Reformasi Semu Malaysia

Senin, 21 Mei 2018 - 06:09 WIB
Reformasi Semu Malaysia
Reformasi Semu Malaysia
A A A
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya

KUNJUNGAN calon pe­mimpin masa de­pan Malaysia, An­war Ibrahim, ke Ja­karta pekan ini, tak lama setelah kembalinya Mahathir Mu­ham­mad ke singgasana per­dana menteri, tentu me­ru­pakan hal menarik karena mem­­berikan harapan besar perbaikan hu­bu­ngan dua negara.

Sekadar mengingatkan, li­ma tahun lalu pemimpin ke­lom­pok oposisi Pakatan Rak­yat Malay­sia tersebut ber­kun­jung ke Ja­karta. Tak hanya se­kali, bahkan dua kali pada ta­hun itu. Pada Juni 2013, pas­capemilu, Anwar datang ke Indonesia karena konon di­un­dang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Selain bertemu Presiden SBY, Anwar Ibrahim juga ber­te­mu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat itu. Dalam kunjungan itu dia juga m­e­la­ku­kan konferensi pers terkait kekalahannya dalam pemilu. Salah satu janjinya saat itu jika nanti menjadi pemimpin Ma­lay­sia adalah memperbaiki hu­bungan dengan Indonesia.

Kemudian pada November, Anwar Ibrahim kembali ke Ja­karta untuk menjadi pem­bi­cara tentang demokrasi di Uni­versitas Indonesia. Dalam kun­jungan itu dia bertemu se­jum­lah tokoh dan tak lupa me­nyam­paikan pujiannya ter­ha­dap kinerja penanganan ko­rupsi di Indonesia.

Dua kali kunjungan mem­buat Indonesia menjadi pilihan utama bagi anak Anwar Ib­ra­him untuk meminta dukungan bagi sang ayah yang dipenjara. Pada April 2015, Nurul Iman dan Nurul Izzah, anak-anak Anwar Ibrahim menggalang pe­tisi gerakan March2Free­dom sebagai dukungan pem­be­basan bagi sang ayah.

Pada sisi lain, kehadiran Anwar Ibrahim ke Indonesia se­telah mendapatkan pen­g­am­punan penuh dari Raja Mal­ay­sia Sultan Muhammad V yang memungkinkan Anwar bisa sepenuhnya berpartisipasi da­lam politik hanya menegaskan reformasi yang terjadi di Ma­lay­sia saat ini masihlah semu.

Saya menyebut semu ka­rena sejatinya reformasi yang kini disebut terjadi di Malaysia tidak digerakkan oleh rakyat seperti di Indonesia. Se­ba­liknya, nampak jelas, per­gan­tian kekuasaan terjadi akibat konflik elite tradisional dan elite sipil. Mengapa? Saya akan ber­pa­ling ketika bisik-bisik perihal re­formasi di Malaysia telah ken­cang terjadi pada 2008. Saat itu ketidakpuasan elite tradisional Malaysia terhadap elite formal (perdana menteri) mulai memuncak.

Kondisi di Malaysia berbeda de­ngan latar belakang Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII men­du­kung gerakan reformasi 1998 yang memang digerakkan ma­syarakat madani. Dukungan moral dilakukan terhadap as­pi­rasi rakyat yang gerah dengan kondisi politik elite di Jakarta.

Sebaliknya, dalam kasus Ma­­laysia, pada 2008, per­la­wan­an monarki justru secara lang­sung dilakukan terhadap Per­dana Menteri Abdullah Ah­mad Badawi. Dua sultan yakni Sul­tan Perlis dan Sultan Ter­eng­ganu ditambah pemimpin ne­gara bagian Perak dan Selangor.

Saat itu baik Sultan Perlis mau­pun Terengganu menolak menteri-menteri kepala yang diangkat oleh pemerintah Ba­dawi untuk negara mereka. Dua sul­tan tersebut menuntut un­tuk melakukan pemilihan men­teri sendiri.

Sementara penguasa Perak menentang permintaan untuk membubarkan majelis negara, sedangkan penguasa negara bagian Selangor yang paling makmur terlibat dalam konflik jangka panjang dengan pe­me­rintah karena menunjuk se­orang menteri utama baru.

De-mahathir-isasi

Konflik antara kekuasaan monarki dan pemerintah Ah­mad Badawi atau biasa disapa dengan Pak Lah sejatinya mulai meletup sejak 2004. Badawi yang menggantikan Mahathir melakukan proses yang di­sebut de-Mahathir-isasi. Mulai dari mengubah tim ke­pemimpinan, mening­gal­kan proyek-proyek Mahathir, mencoba liberalisasi politik, melonggarkan hubungan sim­biosis antara pemerintah dan partai, terutama UMNO, meng­geser persinggungan ekonomi politik Malaysia, gerakan ma­dani Islam dan memoderasi wa­cana yang bermuatan etnis.

Bagi publik Malaysia yang modern, visi Badawi adalah hal menarik. Sebaliknya, bagi ka­langan konservatif pendukung Mahathir, Badawi meng­gang­gu kemapanan yang telah ada. Protes bahkan dilancarkan pada 2006 oleh kelompok yang kangen terhadap Mahathir.

Kembali tentang per­la­wan­an kaum ningrat pada 2008, dua sultan dan penguasa ne­gara ba­gian secara terbuka menentang kebijakan Badawi. Hal ini bukan hal remeh karena secara kons­ti­tusi sultan dan pemimpin ne­gara bagian me­miliki kekuatan yang teramat vital terhadap sis­tem peme­rin­tahan Malaysia yang bercorak federasi.

Mungkin tidak banyak di an­tara kita yang sadar Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem per­gi­lir­an kekuasaan di mana jabatan Raja Malaysia atau Yang di-Per­tuan Agong dijabat secara giliran setiap lima tahun antara sem­bil­an Pemerintah Negeri Melayu.

Kekuasaan mutlak Yang di-Pertuan Agong berlaku dalam pemilihan perdana menteri, pembekuan parlemen, dan per­temuan Majelis Raja-Raja. Se­suai sistem Westminster, Yang di-Pertuan Agong akan memilih salah seorang perdana menteri untuk mewakili suara Dewan Rakyat (Parlemen) ke raja.

Bila perdana menteri me­lakukan pembekuan pa­rle­men, Yang di-Pertuan Agong da­pat menolaknya karena ter­masuk dalam kekuasaan mu­t­lak Yang di-Pertuan Agong. Uniknya, sejarah mencatat pada 1983 Mahathir me­ng­ajukan proposal untuk mem­pre­teli pengaruh monarki ter­hadap pemerintah.

Kembali tentang ter­pi­lih­nya Najib Razak sebagai per­dana menteri pada Pemilu 2013 sebetulnya hanya me­ne­gas­kan persaingan antarfaksi di tubuh UMNO yakni faksi Mahathir, faksi T Razali, faksi Najib Tun Razak, dan faksi Badawi. Kebijakan Najib Rajak yang sejatinya sebelas dua belas dengan Ahmad Badawi di­tam­bah warisan model pe­me­rin­tahan tangan besi Mahathir membuat politik di Malaysia justru semakin sengit. Re­pot­nya Najib Razak justru terlibat megakorupsi lembaga in­ves­tasi 1 Malaysia Development Berhad atau 1MDB.

Siapa yang membuat Razak terjungkal? Bukan lembaga pe­me­rintah yang sudah pasti di ba­wah kendali perdana men­teri, namun lagi-lagi para sul­tan. Ji­ka Badawi dilawan dua sultan, PM Najib Razak tak bisa main-main. Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya, pada 2015, sembilan sultan sepakat agar dilakukan investigasi ter­ha­dap kasus korupsi 1MDB ter­masuk soal ada duit sejumlah USD700 juta di akun pribadi Perdana Menteri. Hasilnya bisa ditebak.

Suara penguasa tradisional bertemu kepentingan ma­sya­rakat, reformasi pun terjadi. Ber­untung tidak seperti In­donesia yang rusuh pada 1998, pemilu dipilih menjadi alat reformasi di Malaysia. Sa­yang, pemimpin yang muncul, Ma­ha­thir, adalah stok lawas.

Kini saya hanya bisa me­nunggu kapan Anwar Ibrahim berkuasa menghadirkan de­mo­krasi yang sebenarnya bagi Malaysia dan memastikan janji memperbaiki hubungan de­ngan Indonesia yang benci se­kaligus butuh.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3661 seconds (0.1#10.140)