Menyoal Defisit Neraca Perdagangan

Rabu, 19 September 2018 - 04:35 WIB
Menyoal Defisit Neraca Perdagangan
Menyoal Defisit Neraca Perdagangan
A A A
Eko Setiobudi

Praktisi Ekonomi

NERACA Per­da­gang­an Indonesia (NPI) kembali meng­alami defisit pada Agustus 2018. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menye­but­kan bahwa defisit neraca perdagangan tersebut nilainya USD1,02 miliar. Defisit ini terjadi karena impor Indonesia pada Agustus 2018 sebesar USD16,8 miliar, sedangkan ekspor Indonesia di bulan yang sama tercatat USD15,82 miliar. Komposisi penyum­bang de­fisit, yakni sektor migas se­besar USD8,03 miliar, semen­tara sektor nonmigas justru surplus USD4 miliar.

Defisit ini semakin menam­bah panjang defisit neraca perdagangan Indonesia dari Januari hingga Agustus, yakni sebesar USD4,09 miliar. Se­baga­imana diketahui, pada Januari, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD56 juta, Februari defisit sebesar USD52,9 juta, Maret surplus sebesar USD1,12 miliar, April defisit sebesar USD1,63 miliar, lalu Mei defisit sebesar USD1,52 miliar, dan Juni surplus sebesar USD1,74 miliar. Pada Juli terjadi defisit sebesar USD2,03 miliar dan Agustus kembali defisit sebesar USD1,02 miliar.

Sisi Impor

Impor bahan bakar minyak (BBM) lagi-lagi menjadi salah satu penyumbang utama defisit neraca perdagangan. Artinya, konsumsi BBM dalam negeri masih sangat tinggi dan me­miliki ketergantungan ter­hadap impor meskipun peme­rintah sudah melaksanakan regulasi penghapusan BBM ber­subsidi dan meng­alih­kan­nya pada sektor infrastruktur serta menganut skema harga pasar untuk BBM.

Namun, langkah pemerintah seharu­s­nya tidak parsial. Dibutuhkan langkah-langkah fun­dam­en­tal untuk melaku­kan tata kelola mi­gas ka­rena kon­sumsi da­lam negeri yang cenderung me­ning­kat dari tahun ke tahun. Pe­merintah harus segera me­lakukan tata kelola sektor migas nasio­nal yang antara lain dilakukan dengan pening­kat­an pro­duksi migas na­sio­nal dan pem­bangun­an kilang untuk me­menuhi kebutuhan dalam negeri. Ten­tu­nya dengan pen­dekatan propor­sio­nalitas pada kon­sumsi BBM setiap da­erah yang ber­beda-beda pola dan jumlah konsumsinya.

Variabel lain yang tidak bo­leh dilupakan adalah ke­bera­ni­an pemerintah untuk meng­e­luarkan political will terkait de­ngan pemanfaatan energi alter­­natif. Bagaimana­pun pe­man­faatan energi alter­natif me­mang terus digalakkan oleh peme­rin­tah. Namun, tanpa political will yang jelas dan tegas, masyarakat masih eng­gan un­tuk beralih dari energi ber­basis fosil kepada ener­gi alternatif seperti bio­diesel, gas alam, dan lain se­bagainya. Kare­na, hal ini me­nyangkut dengan kebiasaan ma­syarakat selama puluhan tahun yang su­dah telanjur nya­man dan fa­milier dengan energi ber­basis fosil.

Artinya, dibutuhkan ke­rang­ka kebijakan dan road map yang jelas, baik menyangkut dengan produksi, konsumsi, alokasi, pengawasan dan ke­bijakan eva­luasi untuk meng­ukur seberapa efektifnya political will terkait de­ngan penggunaan energi ­alter­natif tersebut.

Sisi Ekspor

Hal lain yang tidak kalah penting adalah menyangkut dengan ekspor Indonesia. Nilai ekspor pada April sebesar USD14,5 miliar, Mei sebesar USD16,2 miliar, Juni sebesar USD13 miliar, lalu Juli sebesar USD16,2 miliar, dan Agustus sebesar USD15,82 miliar. Dari data tersebut bisa dilihat bah­wa ekspor memiliki tren yang positif dan cen­derung meng­alami peningkatan meski­pun nilainya kecil.

Ekspor sebesar USD15,82 miliar di­sumbang oleh indus­tri pengolahan sebe­sar 74,47% (USD11,78 miliar), migas se­besar 8,75% (USD1,38 mi­liar), tam­bang 14,88% (USD2,35 miliar), dan pertanian 1,80% (USD0,30 miliar). Ko­mo­ditas yang me­nyum­bang penurun­an ekspor di antaranya industri pengolahan yang menyum­bang 0,48%.

Pada sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seharusnya mampu men­dong­krak ekspor nasio­nal. Sayang­nya, gejolak pele­mah­an ekono­mi dunia yang di­tandai dengan penurunan daya beli global juga ber­kontr­ibusi ter­ha­dap stagnasi nilai ekspor na­sio­nal, selain ko­mo­ditas nasional yang “diang­gap” kurang bisa berkompe­tisi di pasar dunia. Oleh sebab itu, mo­mentum pe­lemahan rupiah ter­hadap dolar AS harus diman­faat­k­­an semak­simal mungkin. Karena, nilai tukar rupiah yang melemah akan membuat nilai produk ekspor Indonesia men­jadi lebih kompe­titif, khususnya dari sisi harga.

Fakta mengenai perang da­gang antara AS dan China da­lam geoekonomi global harus dijadikan sebagai tantangan, bukan hambatan. Sebagai­mana diketahui, perang dagang me­mang tengah menggema se­telah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menge­na­kan bea masuk terhadap baja dan alumunium. Trump juga mem­buat kebijakan bea masuk khu­sus untuk produk-produk asal China, yang nota­bene adalah mitra dagang ter­besar AS. Se­mentara China juga bertekad membalas lang­kah AS dengan melakukan hal yang sama.

Memanfaatkan momen­tum pelemahan nilai tukar rupiah serta perang dagang memang sangat mungkin. Pasalnya, AS dan China adalah dua negara mitra dagang atau tujuan eks­por terbesar bagi Indonesia. Data BPS menyebutkan bahwa negara-negara tujuan ekspor terbesar untuk produk non­migas pada Agustus 2018 adalah ke China dengan nilai USD 2,11 miliar, disusul Ame­rika Serikat USD1,60 miliar dan Jepang USD1,48 miliar. Kontribusi ketiganya mencapai 35,95%. Sementara ekspor ke Uni Eropa atau dari 28 negara di da­lamnya hanya sebesar USD1,52 miliar.

Oleh sebab itu, tren defisit neraca perdagangan selama periode Januari-Agustus 2018 harus dijadikan momentum untuk menjaga dan mem­per­baiki stabilitas perekonomian dalam negeri khususnya de­ngan orientasi memperkuat daya tahan ekonomi nasional di tengah gejolak geoekonomi yang cenderung tidak pasti.

Hal ini antara lain bisa di­laku­kan dengan (1) menjaga iklim investasi khususnya de­ngan pola menarik investasi pada industri berorientasi eks­por, (2) memperbaiki kinerja dan tata kelola industri dan ekspor se­hingga mampu me­ningkatkan daya saing komo­diti nasional di pasar dunia, (3) mempermudah perizinan, mem­berikan insentif pajak, khu­susnya pada investasi-inves­tasi yang berorientasi eks­por serta mempercepat ke­bijak­an Tingkat Komponen Dala­m Negeri (TKDN) ter­hadap semua produk yang di­pasarkan di Indo­nesia, dalam rangka mendorong tum­buh­nya industri lokal serta mem­per­besar penyerapan te­naga kerja lokal.

Jika semua hal tersebut bisa dilakukan secara kompre­hensif dan kontinu, cita-cita menjadi negara maju dengan daya topang industri dalam negeri serta membuka investasi pada sektor-sektor yang bernilai tambah tinggi, baik secara teknologi produksi maupun pergeseran dari ekspor bahan mentah menjadi ekspor barang menjadi akan sangat mudah diwujudkan. Selain itu, produk-produk yang bernilai tambah tinggi mampu meningkatkan daya saing ekspor produk-produk Indonesia di pasar glo­bal. Alhasil, pasar-pasar baru bagi produk-produk Indo­nesia dapat terbuka lebar. Dan, eks­por kita tidak selalu ber­gan­tung pada “belas kasihan” negara lain dalam bentuk penurunan atau insentif impor yang berikan negara-negara lain kepada Indonesia sebagaimana yang banyak terjadi selama ini.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5991 seconds (0.1#10.140)