Jangan Dianggap Sepele, Korban Pelecehan Seksual Bisa Depresi
loading...
A
A
A
Beberapa korban juga akan mengalami trauma dan langsung bereaksi jika menemukan hal yang berkaitan dengan peristiwa itu. Misalnya, jika pelecehan dilakukan di angkot, maka setiap dia naik angkot, akan keluar keringat dingin, jantung berdegup kencang, serta kecemasan berlebihan.
Pelecehan seksual erat kaitannya dengan perilaku seks menyimpang. Menurut Iswan, penyimpangan itu karena mereka tidak mampu melakukan hubungan emosional dengan cara yang sehat atau sewajarnya.
Karena itu, mereka memilih mencari cara lain untuk memuaskan dirinya. Salah satunya, para pelaku melakukan cara manipulatif yang membuat korban mau mengikuti kata-katanya. (Baca juga: Koalisi Aksi Menyelaatkan Indonesia Juga Dideklarasikan di Sejumlah Daerah dan Luar Negeri)
"Sejatinya, pelaku pelecehan seks menyimpang merasa tidak percaya diri dalam melakukan hubungan yang sehat. Maka, mereka memilih cara berbeda seperti fetish (di antaranya kepercayaan akan adanya kekuatan sakti dalam benda tertentu), ekshibisionis, dan lainnya yang disebut parafilia atau gangguan seksual yang objeknya tidak lazim," ungkap Iswan.
Karena tidak percaya diri itu yang membuat mereka ingin merasa menjadi superior. Korban pelecehan seksual menyimpang sering dibuat tidak berdaya atau ketakutan. Seperti yang dilakukan para ekshibisionis yang gemar memamerkan alat vitalnya. Pelaku merasa senang jika korbannya ketakutan dengan berteriak dan sebagainya. Sebab, disitulah rangsangan seksual yang mereka rasakan.
Sama halnya dengan fetish dengan mengikat seluruh tubuh menggunakan kain jarik. Saat proses pengikatan, pola komunikasi yang dibangun pelaku memang luar biasa sehingga korban mau melakukan itu. Pelaku merasakan rangsangan seksual pada saat melihat orang lain tersiksa dan tidak berdaya karena sudah terikat. Intinya, ada gap psikologis antara pelaku dan korban, pelaku ingin korban tunduk dan lemah.
Para pelaku pelecehan seksual itu kemungkinan menjadi korban pada masa kecil mereka. Sebab, dia membawa luka yang terlalu lama dipendam dan merasa kekerasan seksual itu wajar karena role model dahulu, yakni dia sering mendapatkan perilaku tersebut. (Baca juga: Ilmuwan Jepang Bangunkan Mikroba yang Tertidur Selama 100 Juta Tahun)
Iswan pun menyayangkan kebiasaan masyarakat di Indonesia bila terjadi pelecehan malah justru menyalahkan korban dan masih dianggap aib. Ini yang membuat banyak korban enggan melapor. Padahal, seseorang yang baru saja menjadi korban harus segera melapor atau minimal bercerita kepada orang lain.
"Namun perlu diperhatikan orang yang diceritakan harus dipastikan mereka siap dengan kenyataan ini. Jangan sampai keluarga atau sahabat yang diceritakan justru menyalahkan dirinya (sang korban)," ungkapnya.
Maka, memang jalan terbaik korban pelecehan adalah bercerita kepada psikolog. Bahkan, masyarakat yang ingin mendampingi korban juga harus berkonsultasi dengan psikolog.
Pelecehan seksual erat kaitannya dengan perilaku seks menyimpang. Menurut Iswan, penyimpangan itu karena mereka tidak mampu melakukan hubungan emosional dengan cara yang sehat atau sewajarnya.
Karena itu, mereka memilih mencari cara lain untuk memuaskan dirinya. Salah satunya, para pelaku melakukan cara manipulatif yang membuat korban mau mengikuti kata-katanya. (Baca juga: Koalisi Aksi Menyelaatkan Indonesia Juga Dideklarasikan di Sejumlah Daerah dan Luar Negeri)
"Sejatinya, pelaku pelecehan seks menyimpang merasa tidak percaya diri dalam melakukan hubungan yang sehat. Maka, mereka memilih cara berbeda seperti fetish (di antaranya kepercayaan akan adanya kekuatan sakti dalam benda tertentu), ekshibisionis, dan lainnya yang disebut parafilia atau gangguan seksual yang objeknya tidak lazim," ungkap Iswan.
Karena tidak percaya diri itu yang membuat mereka ingin merasa menjadi superior. Korban pelecehan seksual menyimpang sering dibuat tidak berdaya atau ketakutan. Seperti yang dilakukan para ekshibisionis yang gemar memamerkan alat vitalnya. Pelaku merasa senang jika korbannya ketakutan dengan berteriak dan sebagainya. Sebab, disitulah rangsangan seksual yang mereka rasakan.
Sama halnya dengan fetish dengan mengikat seluruh tubuh menggunakan kain jarik. Saat proses pengikatan, pola komunikasi yang dibangun pelaku memang luar biasa sehingga korban mau melakukan itu. Pelaku merasakan rangsangan seksual pada saat melihat orang lain tersiksa dan tidak berdaya karena sudah terikat. Intinya, ada gap psikologis antara pelaku dan korban, pelaku ingin korban tunduk dan lemah.
Para pelaku pelecehan seksual itu kemungkinan menjadi korban pada masa kecil mereka. Sebab, dia membawa luka yang terlalu lama dipendam dan merasa kekerasan seksual itu wajar karena role model dahulu, yakni dia sering mendapatkan perilaku tersebut. (Baca juga: Ilmuwan Jepang Bangunkan Mikroba yang Tertidur Selama 100 Juta Tahun)
Iswan pun menyayangkan kebiasaan masyarakat di Indonesia bila terjadi pelecehan malah justru menyalahkan korban dan masih dianggap aib. Ini yang membuat banyak korban enggan melapor. Padahal, seseorang yang baru saja menjadi korban harus segera melapor atau minimal bercerita kepada orang lain.
"Namun perlu diperhatikan orang yang diceritakan harus dipastikan mereka siap dengan kenyataan ini. Jangan sampai keluarga atau sahabat yang diceritakan justru menyalahkan dirinya (sang korban)," ungkapnya.
Maka, memang jalan terbaik korban pelecehan adalah bercerita kepada psikolog. Bahkan, masyarakat yang ingin mendampingi korban juga harus berkonsultasi dengan psikolog.