Memaknai RUU Pesantren

Senin, 17 September 2018 - 09:32 WIB
Memaknai RUU Pesantren
Memaknai RUU Pesantren
A A A
Jazilul Fawaid
Ketua Fraksi PKB MPR RI

TIDAK bisa diingkari fakta sejarah me­nun­jukkan ba­gai­mana pesantren dengan para santrinya menjadi avant garde dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan juga membentengi nation state dari ideologi-ideologi yang ber­usaha mengusiknya. Kalangan pesantren, dengan cara dan juga riyadhahnya tersendiri terbukti ikut mewarnai tegak berdirinya republik ini. Bahkan, jauh sebelum republik ini berdiri, pesantren sudah me­na­na­mkan nilai-nilai se­ma­ngat rasa cinta terhadap Ibu Per­tiwi.

Dalam buku Fatwa dan Re­solusi Jihad karya Agus Su­nyoto (2017) digambarkan ba­gai­mana heroisme para santri da­lam membentengi republik ini. Pertempuran 10 Novem­ber 1945 adalah bukti konkret bahwa perlawanan Indonesia ma­sih ada. Nyali arek-arek Su­rabaya terlecut senapas de­ngan semangat santri untuk mem­bentengi bangsa ini dari pe­nin­dasan dan juga penja­jah­an.

Sayangnya, narasi tentang heroisme kalangan pesantren baru muncul belakangan. Se­ti­daknya setelah reformasi ber­gaung. Pada zaman sebelum reformasi, terutama saat Orde Baru, kalangan pesantren nam­paknya disembunyikan di se­mak-semak zaman. Kaum pe­santren dipinggirkan. Ka­la­ngan santri dilemparkan dari gelanggang ruang-ruang sosial bangsa dan negara. Akibatnya, yang terjadi seperti yang sama-sama kita saksikan, kiprah san­tri terkesan meredup.

Politik marginalisasi yang dilakukan oleh Orde Baru jelas berimbas pada bagaimana san­tri memosisikan dirinya. Ka­la­ngan pesantren memilih untuk menangkup diri. Meminjam Istilah Horikoshi (1999), kaum pesantren cenderung me­ne­rap­kan politik isolasi diri. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membentengi diri dari kontestasi yang tidak fair dan ujungnya diyakini merugikan kalangan pesantren.

Ruang-ruang sosial dan juga politik saat itu barangkali merupakan ruang-ruang yang sesak dan pengap. Namun, ti­dak bisa dingkari beberapa san­tri—sebagai sebuah pe­nge­cu­a­lian—erbukti tetap berhasil ber­kiprah di level nasional, da­lam konteks politik ke­bang­saan. Sebut saja misalnya KH Idham Chalid dan juga KH Sai­fuddin Zuhri. Ini artinya pe­santren boleh menentukan si­kap untuk mengisolasi diri, na­mun tidak menutup ke­mung­kinan ­ada santri-san­tri yang “menerobos” dan mencoba “menjebol” tembok sejarah de­ngan masuk be­r­ki­prah, dan se­kaligus juga di wak­tu yang ber­samaan ber­ta­rung di level na­sional, bah­kan internasional.

Memberi Saham
Kemerdekaan Indonesia, tentu saja sebagaimana fakta sejarah tidak bisa dipisahkan dengan andil perjuangan ka­la­ngan pesantren. Kalangan pe­san­tren bahu-membahu meng­halau penjajahan. Belum lagi sebagaimana dinyatakan oleh temuan-temuan terbaru bah­wa sebelum kemrdekaan, fak­ta­nya perlawanan-perlawanan di sejumlah daerah diinisiasi oleh gerakan tarikat yang tentu saja itu artinya dari kalangan pesantren. Doktrin jihad mem­bela negara untuk mengusir penjajah nampak sekali sangat efektif melecut perjuangan ka­langan pesantren.

Maka sebagaimana yang da­­pat kita lihat bersama saat ini, kita berhasil merdeka da­lam arti mengusir bentuk pen­ja­jahan yang paling kasatmata. Hal ini sangat urgen untuk dikemukakan guna memberi konteks bahwa kalangan pe­san­tren memiliki saham yang sangat besar dalam perjuangan mendirikan republik ini. De­ngan tegas harus dinya­ta­kan bahwa salah satu unsur yang membidani lahirnya re­pu­blik Indonesia adalah pesantren.

Pernyataan ini bukan ber­arti ingin membesar-besarkan jasa kalangan santri. Justru yang menjadi titik poin adalah jika selama ini kalangan na­sionalis memiliki jargon jas me­rah yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah, maka kalangan pesantren juga me­miliki jargon jas hijau yang me­miliki arti jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama. Kuncinya adalah bagaimana harus meletakkan sejarah pada proporsinya.

Dengan begitu maka diharapkan kehidupan sosial berbangsa dan bertanah air akan berjalan dengan fair dan proporsional. Artinya ka­langan pesantren tidak lagi di­posisikan sebagai “anak tiri” se­jarah. Padahal sumbangsihnya bukan saja sebatas mem­per­juang­kan kemerdekaan, na­mun jauh daripada itu mengisi kemerdekaan dengan me­na­namkan nilai-nilai Pendidikan yang berbasis nilai-nilai akh­lak, karakter dan juga budi pekerti.

RUU Pesantren
Dalam bingkai filosofi ber­pikir antara lain seperti yang disebutkan di atas, Rancangan Undang-undang (RUU) Ma­dra­sah dan Pesantren men­coba un­tuk diperjuangkan. Per­jua­ngan panjang tersebut dimulai pada sekitar pertengahan 2016. Pel­bagai diskusi dan pe­­r­debatan mewarnai. Namun, tentu saja banyak pihak yang mendukung. Dukungan utama dirasakan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ula­ma (PBNU).

PBNU menyatakan mem­be­ri­kan dukungan penuh atas pengajuan draf RUU Pen­di­dik­an Madrasah dan Pesan­tren yang digagas oleh Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) pada 2016 itu. Du­ku­ngan ter­sebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. Per­nyataan yang tentu saja me­mantik dan mendongkrak se­ma­ngat juang kami di DPR.

Dalam konteks ini, ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengesahkan RUU Madrasah dan Pendidikan Keagamaan men­jadi RUU inisiatif DPR RI pada rapat Baleg pada Kamis (13/9) lalu otomatis menjadi angin segar bagi kita semua, uta­­manya kalangan santri. Se­bab, pertama, mem­per­juang­kan RUU Madrasah dan Pe­san­tren tersebut pada hakikatnya memperjuangkan keadilan un­tuk mendudukan sesuatu pada proporsinya dan kapa­si­tasnya.

Artinya RUU tersebut me­ru­pa­kan usaha untuk mereposisi ka­langan pesantren dari pinggiran republik ke te­ngah-tengah kon­testasi ke­bang­saan. Ini penting setidak­nya mengingat darah dan air mata mereka yang telah me­ne­tes ikut berjuang men­di­rikan republik.

Kedua, dalam RUU tersebut se­jatinya yang diperjuangkan ada­lah keberpihakan dan ke­ha­diran negara bagi pesantren. Pesantren adalah institusi pe­negak moral dan pengajar ka­rakter ge­ne­rasi bangsa. Maka, sebagai ko­mit­men moral ne­gara harus hadir, baik dalam aspek f­i­nansial atau­pun non­fi­nansial. Ini penting se­bab ang­garan pen­di­dikan yang de­­m­i­kian besar, yakni 20% APBN se­lama ini nya­ta­nya masih sangat minim dan terbatas masuk ke kalangan pe­santren. Apalagi jika kita berbicara soal lembaga di­ni­yah dan juga kesejahteraan guru dan te­naga pengajarnya.

Maka, meskipun masih ada tahap-tahap yang harus dilalui, kita harus bersyukur bahwa RUU Pesantren telah disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR. Etos per­juangan dan komitmen ka­la­ng­an pesantren tidak dapat di­ra­gu­kan lagi. Jika dahulu perjuangan kalangan pesantren adalah meng­halau penjajah, dalam kon­teks saat ini perjuangan mereka ada­lah mengisi kemerdekaan de­ngan menghalau kebodohan.

Se­moga disahkannya RUU Ma­dra­sah dan Pesantren sebagai RUU inisiatif DPR menjadi ke­ber­kah­an dan pelecut semangat untuk mengisi perjuangan berbangsa dan bernegara. Amin.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4020 seconds (0.1#10.140)