Jangan Dianggap Sepele, Korban Pelecehan Seksual Bisa Depresi

Sabtu, 15 Agustus 2020 - 09:38 WIB
loading...
Jangan Dianggap Sepele, Korban Pelecehan Seksual Bisa Depresi
Kasus pelecehan seksual jangan dianggap hal biasa. Dampaknya adalah stres hingga depresi, meski efek dari setiap kasus pelecehan tidak bisa digeneralisasi. Foto/dok
A A A
JAKARTA - Kasus pelecehan seksual jangan dianggap hal biasa. Sebab, psikologis sang korban yang mengalami kejadian itu akan terganggu. Dampaknya adalah stres hingga depresi, meski efek dari setiap kasus pelecehan tidak bisa digeneralisasi.

Psikolog Iswan Saputro menjelaskan, intensitas pelecehan yang dialami korban juga berpengaruh. Apalagi, dampak psikologis mereka juga erat kaitannya dengan cara korban diperlakukan lingkungan dan sebaliknya, respons korban terhadap lingkungan.

"Maka dalam kasus pelecehan seksual tidak bisa ditangani korbannya saja, melainkan juga harus ada terapi atau intervensi keluarga dan komunitas," ujarnya. (Baca: Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, RUU PKS Diminta Tak Ditunda Lagi)

Pelecehan seksual yang dialami dapat langsung menyerang sisi psikologis korban, seperti stres atau gejala depresi lainnya, meski belum tentu terdiagnosa depresi. Gejala-gejala itu muncul seperti menyalahkan diri sendiri, nafsu makan menurun, serta gangguan tidur karena mimpi buruk seakan kejadian tersebut terulang lagi.

Iswan menambahkan, dampak lain kasus pelecehan seksual adalah kehilangan minat berinteraksi sosial. Korban merasa tidak ada lagi yang bisa dipercaya sehingga enggan untuk bersosialisasi.

Korban cenderung memiliki komunikasi yang negatif dengan diri mereka sendiri. Maka, penting sekali korban pelecehan seksual mendapat penanganan psikologis.

”Butuh pihak eksternal untuk membiasakan komunikasi pribadi itu agar tidak terus menyerang diri sendiri (negative self-talk). Karena jika hal itu terus dilakukan, gejala depresi semakin menguat," ungkap Iswan.

Jika sudah depresi dan tidak tertangani, ide untuk bunuh diri semakin besar. Korban sudah merasa tidak berharga, merasa sendiri dengan penderitaannya. Lebih parah lagi, jika pelecehannya masih terus terjadi dan korban tidak juga berani melapor. (Baca juga: Turki-Yunani Memanas, Ini Perbandingan Kekuatan Militernya)

Associate psikolog klinis di Analisa Personality Development Center (APDC) Indonesia ini menjelaskan, kalaupun pelecehan hanya dilakukan sekali, tetap bisa sangat berpengaruh untuk kehidupan masa depan korban. Hal itu karena korban sangat menjunjung nilai yang dianut. Maka, ketika sudah merasa dilecehkan, nilai itu pun dia anggap sudah dirusak.

Misalnya, bagi mereka yang menganggap bersentuhan dengan lawan jenis haram, bisa jadi ketika dilecehkan walaupun hanya sekali, akan berdampak fatal. Dia mengalami gangguan psikis karena merasa dirinya kotor dan berdosa.

Beberapa korban juga akan mengalami trauma dan langsung bereaksi jika menemukan hal yang berkaitan dengan peristiwa itu. Misalnya, jika pelecehan dilakukan di angkot, maka setiap dia naik angkot, akan keluar keringat dingin, jantung berdegup kencang, serta kecemasan berlebihan.

Pelecehan seksual erat kaitannya dengan perilaku seks menyimpang. Menurut Iswan, penyimpangan itu karena mereka tidak mampu melakukan hubungan emosional dengan cara yang sehat atau sewajarnya.

Karena itu, mereka memilih mencari cara lain untuk memuaskan dirinya. Salah satunya, para pelaku melakukan cara manipulatif yang membuat korban mau mengikuti kata-katanya. (Baca juga: Koalisi Aksi Menyelaatkan Indonesia Juga Dideklarasikan di Sejumlah Daerah dan Luar Negeri)

"Sejatinya, pelaku pelecehan seks menyimpang merasa tidak percaya diri dalam melakukan hubungan yang sehat. Maka, mereka memilih cara berbeda seperti fetish (di antaranya kepercayaan akan adanya kekuatan sakti dalam benda tertentu), ekshibisionis, dan lainnya yang disebut parafilia atau gangguan seksual yang objeknya tidak lazim," ungkap Iswan.

Karena tidak percaya diri itu yang membuat mereka ingin merasa menjadi superior. Korban pelecehan seksual menyimpang sering dibuat tidak berdaya atau ketakutan. Seperti yang dilakukan para ekshibisionis yang gemar memamerkan alat vitalnya. Pelaku merasa senang jika korbannya ketakutan dengan berteriak dan sebagainya. Sebab, disitulah rangsangan seksual yang mereka rasakan.

Sama halnya dengan fetish dengan mengikat seluruh tubuh menggunakan kain jarik. Saat proses pengikatan, pola komunikasi yang dibangun pelaku memang luar biasa sehingga korban mau melakukan itu. Pelaku merasakan rangsangan seksual pada saat melihat orang lain tersiksa dan tidak berdaya karena sudah terikat. Intinya, ada gap psikologis antara pelaku dan korban, pelaku ingin korban tunduk dan lemah.

Para pelaku pelecehan seksual itu kemungkinan menjadi korban pada masa kecil mereka. Sebab, dia membawa luka yang terlalu lama dipendam dan merasa kekerasan seksual itu wajar karena role model dahulu, yakni dia sering mendapatkan perilaku tersebut. (Baca juga: Ilmuwan Jepang Bangunkan Mikroba yang Tertidur Selama 100 Juta Tahun)

Iswan pun menyayangkan kebiasaan masyarakat di Indonesia bila terjadi pelecehan malah justru menyalahkan korban dan masih dianggap aib. Ini yang membuat banyak korban enggan melapor. Padahal, seseorang yang baru saja menjadi korban harus segera melapor atau minimal bercerita kepada orang lain.

"Namun perlu diperhatikan orang yang diceritakan harus dipastikan mereka siap dengan kenyataan ini. Jangan sampai keluarga atau sahabat yang diceritakan justru menyalahkan dirinya (sang korban)," ungkapnya.

Maka, memang jalan terbaik korban pelecehan adalah bercerita kepada psikolog. Bahkan, masyarakat yang ingin mendampingi korban juga harus berkonsultasi dengan psikolog.

Penanganan yang dilakukan psikolog dimulai dari mengeluarkan semua emosi negatif. Para korban cenderung memiliki emosi negatif yang kuat. Korban akan diminta untuk menceritakan juga mengekspresikan. Menurut Iswan, korban diminta berekspresi sebebas-bebasnya, seperti mulai menangis, teriak, hingga memaki dengan kata-kata kasar.

"Biarkan saja begitu. Justru jika pasien kekerasan seksual diingatkan soal norma agama atau budaya, khawatir mereka akan semakin merasa berdosa atau sudah merasa melanggar budaya. Jadi, biarkan ekspresi apa adanya yang mereka rasakan," tuturnya. (Baca juga: Tok, OJK Bekukan Kegiatan Usaha Asuransi Jiwa Kresna)

Bagi pasien yang kemampuan verbalnya buruk, para psikolog biasanya menggunakan cara writing therapy. Bercerita melalui tulisan dapat juga berekspresi dengan gambar dan warna. Tahap ini juga menentukan penanganan selanjutnya.

Pada tahap awal inilah peran psikolog untuk membangun kepercayaan yang erat dengan korban. Membuat mereka percaya bahwa masih ada yang bisa mereka andalkan untuk bercerita, di samping membuat korban tenang dan merasa aman untuk berbagi cerita. Setelah itu, terapi dengan level yang lebih tinggi. Semua harus dilihat kasus per kasusnya dan bagaimana tanggapan orang terdekat korban.

Salah satunya, korban pelecehan yang sudah mengarah kepada kekerasan seksual, seperti pemerkosaan dan pencabulan. Menurut Dokter Spesialis Kejiwaan Citra Fitri Agustina, di rumah sakit ada pusat krisis terpadu dengan dokter forensik dan kejiwaan di dalamnya. Mereka akan berkolaborasi mengecek secara fisik dan psikis korban.

Citra menambahkan, trauma juga dapat langsung memengaruhi fisik, seperti yang mungkin terjadi pada wanita, yakni kondisi vaginismus atau penegangan otot vagina, sehingga tidak bisa penetrasi. "Sudah menikah, tapi tidak bisa melakukan hubungan suami istri, ada trauma masa lalu yang belum diobati," ungkapnya.

Dampak lain secara fisik, korban pemerkosaan ialah saat terus merasakan nyeri atau sakit saat melakukan hubungan seksual. Citra menjelaskan, akibat pemerkosaan pada masa lalu yang menimbulkan trauma dan rasa sakit sehingga di alam bawah sadar korban sudah tersugesti bahwa hubungan seksual pasti sakit. (Lihat videonya: Aksi Begal Asusila di Padang, Korban Mengalami Trauma)

Jika mengalami hal tersebut, sebaiknya segera ke dokter kejiwaan, sebab harus disembuhkan dulu traumanya. Juga tidak jarang banyak wanita yang merasa bersalah karena tidak dapat melayani suami atau masih merasa dirinya kotor, dan itu akan memicu stres sehingga vaginismus atau sakit saat berhubungan selalu terjadi.

"Dengan dokter kejiwaan nanti akan dilakukan terapi sesuai permasalahannya. Terpenting, pasangannya harus diedukasi untuk lebih mengerti dan membantu memotivasi korban," tutup Citra. (Ananda Nararya)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1919 seconds (0.1#10.140)