Menelisik di Balik Bahaya Rokok Ilegal

Senin, 29 Januari 2024 - 07:09 WIB
loading...
Menelisik di Balik Bahaya Rokok Ilegal
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto: Dok SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

TATKALA menapaki langkah baru memasuki 2024, kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pun kembali menyapa. Sejak Januari 2024, pemerintah telah melanjutkan pemberlakuan kenaikan tarif cukai rokok yang tertuang dalam dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

Peraturan tersebut menegaskan bahwa harga rokok di Indonesia saat ini kembali mengalami kenaikan harga dengan rata-rata kenaikan 10% bagi rokok konvensional, diikuti kenaikan tarif CHT bagi rokok elektronik rata-rata sebesar 15%, dan hasil pengolahan tembakau lain rata-rata 6%.

Fenomena kenaikan tarif CHT kerap menjadi polemik hampir setiap tahun, kecuali dalam masa pandemi. Pasalnya, produk tembakau memanglah tak pernah lepas dari kontroversi dalam setiap kebijakannya karena bagai pisau bermata dua. Rokok yang merupakan produk hasil tembakau memiliki dua fenomena yang berbeda dan memiliki pertentangan value (nilai).

Pada satu sisi, tembakau muncul sebagai tulang punggung ekonomi, yakni menjadi sumber pendapatan bagi jutaan masyarakat hingga negara, sekaligus menjadi mata pencaharian ribuan petani dan menjadi tempat bekerja baik Industri maupun mata rantai perdagangannya. Akan tetapi, di balik gemerlapnya kesejahteraan ekonomi yang dihasilkan, terdapat pula sisi kesehatan sebagai dampak negatif yang ditimbulkan dari produk tembakau yang memang sepatutnya juga perlu diperhatikan.

Alhasil, dualisme kepentingan ekonomi dan kesehatan yang kerap bertolak belakang tersebut kerap tak habis dikupas.

Pradoks Kenaikan Harga Rokok

Selama ini, pemerintah di dalam menentukan kebijakan cukai berupaya untuk bersandar pada 4 pilar kebijakan yang meliputi pengendalian konsumsi, keberlangsuangan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal.

Terkait pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, pemerintah masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kebijakan kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun. Faktanya, data menunjukkan bahwsa indikator prevelansi perokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007.

Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif. Hasil Kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) pada tahun 2021, menunjukkan bahwa kebijakan harga tidak selalu serta merta membuat perokok untuk berhenti merokok.

Hasil survey tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok (usia 15 tahun keatas) karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok.

Di sisi lain, ketika konsumen rokok tidak mengalami penurunan secara signifikan akibat kenaikan tarif cukai yang terus terjadi di setiap tahunnya, justru yang telah mengalami dampak secara langsung adalah keberlangsungan produsen produk tembakau.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2021) menunjukkan bahwa sejak 2014, volume produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) terus mengalami penurunan dramatis dan diikuti dengan makin banyaknya pabrikan rokok yang gulung tikar. Berdasarkan data Gappri (2022) jumlah pabrikan rokok mengalami penurunan signifikan dari 4609 perusahaan di tahun 2007 menjadi hanya tersisa 1200 perusahaan di tahun 2022.

Ironisnya, kenaikan tarif cukai justru telah sukses mendorong terjadinya peningkatan perederan rokok ilegal. Data DJBC (2020) mencatat bahwa kenaikan tarif cukai, terutama pada kenaikan tarif yang cukup tinggi yang terjadi di tahun 2020 sebesar 23% dan HJE meningkat 35% (PMK 152/2019), telah memicu peningkatan peredaran rokok ilegal menjadi 4,8% di tengah terjadinya penurunan jumlah volume produksi rokok legal yang drastis.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pergeseran konsumsi rokok atas harga yang lebih murah nyata adanya. Penelitian yang dilakukan oleh Schafferer et al. (2018) menjelaskan bahwa perokok dari kelompok dispossible income yang lebih rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi kenaikan harga rokok dibandingkan perokok dengan dispossible income yang lebih tinggi.

Selaras dengan hasil survei PPKE (2022) yang juga menunjukkan bahwa mayoritas (70%) perokok mengonsumsi merk rokok berdasarkan pertimbangan harga. Berdasarkan survei yang telah dilakukan PPKE (2022) juga ditemukan bahwa sebagian besar konsumen rokok ilegal (rokok polosan ataupun tingwe) adalah masyarakat yang berpendapatan rendah.

Bahaya Rokok Ilegal

Rokok telah lama menjadi perbincangan serius dalam konteks kesehatan masyarakat. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa rokok illegal sering kali dapat menimbulkan risiko kesehatan yang lebih serius dibandingkan dengan rokok legal yang diatur dengan ketat. Hal itu karena rokok ilegal mutlak diproduksi dan diperdagangkan tanpa melibatkan proses regulasi yang ketat, sehingga mengakibatkan kekhawatiran utama terkait bahan-bahan kimia berbahaya yang “mungkin” terkandung di dalamnya. Tanpa kontrol mutu yang tepat, rokok ilegal berpotensi mengandung zat aditif yang merugikan kesehatan.

Bahkan, rokok ilegal disinyalir sering kali memiliki kadar nikotin yang tidak terprediksi, bisa jauh melebihi batas yang diizinkan. Alhasil, tingginya kadar nikotin tersebut dapat meningkatkan risiko kecanduan dan memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap kesehatan mental dan fisik penggunanya.

Demi melindungi kesehatan masyarakat secara keseluruhan, perlu ditingkatkan upaya penindakan hukum terhadap perdagangan rokok ilegal, sambil terus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi rokok, terutama rokok ilegal yang dapat menimbulkan bahaya ekstra.

Peningkatan peredaran rokok ilegal dapat lebih membahayakan kesehatan perokok karena rokok ilegal diproduksi tanpa pengawasan ketat dan tanpa melewati uji laboratorium. Selain itu, peningkatan peredaran rokok ilegal menyebabkan negara berpotensi mengalami kehilangan penerimaan (dari CHT maupun penerimaan pajak lainnya seperti PPn atau pajak daerah).

Pemerintah selalu memiliki tanggung jawab untuk mengelola kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam hal mengontrol konsumsi produk yang berpotensi merugikan kesehatan, seperti rokok. Saat ini, pemerintah perlu merefleksi kembali tujuan utama penerapan cukai rokok, yaitu untuk mengontrol konsumsi bukan semata-mata untuk meningkatkan penerimaan negara. Oleh sebab itu, pemerintah dapat lebih fokus pada upaya preventif terhadap dampak kesehatan masyarakat, bukan pada kenaikan tarif cukai yang terus menerus dilakukan hingga melewati titik optimum.

Sejalan dengan menempatkan kesejahteraan publik sebagai prioritas, pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan cukai yang lebih efektif untuk mengurangi prevalensi merokok dan masalah kesehatan terkait. Dalam hal ini, tujuan bukan hanya mencakup pengendalian konsumsi rokok, tetapi juga memberikan dukungan kepada masyarakat untuk beralih ke gaya hidup yang lebih sehat.

Oleh karenanya, langkah-langkah ini tidak hanya akan menciptakan efek positif pada kesehatan masyarakat, tetapi juga merangsang kesadaran akan pentingnya menjaga keberlanjutan kesejahteraan bersama. Semoga.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2123 seconds (0.1#10.140)