Independensi Rakyat dalam Pilkada

Senin, 21 Mei 2018 - 07:26 WIB
Independensi Rakyat dalam Pilkada
Independensi Rakyat dalam Pilkada
A A A
Nurlia Dian Paramita

Ketua Bidang Organisasi PP Nasyiatul Aisyiah (PPNA) 2016-2020, Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR)

RAKYAT konon ada­lah pemegang ke­daulatan terting­gi dalam soal pe­mi­lihan pemimpin politik (Da­ha­na, 2017). Namun, rak­yat se­ringkali dihadapkan pada pi­lih­an-pilihan yang ti­dak stra­tegis, bahkan me­ngoop­­tasi daya pilih mereka. Se­jatinya proses re­ge­ne­rasi kepemim­pin­an di dae­rah me­lalui pil­ka­da meng­ha­sil­kan se­buah ke­se­pakatan dan ke­ber­lanjutan yang terjalin antara pemimpin dan rak­yat­nya. De­ngan begitu, tidak ada distorsi atas ke­bi­ja­kan baik yang telah di­ru­mus­kan ber­sa­ma hingga akhirnya berganti hanya ka­rena pe­mim­pin yang terpilih bukan dari genre se­be­lumnya. Sekian lama proses pe­milihan lang­sung berjalan, na­sib kaum alit tidak jauh ber­ubah (Muíti, 2018).

Apakah rakyat selama ini sudah menjadi warga yang in­de­penden? Atau, malah rakyat bukan siapa-siapa di dalam konstruksi demokrasi ke­bang­saan di Indonesia ini. Fe­no­mena peningkatan kasus ke­pala daerah yang terjerat ko­rupsi tentu sangat kental sekali dengan persekongkolan elite dengan petinggi partai lokal ataupun pengusaha/cu­kong yang kerap menjadi salah satu bohir yang ikut andil da­lam kon­­testasi daerah. Rakyat ha­nya dapat terkesima seraya ber­ge­ming, benarkah pe­mim­pin kami adalah pemimpin yang ko­rup, tercela, dan peng­khia­nat kepercayaan rakyat. Se­buah kondisi yang mem­pri­ha­tinkan sekaligus menjadi se­buah pertanda bahwa proses de­mokrasi Indonesia dalam kon­disi masygul.

Rakyat Cenderung Apatis

Negara penting untuk meng­hadirkan sebuah re­gu­la­si yang mengatur agar tatanan politik bangsa ini dapat mem­berikan praktik baik dalam ber­de­mokrasi. Tak dapat di­pung­kiri bahwa partai politik men­jadi satu-satunya wadah yang dianggap mampu men­ja­di wa­dah dalam mencerdaskan pe­milih. Jelas bahwa sistem de­­mo­krasi menghendaki partai politik menjadi penyangga uta­­ma yang menghasilkan wa­kil-wakil rakyat kredibel dan ama­nah.

Namun, hal tersebut ti­dak kunjung serius dilakukan, Partai-partai baru yang ber­mun­­culan, platform pendi­rian­nya bahkan belum sepe­nuhnya menawarkan ihwal yang substansial, setidaknya mereka hanya membelah diri demi dramaturgi kekuasaan yang ultraradikal. Perburuan kekuasaan didasarkan pada pe­rebutan antara satu “spe­sies” melawan “spesies” lain guna mengekalkan privilese yang dimiliki oleh segelintir elite yang telah lama men­do­mi­nasi (Maliki, 2012).

Rakyat akhirnya me­nen­tukan pilih­an­nya ber­da­sarkan siapa yang memberikan ban­tu­an (dana cash, pemberian sem­bako, pro­gram bersubsidi, dan iming-iming jabatan).

Peran Penyelenggara Pemilu

KPU dan Bawaslu mem­pu­nyai peran penting da­lam me­nyosialisasikan para calon ke­pala daerah sekaligus mem­be­rikan pencerahan ke­pa­da ma­syarakat pemilih me­la­l­ui teknis penyelenggaraan. KPU sebagai pe­nye­leng­gara teknis dapat me­mas­tikan bah­wa proses pen­daf­taran ter­ma­suk kelengkapan ijazah calon tidak bodong, per­kenalan calon kepala daerah melalui me­ka­nisme kampanye sung­guh-sung­guh dilakukan de­ngan muat­an materi yang telah di­canangkan, visi misi harus se­suai dengan rencana pem­ba­ngunan daerah, bukan omong ko­song apalagi mem­bual janji kepada rakyat.

Bawaslu mem­be­rikan in­for­­ma­si mengenai catatan fik­tif atau potensi pe­langgaran yang dilakukan oleh calon ke­pala daerah, termasuk apabila yang bersangkutan tid­ak trans­­par­an dalam pen­da­na­an kamp­a­nye serta tidak me­la­kukan kam­panye yang edu­ka­tif dan bernuansa SARA ter­ha­dap ma­syarakat.

Tagih Janji Politik

Memproduksi dan mem­ba­ngun persepsi bahwa politik yang baik dan sehat itu men­de­sak untuk dilakukan. Jangan sampai rakyat terus terjebak pada apatisme yang membuat mereka kehilangan selera un­tuk terlibat aktif dalam par­ti­sipasi politik. Independensi da­lam memberikan hak pilih ter­hadap pemimpin yang di­ang­gap kre­dibel dan amanah di­harapkan mampu me­ngu­rangi produksi kepemimpinan yang korup dan rentan pe­nye­le­wengan.

Pertama, mengikat kontrak politik dengan calon pe­mim­pin kepala daerah, ada hak dan kewajiban yang akan diterima sebagai konsekuensi calon pemimpin kepala dae­rah. Tim­ses kampanye pas­a­ngan calon sebaiknya berasal dari rakyat setempat, bukan titipan elite pusat, apalagi pihak yang tidak paham dae­rah pemilihan. Ke­dua, me­nyi­sir kontestan yang dinilai me­ru­gikan publik (ke­bi­jakan yang manipulatif) de­ngan me­nyosialisasikan da­lam rapat RT/RW.

Ketiga, meng­­gerakkan par­tisipasi pro­­duktif warga dalam lokus “se­­lamat­kan pilkada dae­rah”. Hal ini di­harapkan mampu mem­bang­kitkan tang­gung jawab publik un­tuk turut memonitor se­ka­ligus aktif da­lam ikut mem­be­rikan in­ves­tasi politik khu­susnya yang sesuai dengan aspirasi ma­syarakat setempat.

Untuk itu, pada 2018 ini menjadi salah satu perjalanan sejarah yang tak boleh disia-siakan. Ha­rapan dan cita-cita mulia bang­sa ini sebaiknya segera ter­wu­jud. Bah­wa rakyat adalah sub­jek vital perubahan yang tak per­nah redup.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3281 seconds (0.1#10.140)