Pemuda Harus Jadi Agen Perubahan di Era Digital
loading...
A
A
A
Generasi muda Indonesia sudah bersentuhan dengan perangkat digital sehingga diharapkan lebih bijak dalam penggunaannya. Generasi muda memiliki tanggung jawab untuk menjadi agen perubahan di era serbadigital ini. Dia berharap generasi muda menyadari pentingnya membangun literasi digital dan berkolaborasi untuk hal-hal yang bersifat positif. (Baca juga: Postingan Menghujat Nabi Muhammad Picu Bentrokan di India, Tiga Tewas)
“Kita buat perubahan yang lebih baik bukan kita mengikuti arus, dengan media digital kita malah membuat berita hoaks. Di sini penting tanggung jawab sosial dan individu,” ucap Ni’am.
Sementara itu, Akhyari Hananto mengatakan, masyarakat Indonesia memiliki beberapa “DNA” yang bisa membuat bangsa ini semakin dikenal dan maju untuk bersaing dengan bangsa lain di dunia. DNA tersebut di antaranya adalah masyarakat Indonesia adalah paling dermawan, suka memberi dan membantu orang lain tanpa pamrih, peduli terhadap permasalahan dunia, aktif secara digital dan kreatif.
“Orang Indonesia begitu aktif di sosial media, sayang saat ini yang menjadi mainstream adalah akun-akun yang bombastis,” ujarnya.
Padahal, kata Akhyari, yang paling penting dilakukan saat ini adalah membanjiri sosial media dengan berita positif dengan anak-anak muda yang berprestasi. “Dengan begitu, lambat laun maka isi dari sosial media akan berimbang,” papar Akhyari.
Yogi Adjie Driantama menjelaskan, lembaga yang dikelolanya memberikan pendidikan gratis berbasis lifeskill kepada anak putus sekolah. Tujuannya agar setelah selesai belajar anak-anak tersebut bisa punya nilai jual untuk bersaing di industri kreatif dan dampak terjauhnya agar bisa meningkatkan taraf hidup keluarganya.
Yogi mempertanyakan mengapa masih banyak mahasiswa yang malas mengerjakan tugas, malas ketemu dosen, dan malas menulis skripsi. Padahal hal-hal seperti itu tidak pernah dia temukan pada anak putus sekolah ketika mereka mendapatkan kesempatan. “Artinya bisa saja anak universitas kalah oleh anak putus sekolah, anak yang hari ini ada di jalan, ketika mereka mendapatkan akses pendidikan,” kata dia. (Baca juga: Kemendikbud Luncurkan gerakan 1 Juta Masker)
Yogi menekankan bahwa dia tidak mempersoalkan siapa mengalahkan siapa, tapi bagaimana agar anak putus sekolah dan anak yang berasal dari universitas bisa sama-sama maju memanfaatkan bonus demografi agar impian untuk melihat Indonesia maju dan menjadi bangsa besar bisa tercapai.
“Bangsa yang besar hanya bisa kita capai jika tidak satu pun anak muda yang tertinggal di belakang. Dan semua permasalahan bangsa hari ini hanya bisa diselesaikan dengan satu faktor, yakni pendidikan,” tandasnya. (Iman Firmansyah)
“Kita buat perubahan yang lebih baik bukan kita mengikuti arus, dengan media digital kita malah membuat berita hoaks. Di sini penting tanggung jawab sosial dan individu,” ucap Ni’am.
Sementara itu, Akhyari Hananto mengatakan, masyarakat Indonesia memiliki beberapa “DNA” yang bisa membuat bangsa ini semakin dikenal dan maju untuk bersaing dengan bangsa lain di dunia. DNA tersebut di antaranya adalah masyarakat Indonesia adalah paling dermawan, suka memberi dan membantu orang lain tanpa pamrih, peduli terhadap permasalahan dunia, aktif secara digital dan kreatif.
“Orang Indonesia begitu aktif di sosial media, sayang saat ini yang menjadi mainstream adalah akun-akun yang bombastis,” ujarnya.
Padahal, kata Akhyari, yang paling penting dilakukan saat ini adalah membanjiri sosial media dengan berita positif dengan anak-anak muda yang berprestasi. “Dengan begitu, lambat laun maka isi dari sosial media akan berimbang,” papar Akhyari.
Yogi Adjie Driantama menjelaskan, lembaga yang dikelolanya memberikan pendidikan gratis berbasis lifeskill kepada anak putus sekolah. Tujuannya agar setelah selesai belajar anak-anak tersebut bisa punya nilai jual untuk bersaing di industri kreatif dan dampak terjauhnya agar bisa meningkatkan taraf hidup keluarganya.
Yogi mempertanyakan mengapa masih banyak mahasiswa yang malas mengerjakan tugas, malas ketemu dosen, dan malas menulis skripsi. Padahal hal-hal seperti itu tidak pernah dia temukan pada anak putus sekolah ketika mereka mendapatkan kesempatan. “Artinya bisa saja anak universitas kalah oleh anak putus sekolah, anak yang hari ini ada di jalan, ketika mereka mendapatkan akses pendidikan,” kata dia. (Baca juga: Kemendikbud Luncurkan gerakan 1 Juta Masker)
Yogi menekankan bahwa dia tidak mempersoalkan siapa mengalahkan siapa, tapi bagaimana agar anak putus sekolah dan anak yang berasal dari universitas bisa sama-sama maju memanfaatkan bonus demografi agar impian untuk melihat Indonesia maju dan menjadi bangsa besar bisa tercapai.
“Bangsa yang besar hanya bisa kita capai jika tidak satu pun anak muda yang tertinggal di belakang. Dan semua permasalahan bangsa hari ini hanya bisa diselesaikan dengan satu faktor, yakni pendidikan,” tandasnya. (Iman Firmansyah)