Muruah Hukum dalam Keseharian Kita
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
PARA pendidik hukum , ahli hukum teoritis dan praktik begitu pula mahasiswa Fakultas Hukum selalu berpikir bahkan terobsesi oleh suatu keyakinan bahwa hukum bertujuan dan membawa kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Setelah bergaul dengan hukum baik selaku teoritis maupun bagian dari birokrasi hukum, semakin tampak bahwa hukum sekalipun terbaca dalam bunyi suatu undang-undang, telah kehilangan muruahnya dalam keseharian kita.
Contoh, petunjuk lalu lintas dilarang masuk atau kecepatan dikurangi tetap saja dilanggar seakan tidak tampak di mata pengemudi. Suatu perkara jelas pasal-pasal yang dilabraknya, tetap saja bisa melenggang dari jangkauan hukum hanya karena uang dan janji-janji lainnya. Pembuat UU baik itu anggota legislatif maupun eksekutif bahkan oknum-oknum dari lembaga penegakan hukum juga memilih perilaku yang sama dengan pengemudi yang melanggar petunjuk lalu lintas tadi.
Semakin mendalami masalah hukum dalam kehidupan kita semakin memahami bahwa hukum dengan ucapan sinis bahkan skeptis, memang dibuat untuk dilanggar/ditabrak, urusan akibatnya bisa dirundingkan. Hukum semakin jauh dari cita-cita menjaga ketertiban berperilaku, menjamin kepastian hukum, apalagi menjangkau keadilan dan semakin memperihatinkan benar ada manfaatnya bagi kehidupan kita. Hanya belum sampai pada “hukum rimba”, yang kuat memangsa yang lemah dengan hukum akan tetapi yang pasti hukum dapat digunakan (tools) untuk melakukan kezoliman tanpa ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sampai saat ini masyarakat dan juga pemegang kekuasaan masih belum dapat membedakan mana pernyataan atau ucapan yang merupakan kritik dan mana yang merupakan hinaan atau pencemaran nama baik seseorang. Keadaan semakin parah dalam penegakan hukum ketika pengaduan penghinaan atau pencemaran nama baik yang merugikan kepentingan penguasa langsung cepat ditindak, sedangkan yang merugikan perorangan sengaja berlama-lama jika tanpa cuan.
Kasat mata tampak hukum seakan alat permainan mereka yang memiliki kekuasaan dan pemilik uang, sedangkan hukum menjadi momok yang menakutkan dan membuat tidak nyaman bagi rakyat dan si miskin. Lalu, apa gunanya penerbitan undang-undang (hukum) setiap tahunnya jika kemudian untuk diabaikan, tidak dipatuhi, bahkan sengaja digunakan untuk kezaliman jauh dari kemaslahatan umat manusia? Apakah sekadar hanya untuk mencitrakan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ?
Sikap sebagian kita ternyata jangankan ber-Pancasila dan taat pada UUD 1945, memahami saja itu pun masih harus bertanya-tanya, tetapi masih lebih baik daripada memberikan opini yang tidak produktif sekalipun tidak paham makna dan tujuan dari pembentukan undang-undang itu (hukum). Yang sangat keterlaluan adalah mereka yang mengetahui, mempelajari, dan memahami hukum dengan sebutan sarjana hukum apakah S1, S2, atau S3, makna hukum telah disesatkan menjadi tidak bermakna hanya karena kepentingan pribadi atau kelompok tertentu sehingga menimbulkan anomali dalam pandangan masyarakat awam mengenai kebenaran hukum yang sengaja dikarut-marutkan.
Kini kepercayaan masyarakat terhadap saktinya hukum dalam memelihara ketertiban, menjamin adanya kepastian hukum begitu juga keadilan, telah sirna, sehingga kini berkecamuk pragmatisme hukum yakni hukum hanya alat untuk tujuan-tujuan sesaat tidak mau peduli dampak berkelanjutan dari sisi negatifnya. Kini mayoritas awam berpendapat bahwa hukum dan kekuasaan merupakan dua sisi dari satu koin uang: sisi kekuasaaan dan sisi hukum, yakni ada kekuasaan di situ ada hukum, bukan sebaliknya, yakni ada hukum di situ ada keadilan.
Dampak dari pandangan seperti itu maka tampak dalam beberapa perkara pihak berperkara telah menggunakan dua pendekatan untuk memuluskan kepentingannya, pendekatan hukum dan kekuasaan. Pendekatan hukum melalui penasihat hukum, sedangkan pendekatan kekuasaan melalui kedekatan dengan oknum Kepolisian atau Kejaksaan, bahkan hakim. Sukses terbanyak dari dua cara pendekatan tersebut itu tampak dari suksesnya beberapa penasihat hukum tertentu dalam pandangan masyarakat. Tidak semuanya demikian, tetapi terjadi dalam kenyataan hukum sehari-hari.
Dunia ilmu hukum dan dunia kenyataan hukum semakin senjang dari waktu ke waktu bahkan terjadi selama 78 tahun Indonesia merdeka. Kesenjangan yang sangat mencolok ketika terjadi peristiwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memutuskan terjadi perubahan batas usia presiden/wakil presiden yang diloloskan dalam hitungan jam oleh Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi sekalipun masih ada pendapat berbeda. Reaksi yang bermunculan selanjutnya sebagai dampak lanjutan adalah keresahan akademisi melihat keadaan politik yang semakin tidak stabil menjelang dan pascapencoblosan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) bahkan ketika proses penghitungan suara di TPS dan Sirekap di KPU. Itu pun tidak didengar seakan buta hati dan mata penguasa melihat kecurangan-kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Kehilangan stabilitas politik terutama kehilangan nalar sehat-tentang baik dan benar, tercela dan tidak tercela, di kalangan pemegang kekuasaan dengan memperalat hukum semaunya saya, dipastikan akan berakibat hukum tidak lagi bagian kebutuhan dan harapan masyarakat yang dapat menciptakan kenyamanan, ketertiban, dan menjamin kepastian hukum. Sehingga tidaklah keliru jika di kemudian dan di masa depan, kehidupan hukum akan suram bagaikan lilin di tengah kegelapan malam, hanya tinggal menunggu tertiup angin saja sekalipun sepoi-sepoi. Kehidupan hukum yang semakin suram dipastikan tidak ada lagi yang perlu dijaminkan kepada masyarakat apakah ketertiban, kepastian hukum, bahkan jaminan keadilan. Quo vadis hukum Indonesia?
PARA pendidik hukum , ahli hukum teoritis dan praktik begitu pula mahasiswa Fakultas Hukum selalu berpikir bahkan terobsesi oleh suatu keyakinan bahwa hukum bertujuan dan membawa kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Setelah bergaul dengan hukum baik selaku teoritis maupun bagian dari birokrasi hukum, semakin tampak bahwa hukum sekalipun terbaca dalam bunyi suatu undang-undang, telah kehilangan muruahnya dalam keseharian kita.
Contoh, petunjuk lalu lintas dilarang masuk atau kecepatan dikurangi tetap saja dilanggar seakan tidak tampak di mata pengemudi. Suatu perkara jelas pasal-pasal yang dilabraknya, tetap saja bisa melenggang dari jangkauan hukum hanya karena uang dan janji-janji lainnya. Pembuat UU baik itu anggota legislatif maupun eksekutif bahkan oknum-oknum dari lembaga penegakan hukum juga memilih perilaku yang sama dengan pengemudi yang melanggar petunjuk lalu lintas tadi.
Semakin mendalami masalah hukum dalam kehidupan kita semakin memahami bahwa hukum dengan ucapan sinis bahkan skeptis, memang dibuat untuk dilanggar/ditabrak, urusan akibatnya bisa dirundingkan. Hukum semakin jauh dari cita-cita menjaga ketertiban berperilaku, menjamin kepastian hukum, apalagi menjangkau keadilan dan semakin memperihatinkan benar ada manfaatnya bagi kehidupan kita. Hanya belum sampai pada “hukum rimba”, yang kuat memangsa yang lemah dengan hukum akan tetapi yang pasti hukum dapat digunakan (tools) untuk melakukan kezoliman tanpa ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sampai saat ini masyarakat dan juga pemegang kekuasaan masih belum dapat membedakan mana pernyataan atau ucapan yang merupakan kritik dan mana yang merupakan hinaan atau pencemaran nama baik seseorang. Keadaan semakin parah dalam penegakan hukum ketika pengaduan penghinaan atau pencemaran nama baik yang merugikan kepentingan penguasa langsung cepat ditindak, sedangkan yang merugikan perorangan sengaja berlama-lama jika tanpa cuan.
Kasat mata tampak hukum seakan alat permainan mereka yang memiliki kekuasaan dan pemilik uang, sedangkan hukum menjadi momok yang menakutkan dan membuat tidak nyaman bagi rakyat dan si miskin. Lalu, apa gunanya penerbitan undang-undang (hukum) setiap tahunnya jika kemudian untuk diabaikan, tidak dipatuhi, bahkan sengaja digunakan untuk kezaliman jauh dari kemaslahatan umat manusia? Apakah sekadar hanya untuk mencitrakan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ?
Sikap sebagian kita ternyata jangankan ber-Pancasila dan taat pada UUD 1945, memahami saja itu pun masih harus bertanya-tanya, tetapi masih lebih baik daripada memberikan opini yang tidak produktif sekalipun tidak paham makna dan tujuan dari pembentukan undang-undang itu (hukum). Yang sangat keterlaluan adalah mereka yang mengetahui, mempelajari, dan memahami hukum dengan sebutan sarjana hukum apakah S1, S2, atau S3, makna hukum telah disesatkan menjadi tidak bermakna hanya karena kepentingan pribadi atau kelompok tertentu sehingga menimbulkan anomali dalam pandangan masyarakat awam mengenai kebenaran hukum yang sengaja dikarut-marutkan.
Kini kepercayaan masyarakat terhadap saktinya hukum dalam memelihara ketertiban, menjamin adanya kepastian hukum begitu juga keadilan, telah sirna, sehingga kini berkecamuk pragmatisme hukum yakni hukum hanya alat untuk tujuan-tujuan sesaat tidak mau peduli dampak berkelanjutan dari sisi negatifnya. Kini mayoritas awam berpendapat bahwa hukum dan kekuasaan merupakan dua sisi dari satu koin uang: sisi kekuasaaan dan sisi hukum, yakni ada kekuasaan di situ ada hukum, bukan sebaliknya, yakni ada hukum di situ ada keadilan.
Dampak dari pandangan seperti itu maka tampak dalam beberapa perkara pihak berperkara telah menggunakan dua pendekatan untuk memuluskan kepentingannya, pendekatan hukum dan kekuasaan. Pendekatan hukum melalui penasihat hukum, sedangkan pendekatan kekuasaan melalui kedekatan dengan oknum Kepolisian atau Kejaksaan, bahkan hakim. Sukses terbanyak dari dua cara pendekatan tersebut itu tampak dari suksesnya beberapa penasihat hukum tertentu dalam pandangan masyarakat. Tidak semuanya demikian, tetapi terjadi dalam kenyataan hukum sehari-hari.
Dunia ilmu hukum dan dunia kenyataan hukum semakin senjang dari waktu ke waktu bahkan terjadi selama 78 tahun Indonesia merdeka. Kesenjangan yang sangat mencolok ketika terjadi peristiwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memutuskan terjadi perubahan batas usia presiden/wakil presiden yang diloloskan dalam hitungan jam oleh Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi sekalipun masih ada pendapat berbeda. Reaksi yang bermunculan selanjutnya sebagai dampak lanjutan adalah keresahan akademisi melihat keadaan politik yang semakin tidak stabil menjelang dan pascapencoblosan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) bahkan ketika proses penghitungan suara di TPS dan Sirekap di KPU. Itu pun tidak didengar seakan buta hati dan mata penguasa melihat kecurangan-kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Kehilangan stabilitas politik terutama kehilangan nalar sehat-tentang baik dan benar, tercela dan tidak tercela, di kalangan pemegang kekuasaan dengan memperalat hukum semaunya saya, dipastikan akan berakibat hukum tidak lagi bagian kebutuhan dan harapan masyarakat yang dapat menciptakan kenyamanan, ketertiban, dan menjamin kepastian hukum. Sehingga tidaklah keliru jika di kemudian dan di masa depan, kehidupan hukum akan suram bagaikan lilin di tengah kegelapan malam, hanya tinggal menunggu tertiup angin saja sekalipun sepoi-sepoi. Kehidupan hukum yang semakin suram dipastikan tidak ada lagi yang perlu dijaminkan kepada masyarakat apakah ketertiban, kepastian hukum, bahkan jaminan keadilan. Quo vadis hukum Indonesia?
(zik)