Tim Hukum Ganjar-Mahfud Sebut MK Punya Dasar Adili Pelanggaran Pemilu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Juru Bicara Tim Hukum Ganjar-Mahfud , Suparman Marzuki mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki dasar untuk mengadili pelanggaran Pemilihan Umum (Pemilu). Termasuk, terhadap pelanggaran asas dan prosedur dari Pemilu.
"MK bisa mendasarkan kewenangannya memeriksa, mengadili, dan memutus perkara aquo dan bisa melakukan penemuan hukum berdasar Pasal 22 E (1) dan 24 C (1) UUD 1945," kata Suparman, Sabtu (30/3/2024).
Terkait dasar-dasar itu, Suparman menerangkan, antara lain ada Pasal 470 Ayat (1,2) UU Pemilu yang dijadikan dasar oleh termohon. Ini untuk menyatakan bahwa sengketa proses menjadi wewenang Bawaslu jelas dan terang benderang keliru.
Sebab ia menekankan, sengketa proses yang dimaksud pasal aquo adalah proses tidak lolos verifikasi sebagai calon peserta pemilu atau dicoret dari daftar calon peserta Pemilu. Sengketanya sendiri dibawa ke TUN (Putusan KPU).
"Jadi, bukan seperti yang dimohonkan nomor 1 dan 3 yaitu pelanggaran terhadap asas dan prosedur-prosedur pemilu oleh pemerintah (Presiden)," ujar Suparman yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) RI tersebut.
Lalu, Pasal 475 yang mengatur wewenang MK terhadap perselisihan perolehan suara. Jadi, gugatan nomor 1 dan 3 atas penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah (Presiden) terhadap Pemilu yang melanggar asas dan prosedur tidak diatur dalam UU Pemilu.
"Dan itu menjadi kewenangan MK, bukan institusi negara yang lain," tegas Suparman.
Ia mengingatkan, MK memutus perkara berpegang kepada UUD 1945. Manakala ada peraturan perundang-undangan atau aturan pelaksanaannya yang menghambat pelaksanaan fungsi MK, maka MK tidak boleh terhambat aturan-aturan tersebut.
Hal itu sesuai sumpah hakim konstitusi yang telah diikrarkan yaitu akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa," jelas Suparman yang sehari-hari adalah dosen Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Suparman menilai, putusan MK akan jadi sejarah. Apalagi, kalau MK menerima dan mengabulkan petitum nomor urut 3 atau menerima sebagian, menyatakan Presiden terbukti melanggar asas dan prosedur untuk kepentingan nomor 2 atau setidaknya menguntungkan paslon nomor 2.
Lalu lanjut Suparman, membatalkan putusan KPU dan memerintahkan dilaksanakan Pemilu ulang atau pencoblosan ulang di seluruh Indonesia. Ia menilai, itu akan menjadi putusan penting bersejarah dalam menata tertib Pemilu yang akan datang.
"Dan MK memiliki wibawa besar terhadap pengadilan politik atau Pemilu," tutup Suparman.
"MK bisa mendasarkan kewenangannya memeriksa, mengadili, dan memutus perkara aquo dan bisa melakukan penemuan hukum berdasar Pasal 22 E (1) dan 24 C (1) UUD 1945," kata Suparman, Sabtu (30/3/2024).
Terkait dasar-dasar itu, Suparman menerangkan, antara lain ada Pasal 470 Ayat (1,2) UU Pemilu yang dijadikan dasar oleh termohon. Ini untuk menyatakan bahwa sengketa proses menjadi wewenang Bawaslu jelas dan terang benderang keliru.
Sebab ia menekankan, sengketa proses yang dimaksud pasal aquo adalah proses tidak lolos verifikasi sebagai calon peserta pemilu atau dicoret dari daftar calon peserta Pemilu. Sengketanya sendiri dibawa ke TUN (Putusan KPU).
"Jadi, bukan seperti yang dimohonkan nomor 1 dan 3 yaitu pelanggaran terhadap asas dan prosedur-prosedur pemilu oleh pemerintah (Presiden)," ujar Suparman yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) RI tersebut.
Lalu, Pasal 475 yang mengatur wewenang MK terhadap perselisihan perolehan suara. Jadi, gugatan nomor 1 dan 3 atas penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah (Presiden) terhadap Pemilu yang melanggar asas dan prosedur tidak diatur dalam UU Pemilu.
"Dan itu menjadi kewenangan MK, bukan institusi negara yang lain," tegas Suparman.
Ia mengingatkan, MK memutus perkara berpegang kepada UUD 1945. Manakala ada peraturan perundang-undangan atau aturan pelaksanaannya yang menghambat pelaksanaan fungsi MK, maka MK tidak boleh terhambat aturan-aturan tersebut.
Hal itu sesuai sumpah hakim konstitusi yang telah diikrarkan yaitu akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa," jelas Suparman yang sehari-hari adalah dosen Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Suparman menilai, putusan MK akan jadi sejarah. Apalagi, kalau MK menerima dan mengabulkan petitum nomor urut 3 atau menerima sebagian, menyatakan Presiden terbukti melanggar asas dan prosedur untuk kepentingan nomor 2 atau setidaknya menguntungkan paslon nomor 2.
Lalu lanjut Suparman, membatalkan putusan KPU dan memerintahkan dilaksanakan Pemilu ulang atau pencoblosan ulang di seluruh Indonesia. Ia menilai, itu akan menjadi putusan penting bersejarah dalam menata tertib Pemilu yang akan datang.
"Dan MK memiliki wibawa besar terhadap pengadilan politik atau Pemilu," tutup Suparman.
(maf)