Bola, Asyik, Adil
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Pencinta Sepak Bola, Guru Besar Ilmu Hukum UGM
PIALA Dunia Rusia 2018 yang sudah memasuki babak semifinal berlangsung gegap gempita. Jutaan pasang mata menyaksikan pertandingan tim elite dunia langsung atau lewat siaran televisi. Sungguh rugi bila tontonan berskala dunia ini tidak diambil hikmah pelajaran untuk pendewasaan untuk persepakbolaan nasional.
Kita perlu melihatnya dengan mata kepala dan sekaligus mata hati setiap kejadian, utamanya yang unik-unik. Daripadanya, terpancar cahaya, ilmu, nutrisi, dan semangat perjuangan yang tertanam ke jiwa bangsa. Realitas rohaniah ini perlu diolah sedemikian rupa agar tertransformasikan sebagai karakter bangsa. Bila sikap bijak demikian dapat dikonkretkan, saya yakin, persepakbolaan nasional semakin maju, berkualitas, dan berkeadilan. Renungkanlah beberapa argumentasi berikut.
Pertama, sepak bola itu permainan. Mengasyikkan. Semua orang yang pernah bermain sepak bola tentu merasakan keasyikannya. Keasyikan itu perlu terus dijaga, dipertahankan, syukur dikembangkan. Keasyikan itu wujud dari perilaku hukum insan-insan sepak bola. Bangsa yang sehat rohaniahnya, pasti mampu berbuat lebih banyak, lebih baik, dan lebih maksimal dalam memajukan persepakbolaannya.
Pada gilirannya, jiwa bangsa akan tertransformasikan dalam bentuk perilaku hukum alamiah, ramah, dan santun. Tidak ada kekerasan, bentrok, kolusi, kecurangan. Kita amat rindu tampilnya perilaku hukum insan-insan sepak bola secara alamiah itu.
Kedua, objek permainannya adalah bola, strategi, dan fasilitas-fasilitas pendukungnya. Semua tim harus menggunakan daya, kemampuan, dan kecerdasan untuk memaksimalkan potensi objek-objek tersebut. Kuncinya pada profesionalitas yang didasarkan moralitas kebangsaan dan dijauhkan dari intervensi politik. Terbukti, pada bangsa yang serius mengelola sepak bola secara kontinu dan intensif, pasti terbentuk tim yang tangguh.
Ketiga, dalam sepak bola ada aturan main (hukum) yang berlaku universal. Semua orang yang terlibat, harus paham aturan main itu. Aturan main telah dibuat sedemikian bagus, terus dievaluasi, serta dikembangkan. Terakhir, ada Video Assistant Referees (VAR). Aturan ini mulai diberlakukan pada Piala Konfederasi 2017.
Pada Piala Dunia 2018, penggunaannya sangat nyata. Dengan VAR, maka kejadian-kejadian kontroversial, (misal soal offside, handsball di kotak penalti), dapat diselesaikan dengan cepat dan tuntas. Sejurus dengan perkembangan aturan main persepakbolaan, maka di ranah nasional, aturan-aturan main itu harus dipahami, ditaati, dan ditegakkan demi terwujudnya keadilan sosial dan kebahagiaan bangsa secara keseluruhan.
Keempat, dalam sepak bola terlibat banyak orang, baik di dalam maupun di luar lapangan. Ada manajer, pelatih, pemain, suporter, dan lain-lain. Semuanya ikut menentukan kualitas permainan. Kalahnya tim Argentina bukan semata-mata buruknya penampilan Lionel Messi. Pun pula kalahnya tim Portugal bukan karena kesalahan Ronaldo.
Sepak bola itu permainan tim, perjuangan seluruh komponen bangsa. Faktor mentalitas, menjadi penentu utama kalah atau menangnya sebuah tim. Fundamental persepakbolaan terletak pada karakter, perilaku, dan pandangan hidup insan-insan persepakbolaan negara masing-masing.
Kelima, sepak bola merupakan perpaduan aktivitas fisik dan aktivitas rohaniah. Sehebat apa pun usaha-usaha telah dilakukan, belumlah jaminan bahwa tim itu pasti sukses. Sering dijumpai hal-hal tak terduga, irasional. Ada pula nasib sial. Maka, keterhubungan dengan kekuatan suprarasional, perlu dijalin sepanjang waktu. Para pemain khusyuk berdoa sebelum pertandingan dimulai. Pemain dan pelatih bersujud syukur selepas mencetak gol. Doa itu kekuatan. Doa itu aktivitas rohaniah yang ilmiah. Doa dan syukur menjadi penyempurna usaha lahiriah.
Keenam, apa pun hasil akhirnya kalah, seri, atau menang tiada lain merupakan resultant dari usaha, doa, dan syukur, sekaligus wujud progresivitas persepakbolaan modern. Hasil akhir adalah wujud keadilan sosial bagi semesta. Skor berapa pun, merupakan proporsionalitas dari akumulasi pendayagunaan potensi-potensi bangsa dan aktivitas jiwa raga secara terpadu.
Dari beberapa argumentasi tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa pengelolaan sepak bola di dalam dan di luar lapangan, sebelum dan pada saat pertandingan- perlu dilakukan secara cerdas, kreatif, terpadu, dan kompak. Kekompakannya dapat diibaratkan sebagai pasukan yang mau berperang.
Patuh pada komando, militan, dan rela berkorban, demi kejayaan negeri. Pada Piala Dunia 2018, Jepang tampil spektakuler, impresif, dan sportif. Suporternya disanjung bangsa lain karena santun, mampu menjaga kebersihan, mengedepankan moralitas sosial-kebangsaannya. Ini layak dijadikan inspirasi pembinaan persepakbolaan nasional.
Pada 1980-an, PSSI mampu mengalahkan kesebelasan Jepang. Jepang kala itu masih terbelakang perihal persepakbolaan. Kini, persepakbolaan Jepang bangkit. Mereka bersepak bola dalam keterpaduan antara kekuatan fisik, jiwa, dan semangat kebangsaan. Persepakbolaan Jepang sarat dengan nilai kebangsaan, nilai perjuangan, dan nilai kemuliaan. Mereka sadar bahwa bangsa Jepang sejajar dengan bangsa lain, maka persepakbolaan Jepang pun diyakini pasti bisa menang atas kesebelasan negara-negara Eropa atau Amerika Latin. Mereka telah mampu membuktikannya.
Tim Nasional PSSI U-19 kini sedang berlaga di Grup A Piala AFF 2018. Di dalamnya bertabur bibit-bibit unggul pesepak bola nasional. Bibit-bibit itu perlu dirawat, disiram, dipupuk, agar berkembang menjadi pesepak bola tingkat internasional. Tidak apa, untuk sementara kalah dari Thailand. Sudah proporsional, fair , dan adil. Kali lain, Indonesia mesti unggul.
Masa depan persepakbolaan nasional akan cerah bila dikelola secara holistik. Seluruh potensi jiwa raga, lokal-nasional, pusat-daerah, semua level generasi, perlu digali dan ditransformasikan sebagai kekuatan nasional. Persepakbolaan dunia dipelajari, diajarkan, dan dipraktikkan. Jayalah sepak bola Indonesia.
Bola, Asyik, Adil
Pencinta Sepak Bola, Guru Besar Ilmu Hukum UGM
PIALA Dunia Rusia 2018 yang sudah memasuki babak semifinal berlangsung gegap gempita. Jutaan pasang mata menyaksikan pertandingan tim elite dunia langsung atau lewat siaran televisi. Sungguh rugi bila tontonan berskala dunia ini tidak diambil hikmah pelajaran untuk pendewasaan untuk persepakbolaan nasional.
Kita perlu melihatnya dengan mata kepala dan sekaligus mata hati setiap kejadian, utamanya yang unik-unik. Daripadanya, terpancar cahaya, ilmu, nutrisi, dan semangat perjuangan yang tertanam ke jiwa bangsa. Realitas rohaniah ini perlu diolah sedemikian rupa agar tertransformasikan sebagai karakter bangsa. Bila sikap bijak demikian dapat dikonkretkan, saya yakin, persepakbolaan nasional semakin maju, berkualitas, dan berkeadilan. Renungkanlah beberapa argumentasi berikut.
Pertama, sepak bola itu permainan. Mengasyikkan. Semua orang yang pernah bermain sepak bola tentu merasakan keasyikannya. Keasyikan itu perlu terus dijaga, dipertahankan, syukur dikembangkan. Keasyikan itu wujud dari perilaku hukum insan-insan sepak bola. Bangsa yang sehat rohaniahnya, pasti mampu berbuat lebih banyak, lebih baik, dan lebih maksimal dalam memajukan persepakbolaannya.
Pada gilirannya, jiwa bangsa akan tertransformasikan dalam bentuk perilaku hukum alamiah, ramah, dan santun. Tidak ada kekerasan, bentrok, kolusi, kecurangan. Kita amat rindu tampilnya perilaku hukum insan-insan sepak bola secara alamiah itu.
Kedua, objek permainannya adalah bola, strategi, dan fasilitas-fasilitas pendukungnya. Semua tim harus menggunakan daya, kemampuan, dan kecerdasan untuk memaksimalkan potensi objek-objek tersebut. Kuncinya pada profesionalitas yang didasarkan moralitas kebangsaan dan dijauhkan dari intervensi politik. Terbukti, pada bangsa yang serius mengelola sepak bola secara kontinu dan intensif, pasti terbentuk tim yang tangguh.
Ketiga, dalam sepak bola ada aturan main (hukum) yang berlaku universal. Semua orang yang terlibat, harus paham aturan main itu. Aturan main telah dibuat sedemikian bagus, terus dievaluasi, serta dikembangkan. Terakhir, ada Video Assistant Referees (VAR). Aturan ini mulai diberlakukan pada Piala Konfederasi 2017.
Pada Piala Dunia 2018, penggunaannya sangat nyata. Dengan VAR, maka kejadian-kejadian kontroversial, (misal soal offside, handsball di kotak penalti), dapat diselesaikan dengan cepat dan tuntas. Sejurus dengan perkembangan aturan main persepakbolaan, maka di ranah nasional, aturan-aturan main itu harus dipahami, ditaati, dan ditegakkan demi terwujudnya keadilan sosial dan kebahagiaan bangsa secara keseluruhan.
Keempat, dalam sepak bola terlibat banyak orang, baik di dalam maupun di luar lapangan. Ada manajer, pelatih, pemain, suporter, dan lain-lain. Semuanya ikut menentukan kualitas permainan. Kalahnya tim Argentina bukan semata-mata buruknya penampilan Lionel Messi. Pun pula kalahnya tim Portugal bukan karena kesalahan Ronaldo.
Sepak bola itu permainan tim, perjuangan seluruh komponen bangsa. Faktor mentalitas, menjadi penentu utama kalah atau menangnya sebuah tim. Fundamental persepakbolaan terletak pada karakter, perilaku, dan pandangan hidup insan-insan persepakbolaan negara masing-masing.
Kelima, sepak bola merupakan perpaduan aktivitas fisik dan aktivitas rohaniah. Sehebat apa pun usaha-usaha telah dilakukan, belumlah jaminan bahwa tim itu pasti sukses. Sering dijumpai hal-hal tak terduga, irasional. Ada pula nasib sial. Maka, keterhubungan dengan kekuatan suprarasional, perlu dijalin sepanjang waktu. Para pemain khusyuk berdoa sebelum pertandingan dimulai. Pemain dan pelatih bersujud syukur selepas mencetak gol. Doa itu kekuatan. Doa itu aktivitas rohaniah yang ilmiah. Doa dan syukur menjadi penyempurna usaha lahiriah.
Keenam, apa pun hasil akhirnya kalah, seri, atau menang tiada lain merupakan resultant dari usaha, doa, dan syukur, sekaligus wujud progresivitas persepakbolaan modern. Hasil akhir adalah wujud keadilan sosial bagi semesta. Skor berapa pun, merupakan proporsionalitas dari akumulasi pendayagunaan potensi-potensi bangsa dan aktivitas jiwa raga secara terpadu.
Dari beberapa argumentasi tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa pengelolaan sepak bola di dalam dan di luar lapangan, sebelum dan pada saat pertandingan- perlu dilakukan secara cerdas, kreatif, terpadu, dan kompak. Kekompakannya dapat diibaratkan sebagai pasukan yang mau berperang.
Patuh pada komando, militan, dan rela berkorban, demi kejayaan negeri. Pada Piala Dunia 2018, Jepang tampil spektakuler, impresif, dan sportif. Suporternya disanjung bangsa lain karena santun, mampu menjaga kebersihan, mengedepankan moralitas sosial-kebangsaannya. Ini layak dijadikan inspirasi pembinaan persepakbolaan nasional.
Pada 1980-an, PSSI mampu mengalahkan kesebelasan Jepang. Jepang kala itu masih terbelakang perihal persepakbolaan. Kini, persepakbolaan Jepang bangkit. Mereka bersepak bola dalam keterpaduan antara kekuatan fisik, jiwa, dan semangat kebangsaan. Persepakbolaan Jepang sarat dengan nilai kebangsaan, nilai perjuangan, dan nilai kemuliaan. Mereka sadar bahwa bangsa Jepang sejajar dengan bangsa lain, maka persepakbolaan Jepang pun diyakini pasti bisa menang atas kesebelasan negara-negara Eropa atau Amerika Latin. Mereka telah mampu membuktikannya.
Tim Nasional PSSI U-19 kini sedang berlaga di Grup A Piala AFF 2018. Di dalamnya bertabur bibit-bibit unggul pesepak bola nasional. Bibit-bibit itu perlu dirawat, disiram, dipupuk, agar berkembang menjadi pesepak bola tingkat internasional. Tidak apa, untuk sementara kalah dari Thailand. Sudah proporsional, fair , dan adil. Kali lain, Indonesia mesti unggul.
Masa depan persepakbolaan nasional akan cerah bila dikelola secara holistik. Seluruh potensi jiwa raga, lokal-nasional, pusat-daerah, semua level generasi, perlu digali dan ditransformasikan sebagai kekuatan nasional. Persepakbolaan dunia dipelajari, diajarkan, dan dipraktikkan. Jayalah sepak bola Indonesia.
Bola, Asyik, Adil
(maf)