Kasus Korporasi Meikarta: Solusi atau Masalah?

Kamis, 01 November 2018 - 08:30 WIB
Kasus Korporasi Meikarta: Solusi atau Masalah?
Kasus Korporasi Meikarta: Solusi atau Masalah?
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas

KASUS Meikarta merupakan pengalaman pertama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma tersebut berlaku retroaktif (Pasal 34) dan telah banyak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan korporasi yang diwakili direksi dinyatakan bersalah dan telah menjalani hukuman.

Sumber masalah hukum yang melibatkan korporasi, khususnya suap, pada umumnya berasal dari kebiasaan dalam bisnis dimana berlaku “hukum penawaran dan permintaan” antara pelaku bisnis dengan oknum pejabat. Ini khususnya terjadi di sektor pelayanan publik seperti saat mengurus proses perizinan dan perpajakan. Kebiasaan tersebut berlangsung sejak masa feodalisme di mana dipandang sebagai suatu kehormatan apabila memberikan sesuatu kepada raja atau pejabat pamongpraja sebagai bukti loyalitas.

Pandangan tersebut berubah drastis setelah berlaku UU Prp Nomor 4 Tahun 1960 disusul berlakunya UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 11/1980, Tindak Pidana Suap. Efektivitas pemberantasan suap telah terjadi sejak diberlakukannya UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001. Pandangan masyarakat dalam sistem demokratis telah mengubah kebiasaan suap yang semula merupakan bukti loyalitas menjadi suatu perbuatan tercela secara moral yang patut diancam hukuman.

Hal ini merupakan pertimbangan di dalam UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidan Suap yang menyatakan: “perbuatan suap dalam pelbagai bentuk dan sifatnya …. pada hakekatnya juga bertentangan dengan kesusilaan dan moral Pancasila yang membahayakan kehidupan masyarakat dan bangsa”. Perubahan pandangan semakin mengerucut dan merupakan keyakinan masyarakat bahwa loyalitas digantikan integritas dalam pelayanan publik, tetapi bukan hanya karena bertentangan dengan undang-undang (legisme). Perbuatan suap jelas memerlukan pencegahan bukan hanya penghukuman semata-mata karena tidak efektif. Suap kini termasuk salah satu bentuk krisis moralitas, bukan lagi masalah hukum semata-mata.

Kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN) jaminan kuat mencegah suap. Ada banyak cara dalam praktik suap antara lain, memperlambat atau menunda proses dalam sistem online dapat dilakukan juga. E-pelayanan publik juga tidak dapat menjamin mencegah suap tanpa kontrol dari supervisor yang khusus ditunjuk berdasarkan SOP tertentu.

Semangat dan komitmen pemerintah, khususnya dalam pemberantasan korupsi, tidak diragukan sejak awal reformasi (1998) sampai saat ini. Namun itu belum diikuti secara intensif strategi pencegahan. KPK (Deputi Pencegahan) sering melaksanakan strategi ini dalam bentuk antara lain sosialisasi dan membuat pakta integritas (the island of integrity). Semua usaha tersebut sebatas seremonial saja tapi minus implementasi yang serius. Saat ini KPK telah menetapkan kurang lebih 95 (sembilan puluh lima) tersangka anggota DPR/DPRD, dan 4 (empat) korporasi termasuk Lippo dan Sinar Mas.

Jumlah tersebut akan semakin bertambah dan sangat kecil kemungkinan berkurang disebabkan beberapa faktor, (1) suap merupakan conditio sine qua non untuk melancarkan bisnis baik usaha kecil dan menengah maupun korporasi besar. Contoh bos Lotte di Korea Selatan, dan Meikarta Grup Lippo di Indonesia, (2) penegakan hukum yang tidak pernah tegas dan hampir tidak ada efek jera, (3) sikap masyarakat sangat permisif terhadap kasus suap khusus terkait korporasi besar, (4) Teori kesempatan dan niat dalam proses peradilan sampai eksekusi potensial “menguntungkan” tersangka, atau terdakwa dan terpidana, (5) teladan baik dari penyelenggara negara maupun aparatur penegak hukum tampak sangat langka, (6) sifat serakah (greedy) masih melekat tanpa rasa malu dan, (7) adanya kolaborasi pebisnis dan pejabat yang sangat erat sehingga mengaburkan batas moralitas dan imoralitas.

Pemberlakuan Perma Nomor 13 Tahun 2016 merupakan “test-case” apakah ketujuh faktor tersebut benar adanya dan apakah benar, sinisme masyarakat bahwa, hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas”. Dalam praktik bukan rahasia umum “kasus-kasus besar” diintervensi kekuasaan tapi UU KPK menegaskan KPK lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Di sisi lain pendapat Prof Andi Hamzah (KORAN SINDO, 31 oktober 2018) juga perlu dicermati dengan serius oleh KPK untuk mencegah dan menghentikan proses stigmatisasi (Erving Goffman) terhadap tersangka dan keluarganya di hadapan publik dan pelanggaran prinsip “presumption of innocence” sekaligus prinsip “due process of law”.

Kebiasaan konferensi pers KPK pasca operas tangkap tangan (OTT) menurut Prof Andi Hamzah tidak seharusnya dilakukan karena OTT KPK telah menyimpang dari ketentuan KUHAP. Tugas aparatur hukum dalam menegakkan hukum tidak boleh dilakukan dengan cara melanggar hukum karena selain bertentangan dengan prinsip hukum di atas juga melanggar asas kepatutan dalam kehidupan masyarakat timur (Indonesia) dan termasuk perbuatan tercela secara sosial terlepas dari tujuan efek jera.

Data mengenai efek jera terbantahkan dengan data hasil tangkapan KPK di atas. Diperlukan solusi konkret agar tidak terjadi bahwa tindakan pro justitia oleh aparat hukum yang selama ini dilakukan bukan bagian dari solusi tapi bagian dari masalah (baru). Contoh, kasus proyek Dipasena (kasus BLBI), proyek eskpor udang yang menghasikan devisa signifikan kini telah jadi lumpur; kasus Texmaco, korporasi pengekspor besi dengan pemasukan keuangan negara yang signifikan, kini telah menjadi barang rongsokan.

Berdasarkan antara lain fakta tersebut memerlukan solusi penegakan hukum yang berkeadilan dengan penuh kebijakan, seperti telah dilaksanakan pemerintah AS dan Inggeis terhadap korporasi yang terlilit kasus pidana yaitu melalui ketentuan Deffered Prosecution Agreement (DPA) antara Jaksa Agung dan korporasi terkait. DPA adalah penundaan penuntutan bersyarat di mana korporasi wajib membayar denda yang ditentukan kejaksaan dan wajib mematuhi prosedur tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Konsep ini sekaligus telah mengubah “prosecutorial culture from an ex-post focus on punishment to an ex-ante emphasis on compliance”.

Perubahan budaya kepatuhan korporasi di AS dan Inggris telah memperkuat mekanisme korporasi melakukan penyimpangan dalam aktivitas bisnis yang akan datang dan mengurangi risiko kerugian material dan imaterial yang menghancurkan korporasi secara keseluruhan dan negara juga tidak memperoleh keuntungan dari pendapatan pajak dan devisa ekspor.

Perma Nomor 13 Tahun 2016 harus disikapi aparatur hukum termasuk KPK dengan bijak dalam pelaksanaannya. Memang tidak mudah di tengah-tengah semangat dan syahwat menghukum terutama opini masyarakat kita saat ini terlepas dari ekses negatif dalam melaksanakan tugas dan wewenang aparatur penegak hukum.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7216 seconds (0.1#10.140)