Suara Organisasi Profesi Kesehatan

Selasa, 23 Januari 2024 - 17:21 WIB
loading...
Suara Organisasi Profesi Kesehatan
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015). Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (Periode 2012-2015 )

BERTEMPAT di Ruangan Sidang Pleno Lantai 2 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), 11 Januari 2024, berlangsung Sidang Pleno Perkara No 130/PUU-XXI/2023 perihal Pengujian Formil UU No 17/2023 tentang Kesehatan. Pada Sidang tersebut penulis dan beberapa pengurus organisasi profesi kesehatan ikut hadir selaku Pemohon.

Penulis dan beberapa pengurus organisasi profesi yang hadir cukup terkejut atas pernyataan wakil dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai salah satu unsur pembetuk undang-undang. Pasalnya, karena suara atau pendapat organisasi profesi kesehatan dalam pembahasaan RUU Kesehatan yang disamakan dengan suara dan pendapat warga negara lain.

Mengapa pernyataan ini sangat mengejutkan? Karena pernyataan tersebut diungkapkan oleh Anggota DPR yang notabene adalah anggota dari salah satu organisasi profesi kesehatan yang sedang mengajukan Pengujian Formil untuk Perkara No 130/PUU-XXI/2023, yang sedang disidangkan.

Karakteristik Profesi Kesehatan
Menurut Wilensky (1964), profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan dukungan ‘body of knowledge’ sebagai dasar bagi perkembangan teori yang sistematis, menghadapi banyak tantangan dan karena itu membutuhkan latihan yang cukup lama, memiliki kode etik serta orientasi utamanya adalah memberikan pelayanan. Paul F Camenisch (1983) mengatakan bahwa profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Artinya, profesi itu bukan sembarang pekerjaan.

Di tengah masyarakat dikenal beragam profesi.Dan di antara profesi-profesi yang beragam itu terdapat profesi khusus. Kekhususan profesi tersebut terletak pada pengabdiannya kepada masyarakat yang merupakan motivasi utamanya.

Sekalipun orang-orang yang menjalankan profesi itu hidup dan mencari nafkah dari pekerjaan profesinya, namun hakikat profesi menuntut untuk selalu berorientasi kepada motivasi utamanya. Motivasi utama inilah yang menjadikan sebagai profesi luhur.

Danny Wiradharma dalam buku, “Etika Profesi Medis, 2005”, mengemukakan ciri-ciri profesi setelah terlebih dahulu membagi profesi menjadi dua, yakni profesi pada umumnya (umum) dan profesi luhur. Ciri-ciri profesi yang umum, yakni: (1) Pertanggung jawaban. (2) Hormat terhadap hak orang lain.

Tanggung jawab merupakan sikap yang selalu dituntut apabila kita melakukan suatu pekerjaan.Selanjutnya, menghormati prinsip keadilan yang menuntut agar kita memberikan kepada siapa saja dan apa yang menjadi haknya. Artinya, pelaksanaan pekerjaan profesi itu tidak boleh mengabaikan, apalagi melanggar hak orang lain.

Bagi profesi luhur dituntut ciri-ciri tambahan, yaitu: (1) Sikap bebas dari pamrih. (2) Pengabdian pada tuntutan etik profesi.Profesi luhur dijalankan tanpa pamrih adalah mengutamakan kepentingan pasien dibanding kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok.

Tetap mempertahankan tuntutan etika profesi meskipun pasien, masyarakat atau negara sekalipun berkehendak lain. Artinya, profesi luhur selain memiliki ciri-ciri sebagaimana profesi pada umumnya juga perlu melekat padanya ciri-ciri tambahan.

Etik profesi luhur menuntut dan menuntun agar pelaku profesi dalam keadaan apapun menjunjung tinggi keluhuran profesinya. Kaum professional dikatakan memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Karena itu maka mereka dikatakan memberikan pelayanan dengan motivasi altruistic, mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri.

Kaum profesional juga dianggap memiliki kemandirian yang besar dan oleh sebab itu ia diterima sebagai suatu keniscayaan bahwa mereka akan bertindak selaku pembawa panji-panji kebebasan dan kemanusiaan. Roscoe Pound menyatakan: “The profession must be self governing, self dicipline and self perpetuating.” Bahkan ia pun menyebut profesi itu sebagai Officium Nobile, suatu jabatan mulia.

Goode merinci ciri-ciri profesi sehingga makin tampak perbedaannya dengan okupasi. Menurut Goode, ciri-ciri profesi sebagai berikut: 1) Menetukan standar pendidikan mereka sendiri; 2) Pendidikannya meliputi pengalaman sosial yang membuat mereka matang; 3) Pekerjaan profesi diakui secara legal melalui perizinan; 4) Badan pemberi perizinan tersebut terdiri dari anggota-anggota profesi itu sendiri.

5) Peraturan perundang-undangan yang mengatur warga profesi disusun oleh anggota profesi sendiri; 6) Pekerjaan profesi tidak hanya akan mendatangkan uang, tetapi juga wewenang dan prestise; 7) Pekerjaan profesi relatif sulit dievaluasi oleh orang awam.

8) Punya etik dan kode etik yang berlaku di kalangan profesi adakalanya lebih keras dari hukum; 9) Anggota-anggota profesi berafiliasi sangat kuat dengan profesinya dibanding dengan pekerjaan lain; 10) Pekerjaan profesi biasanya ditekuni seumur hidup.

Untuk bidang kesehatan (health profession) ciri-ciri profesi tersebut telah lebih dikembangkan oleh Former (1981), sebagai berikut: 1) Bekerja secara purna waktu dan pekerjaan tersebut adalah sumber pendapatannya yang utama. 2) Memandang pekerjaan profesinya sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

3) Dapat dibedakan dari pekerjaan lain karena memliki ciri-ciri khusus yang telah sama dikenal. 4) Menggabungkan diri dengan sesama sejawat karena kesamaan cita-cita, bukan karena uang atau keuntungan. 5) Memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai hasil dari pendidikan yang cukup lama. 6) Menyelenggarakan pekerjaannya bukan karena motivasi uang. 7) Menyelenggarakan pekerjaannya atas dasar keputusan sendiri secara otonom.

Menurut Azrul Azwar, bila semua ciri atau karakter profesi di atas disederhanakan maka dapat di-kelompokkan menjadi empat, yakni: keahlian (expertise), bertanggung jawab (responsiblity), kesejawatan (corporateness), dan etis (ethics).

Suara Organisasi Profesi Kesehatan
Pertanyaannya, apakah suara atau pendapat organisasi profesi kesehatan dapat disamakan dengan suara atau pendapat individu warga negara yang awam tentang kesehatan? Apakah suara dan pendapat organissi profesi kesehatan dapat digantikan atau diabaikan begitu saja dengan alasan sudah mendengar suara atau pendapat anggota profesi secara individu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis ingin mengemukakan beberapa ciri dan karakter organisasi profesi kesehatan.

Organisasi profesi kesehatan itu jumlahnya banyak. Setiap organisasi profesi kesehatan memiliki percabangan ilmu dan anggota yang menekuni cabang ilmunya masing-masing. Organisasi profesi itu bersifat nasional sehingga ia dapat mengatas-namakan dua hal, yakni mengatas-namakan seluruh anggotanya dan juga mengatas-namakan institusi profesinya sekaligus. Dapat mengatas-namakan anggotanya di forum nasional maupun internasional.

Sudah lazim di tingkat internasional, hanya mengenal atau mengakui satu organisasi profesi sebagai refresentasi profesi dalam satu negara. Ikatan utama anggota dengan organisasi profesi adalah kebanggaan dan kehormatan. Begitu pula dengan kedudukan dan hubungan antar anggota dalam organisasi profesi bersifat persaudaraan atau kesejawatan.

Organisasi profesi mempunyai tujuan utama dalam pendiriannya, yakni untuk menjaga harkat dan kehormatan profesi. Juga mempunyai misi yang menjadi tugas uatamanya. Misi tersebut meliputi: merumuskan sumpah dan standar atau kode etik, merumuskan kemampuan profesional, dan memperjuangkan kebebasan melakukan pengabdian profesi para anggotanya. Dalam membuat program kerja organisasi profesi pun sangat dibatasi oleh profesionalisme dan etik profesi.

Dalam hal kepemimpinan, organisasi profesi menganut kepemimpinan barsama, yang dikenal kolektif kolegial. Mengapa demikian? Karena organisasi profesi menyadari bahwa dalam satu profesi terdapat banyak percabangan ilmu yang berkembang sangat pesat. Tidaklah mungkin seorang pimpinan mampu menguasai semua percabangan ilmu tersebut. Belum lagi pengetahuan lain yang berhubungan profesi.

Terkait proses pembentukan UU No 17/2023 tentang Kesehatan. Ketika pembahasan RUU Kesehatan dilakukan keberadaan organisasi profesi kesehatan (IDI, PDGI, PPNI, IBI, IAI, dan lainnya) masih merupakan satu-satunya organisasi profesi kesehatan di Indonesia, berdasarkan UU yang juga masih berlaku. Artinya, sah mewakili suara atau pendapatnya profesi dan seluruh anggotanya masing-masing.

Andaipun ada individu anggota dari salah satu organisasi profesi menyampaikan pendapat kepada pembentuk UU, tidak serta-merta suara atau pendapatnya tersebut sebanding dengan pendapat organisasi profesinya. Sesenior dan sepandai apapun individu anggota profesi tersebut. Apalagi untuk dikatakan telah mewakili pendapat profesinya. Demikian halnya tidak pantas dan tidak adil membandingkan suara atau pendapat seorang warga negara yang awam dan suara dan pendapat organi-sasi profesi kesehatan.

Sebagai contoh, pendapat seorang dokter yang mengelua-rkan Surat Keterangan Berbadan Sehat dan Surat Keterangan Kematian. Tidak pantas dan tidak adil bila pendapat dokter tersebut diperbandingkan dengan pendapatan warga negara yang awam. Dan lagi pula bila kedua surat keterangan tersebut dikeluarkan oleh orang awam, apakah pihak berwajib atau pihak yang berpentingan mau mempercayainya?

Atau, ketika sedang berada di atas pesawat kemudian ada penumpang sakit dan butuh pertolongan. Kru pesawat ke-mudian mengumumkan, “apakah di antara penumpang ada yang berprofesi dokter atau perawat?” Mereka tidak bertanya apakah ada hakim, pengacara, jaksa, polisi, anggota DPR, atau yang lainnya. Tindakan kru pesawat ini juga sangat pantas dan adil.

Lalu, bagaimana bila suara atau pendapat yang berbeda itu berasal kalangan profesi? Bila anggota salah satu profesi kesehatan berbeda pendapat dengan anggota lain tentang profesi dan konsep kesehatan atau bahkan berbeda dengan suara atau pendapat organisasi profesi, maka suatu organisasi profesi mesti punya jalan keluarnya sendiri.

Anggota organisasi profesi yang berbeda tersebut dipertemukan dalam forum bersama dan diambil keputusan bersama berdasar bukti ilmiah yang paling kuat, dalam suasana kesejawatan yang menjunjung kehormatan profesi. Keputusannya tidak diambil berdasakan suara terbanyak dan bukan pula testimoni.

Terakhir kertait karakter organisasi profesi kesehatan di Indonesia. Untuk diketahui sebahagian besar organisasi kesehatan di Indonesia berdiri pada masa perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

Bahkan bila ditelusuri organisasi-organisasi tersebut memiliki hubungan kesejarahan dengan organisasi perjuangan sebelum kemerdekaan. Karena itu organisasi profesi kesehatan yang didirikan pada masa perjuangan sudah pasti menjalankan peran ganda, yakni organisasi profesi dan sekaligus sebagai wadah perjuangan.

Terkait dengan pembentukan UU dan kebijakan kesehatan, sekalipun pendapat organisasi profesi atau anggota profesi kesehatan sangat penting, namun bukan berati karena mengutamakan suara atau pendapat organisasi profesi sehingga pembentuk UU dapat mengabikan suara atau keterangan seorang warga negara. Demi kebenaran dan keadilan suara atau keterangan seorang warga negara pun perlu dihargai dengan prinsip meaningful participation.

Meaningful participation adalah bagian dari upaya penciptaan ekosistem open governance, dimana keterbu-kaan menjadi sebuah komitmen sekaligus branding Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi. Meaningful participation meluputi: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Catatan Akhir
Memang tidak ada perbedaan antara organisasi profesi dengan berbagai organisasi yang ada di masyarakat, namun karena profesi itu sendiri yang memiliki ciri dan karakter khusus maka organisasi profesi, khsusunya organisasi profesi kesehatan akhirnya memiliki ciri tersendiri sebagaimana diuraikan di atas. Terlebih lagi karena sebagian organisasi profesi kesehatan di Indonesia adalah organisasi perjuangan.

Dalam hal pembentukan UU Kesehatan atau kebijakan kesehatan, semestinya suara dan pendapat organisasi profesi tidak diabaikan dengan alasan apapapun. Kepada organisasai profesi kesehatan tersebut wajib diterapkan prinsip meaningful particiption. Tidak boleh berhenti hanya pada satu atau dua prinsip saja: didengarkan saja tapi tidak dipertimbangkan dan dijelaskan.

Juga tidak boleh hanya didengarkan dan dipertimbangkan saja, tapi tidak diberi penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Penerapan prinsip meaningful participation yang tidak utuh sama saja dengan partisipasi semu.

Mengabaikan meaningful participation satu organisasi profesi kesehatan saja sangat tidak pantas dan tidak adil. Apalagi mengabaikan sekian banyak organisasi profesi kesehatan saat pembahasan RUU Kesehatan tentu sangat berbahaya karena dapat merugikan demokrasi dan pelayanan kesehatan di Indonesia. Wallahu a'lam bishawab.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2865 seconds (0.1#10.140)