Menjaga Kualitas Demokrasi dalam Pilkada Serentak 2020

Kamis, 13 Agustus 2020 - 20:04 WIB
loading...
Menjaga Kualitas Demokrasi dalam Pilkada Serentak 2020
Pembahasan sistem pilkada Indonesia, perhelatan di tengah pandemi COVID-19, hingga netralitas ASN menjadi perhatian serius dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 mendatang. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pembahasan sistem pilkada Indonesia, perhelatan di tengah pandemi COVID-19, hingga netralitas ASN menjadi perhatian serius dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 mendatang.

Hal itu terungkap dalam diskusi online yang digelar Forum Indonesia Muda Cerdas/FIMC dengan tema "Menjaga Prinsip Demokrasi untuk Mengawal Pilkada Serentak 2020 dengan Aman dan Damai", Kamis (13/8/2020). Diskusi online tersebut diikuti oleh mahasiswa yang mewakili kampus di DKI Jakarta. (Baca juga: Pesan Amien Rais untuk Jokowi: Terus Atau Mundur)

Deputi Direktur Perludem, Khoirunnisa N Agustyati mengatakan kualitas demokrasi diukur dari sistem presidensial, dimana pemilu presidensial tersebut memakai instrumen proporsional. Hal tersebut membuat masih adanya kekurangan terkait persyaratan pencalonan dengan 20% kursi DPR atau 25% suara pada pemilihan sebelumnya di tahun 2019 lalu.

"Dalam analisis regulasi terdapat beberapa hal seperti adanya penghapusan syarat minimal pencalonan. Mensyaratkan minimal sebagai kader partai politik untuk dapat di calonkan. Meminimalisir dana negara yang di berikan untuk parpol. Menjadikan pemilih lebih berdaya," ujar perempuan yang akrab disapa Mbak Ninis ini.

Dia melanjutkan kesetaraan warga negara, kebebasan yang adil dan partisipasi pemilu dalam tahapan-tahapan pemilu lainnya harus menjadi prioritas. "Seperti kegiatan yang dilakukan oleh FIMC ini adalah salah satu bentuk kegiatan partisipasi," katanya.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi partisipasi yaitu faktor regulasi, administratif, politik, penyelenggara yang independen, informasi yang diterima pemilih, inklusivitas daftar pemilih dan jaminan keamanan dan kesehatan. Jadi, penyelenggara pemilu juga harus mendapat perlindungan supaya terhindar dari adanya intimidasi.

Komisioner KPU, Viryan Aziz menyampaikan permasalahan pilkada di new normal sedikit sulit karena harus menentukan daftar pemilih sedangkan kondisi negara masih dalam keadaan pandemi. Sama halnya dalam hal penegakan hukum pilkada di masa new normal ini lumayan sulit.

"Pendistribusian logistik dan teknis yang sulit dilaksanakan. Maka protokol kesehatan menjadi kunci utama pilkada bisa berjalan dengan aman dan damai. Tapi kesemuanya itu sudah mulai di antisipasi dan di carikan solusi oleh KPU RI selaku penyelenggara agar pilkada di tengah pandemi berjalan dengan baik dengan tetap menjaga prinsip demokrasi," ujar Viryan.

Pembicara ketiga, Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan regulasi terkait pilkada sudah ada. Yang menjadi catatan Bawaslu RI adalah sangat tingginya netralitas ASN, karena ASN terhitung sejak Juli 2020 tercatat paling terbanyak pelanggaran profesionalitas, dan itu yang nantinya akan dihadapi oleh Bawaslu RI.

"Ada laporan 900 temuan per Juli 2020. Kemudian ada 57 pelanggaran kode etik dan yang paling banyak adalah ASN 514 pelanggaran yang ditemukan oleh Bawaslu RI," kata dia.

Dia mengungkapkan pada tahun 2019 lalu ASN paling besar melakukan pelanggaran. Sebanyak 181 ASN memberikan dukungan melalui media sosial, 49 ASN menghadiri kampanye pasangan calon, 38 ASN memberikan dukungan kepada calon kepala daerah.

"Tugas Bawaslu RI salah satunya yaitu meminimalisir adanya money politic sampai money politic itu hilang. Karena politik uang ini adalah racunnya demokrasi, maka harus ditindak tegas agar pilkada tidak hanya aman dan damai tapi juga harus bersih," tegasnya.

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fachri Bachmid menjelaskan dalam perspektif hukum tata negara bahwa pemilu/pilkada tidak bisa dilepaskan dari sistem pemerintahan yaitu presidensial. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengenal yang namanya Parliamentary Threshold/PT yaitu ambang batas yang harus di miliki oleh setiap partai politik. (Baca juga: Pidato Kenegaraan Jokowi Hanya Disaksikan Menko Tanpa Mantan Presiden)

"Yang menjadi permasalahan di sini adalah soal penegakan hukum pemilu/pilkada yang dianggap masih kurang. Karena masih adanya seseorang yang diuntungkan atau dimenangkan dengan cara yang salah. Maka permasalahan inilah yang harus menjadi catatan kita semua agar tidak lagi terjadi adanya pelanggaran dalam pemilu atau pilkada. Penegakan regulasi menjadi sangat penting sebagai payung hukum dalam pelaksanaan pilkada yang demokratis aman dan damai," tutupnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1512 seconds (0.1#10.140)