Pakar Siber: Ngapain Bikin Sirekap Kalau Malah Bikin Gaduh?

Jum'at, 16 Februari 2024 - 21:57 WIB
loading...
Pakar Siber: Ngapain...
Pakar Riset Siber sekaligus Ketua Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mempertanyakan pembuatan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Foto/Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pakar Riset Siber sekaligus Ketua Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mempertanyakan pembuatan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seperti diketahui, saat ini dalam proses pemilu aplikasi tersebut jadi kontroversi.

“Menurut undang-undang pemilu kita hasil perhitungan yang sah itu hasil perhitungan manual, berjenjang, dari mulai TPS, kemudian dari kelurahan kecamatan kabupaten sampai ke pusat di KPU, waktunya maksimal 35 hari begitu ya kan. Oke nggak ada isu untuk itu kita menunggu hasil itung-itungan itu, tetapi dibuat Sirekap,” ujarnya, Jumat (16/2/2024).

Lantas, dia pun mempertanyakan hasil dari pembuatan aplikasi Sirekap ini yang akhirnya malah membuat gaduh. “Ngapain bikin Sirekap kalau mau bikin gaduh? Ngapain Anda bikin Sirekap kalau ternyata sistemnya ternyata belum siap. Berapa lama yang Anda perlukan untuk membuat Sirekap ini yang sebenarnya hal itu yang sangat simpel tapi tidak dilakukan,” kata Pratama.



Di masa mendatang, hasil penghitungan suara dari Sirekap ini tak mustahil menjadi masalah baru. “Kalau nanti hasil Sirekap ini beda dengan hasil perhitungan manual ini akan menjadi problem nanti karena pasti kontestan yang kalah nanti akan komplain,” ucap Pratama.

Sebelumnya, Pakar Digital Forensik dari ITB Agung Harsoyo mengatakan bahwa Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) KPU perlu diassesmen mendalam dan audit forensik IT, menyusul adanya perbedaan perolehan suara di Sirekap dengan bukti foto Formilir C1 hasil Pemilu 2024.

Menurutnya, tujuan pembentukan aplikasi Sirekap ini berkaitan dengan proses bisnis di KPU dalam memgumpulkan suara yang telah dihitung di TPS. Ia berkata, Sirekap ini berbeda dengan software biasa seperti MS-Word yang tak langsung terkait proses bisnis tertentu.

"Jadi, Sirekap ketika dibuat mesti mempertimbangkan dan mengimplementasikan requirements yang dibuat KPU. Contoh kecil, jika maksimum pemilih pada satu TPS adalah 300, maka pada aplikasi Sirekap jika ada perolehan suara melebihi 300 sudah tersaring, harus ada indikasi error," terang Agung saat dihubungi, Kamis (15/2/2024) malam.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1069 seconds (0.1#10.140)