesia justru telat merealisasikan layanan tunggal ini.

Sementara di belahan negara lain, seperti Swedia, Estonia, layanan tunggal yang terhimpun dalam satu aplikasi ini sudah menjadi hal lumrah. Bahkan di Asia, China dan India adalah di antara negara berpenduduk besar layaknya Indonesia yang lebih dulu menerapkan program transformasi digital layanan publiknya.

Tapi daripada tidak sama sekali, tentu lebih baik tetap memberlakukan aplikasi super ini (super apps) ini meski agak terlambat. Sebab jika tak mau bergerak maju, seperti dikatakan Johan Wolfgang von Goethe, filsuf Jerman, maka kemunduran peradaban menjadi risikonya. Bagi Indonesia, dampak yang jelas nyata adalah pemerintah pasti belepotan dalam memberikan layanan publik, anggaran kian membengkak, dan korupsi terus saja merajalela.

Untuk menuju layanan publik yang diidealkan diakui tidak mudah. Saat ini ada beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mewujudkan layanan tunggal tersebut. Pertama, saat ini seluruh kementerian dan kembaga (KL) telah memiliki aplikasi layanan. Jumlah aplikasi tiap KL beragam. Bahkan ada yang mencapai ribuan karena tiap direktorat, kantor perwakilan hingga di level unit membangun aplikasi sendiri-sendiri. Situasi ini tidak terelakkan karena memang selama ini tidak ada regulasi yang kuat dan mengikat untuk mengatur pembuatan aplikasi-aplikasi itu. Pada saat yang sama, mereka juga memiliki semangat besar untuk memberikan kemudahan masyarakat mengakses layanan seiring perkembangan teknologi digital dalam kurun dua dasawarsa terakhir.

Data di Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo) menunjukkan, saat ini ada sekitar 27.000 aplikasi yang dimiliki pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pengintegrasian 27.000 aplikasi dalam satu wadah ini tentu bukan tugas ringan. Secara teknis, persoalan ini membutuhkan pola pendekatan dan kecermatan tersendiri sebab di belakang mereka ada juga ribuan ahli IT dan konsultan yang membangun sistem jaringan tak seragam. Meski jelas bakal jelimet dan tentu ruwet, namun bukan berarti tanpa ada solusi. Munculnya single sign on (SSO) yang bernama INA Pass sebagai kunci untuk penghubung ribuan aplikasi itu harus benar-benar bisa termanfaatkan dengan baik.

Kedua, pengelola aplikasi belum memiliki satu visi. Lumrah ditemui, sebagian pengelola membuat aplikasi lebih karena berbasis serapan anggaran, kepentingan, ego sektoral bahkan gengsi dan sebagainya. Mestinya, layanan publik benar-benar bertumpu pada publik, agar tercipta interaksi, partipasi, komunikasi aktif, deliberasi dan transparansi. Ketidaksamaan visi ini juga terpotret banyaknya aplikasi pemerintah yang tidak berbasis ekstensi domain go.id, namun com, id, net, web, dan lainnya. Ketika gerakan satu aplikasi INA Digital dikobarkan, termasuk dikuatkan lewat Peraturan Presiden No 82 Tahun 2023, kesatuan visi ini menjadi harga mati. Kementerian yang dipasrahi mengorganisir dalam program ini harus melakukan langkah berani. Tiap aplikasi itu harus terkoneksi di application programming interface (API) atau sistem layanan penghubung pemerintah (SPLP) untuk kemudian disambungkan pada portal nasional. Suka tidak suka, mau tidak mau, semua pengelola harus rela dan bekerja dalam satu frekuensi.

Ketiga, keterampilan (skill) yang belum mumpuni. Penerapan super apps ini jelas membutuhkan penyesuaian kerja-kerja aparatur yang lebih taktis dan adaptif. Skill adjustment ini meski membutuhkan waktu dan kesabaran, tentu sebuah keniscayaan. Jika ada masyarakat melaporkan adanya kesulitan dalam mendaftar sertifikasi tanah misalnya, aparat dituntut tidak hanya lihai dalam layanan aplikasi, juga membuat kebijakan yang solutif. Tentu di era keterbukaan informasi saat ini, respons yang diberikan harus cepat dan tepat.

Keempat, kebutuhan anggaran yang besar. Transformasi layanan digital secara nasional ini jelas menguras anggaran negara tidak sedikit. Baik itu mulai dari perencanaan, pembangunan sistem, hingga sosialisasi ke publik. Namun lebih dari itu, harus dipahami bahwa besarnya anggaran itu sebanding dengan keuntungan yang tercipta. Seperti terwujudnya akan kemudahan akses, kecepatan layanan, responsivitas aduan, transparansi dan terhindar dari praktik korupsi.

Di luar empat hal di atas, tentu masih banyak tantangan lain yang muncul di lapangan. Hadirnya beragam tantangan adalah hal yang lumrah dalam sebuah kebijakan. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah bagaimana agar super apps ini benar-benar bisa terwujud sesuai target waktu, terealisasi secara membumi dan memberikan banyak kemanfaatan. INA Digital adalah megaproyek pemerintah dalam layanan publik bercirikan digital. Sudah seharusnya, program besar ini dikomunikasikan dengan matang. Dalam ranah digital yang meniscayakan aspek demokratis-deliberatif ini seperti dikonsepsikan Vincent Mosco (2014), publik perlu dilibatkan secara aktif dalam memberi pertimbangan-pertimbangan kebijakan. Strategi ini penting untuk memotret secara nyata situasi batin dan layanan yang menjadi kebutuhan mendasar publik. Ribuan aplikasi yang mangkrak selama ini harus menjadi pelajaran berharga akan pentingnya membangun layanan berbasis kebutuhan riil, bukan semata anggaran.

Keberhasilan Kementerian Agama (Kemenag) yang membangun layanan digital dalam satu aplikasi Pusaka bisa menjadi benchmark. Sejak diluncurkan resmi pada 25 November 2022 lalu, Pusaka telah memberikan kemudahan layanan baik kepada internal pegawai maupun masyarakat seperti pendaftaran menikah, haji, beasiswa, bantuan, pelatihan, dan lainnya. Meski belum sepenuhnya tuntas, aplikasi Pusaka yang diinisiasi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini bisa jadi contoh karena setidaknya ada kesungguhan Kemenag untuk mengintegrasikan 2.258 aplikasi yang ada. Ini tentu bukan kerja enteng, karena Kemenag memiliki 4.173 satuan kerja dan 250 layanan publik alias terbesar di Indonesia.

Bulan Mei menyisakan waktu kurang dua bulan lagi. Apalagi jika dikurangi banyaknya hari libur karena Hari Raya Idulfitri dan cuti bersama, maka hari efektif hakikatnya semakin tipis. Kendati pun begitu, rencana besar pemerintah memulai INA Digital pada Mei nanti bukanlah hal yang tak mungkin. Indonesia telah memiliki sederet pengalaman dalam transformasi digital. Setidaknya, ini diakui oleh dunia, di mana pada 2023 merujuk data IMD WDCR, daya saing digital Indonesia naik menjadi peringkat 45. Meski masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand, capaian Indonesia terus mengarah ke tren positif. Survei terakhir tentang e-government yang dirilis PBB pada 2022 juga menunjukkan, peringkat Indonesia membaik ke-77 dari sebelumnya di posisi 88 pada 2020. Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang berjalan membaik menjadi salah satu kunci pencapaian ini.

Selama empat tantangan di atas benar-benar disadari dan dicarikan solusi yang tepat, peluncuran super apps INA Digital mulai Mei nanti akan bisa diwujudkan. Kuncinya adalah keseriusan. Tanpa itu, layanan yang terintegrasi tunggal ini bakal akan terus menjadi impian. Bahkan sampai pemimpin negeri ini berganti hingga tak terbilang.


Jurnalis Sindonews.com

Mahasiswa S3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4142 seconds (0.1#10.140)