Prakiraan Hukum Pasca-Pemilu 2024
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
BAGI abdi hukum teoritik, tidak penting sesungguhnya kekuasaan diemban oleh siapa pun presiden/wakil presidennya sepanjang capres / cawapres terpilih memiliki konsistensi memegang teguh keyakinan bahwa hukum adalah panglima ke arah tercapainya tujuan bernegara sebagaimana dicita-citakan dalam Mukadimah UUD 1945 . Hal ini disebabkan pengalaman tujuh kali masa pemerintahan hasil pemilu yang telanjur dipandang jujur dan adil.
Komitmen dan konsistensi itulah yang selalu menjadi masalah dan dirasakan sebaliknya, menyakitkan bagi rakyat pemilih. Di kesempatan ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mengikuti kegiatan "Paku Integritas" di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketiganya tidak henti-hentinya menggaungkan pemberantasan korupsi dan berkehendak memperkuat KPK sebagai lembaga independen.
Di dalam tujuh kali pemerintahan, janji-janji kampanye sebelumnya belum berhasil mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bahkan masih jauh dari tercapainya keadilan sosial dan tegaknya hukum, sekalipun langit akan runtuh, dan setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum. Di tengah- tengah optimisme terkadang muncul keragu-raguan seberapa jauh konsistensi janji-janji kampanye ketiga paslon dilaksanakan, jika terpilih? Atas dasar hal tersebut masih diperlukan kesiapan masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan sekalipun UUD 1945 dan Pancasila telah memagari secara memadai.
Berangkat dari keragu-raguan atas dasar pengalaman tersebut, sudah tepat kiranya road-map yang diletakkan masyarakat internasional tentang perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1966, dan pencegahan serta penindakan korupsi pada tahun 2003 serta perlakuan hukum yang sama terhadap siapa pun tanpa diskriminasi atas dasar agama, etnis, dan budaya. Namun, di dalam tujuh kali masa pemerintahan justru sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap ide dasar pembentukan ICCPR 1996 -UU Nomor 12 Tahun 2005 serta peraturan perundang-undangan terkait perlindungan HAM dan peraturan perundang-undangan pencegahan/penindakan korupsi.
Contoh, pengalaman baru-baru ini, skandal di Mahkamah Konstitusti Republik Indonesia, saat pengaruh kekuasaan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan demokratisasi khusus hak setiap orang untuk menjalankannya dengan jujur dan adil serta patuh pada Konstitusi/UUD 1945 yang telah diabaikan bahkan oleh Majelis Hakim Mahkamah itu sendiri. Namun, tetap saja cara-cara yang melanggar asas demokrasi hak hukum tersebut dipandang biasa oleh kekuasaan dan segelintir elite pimpinan parpol tetapi sesungguhnya menyakitkan perasaan kita yang memahami sadar hukum dan konstitusi.
Harapan tegaknya hukum dan konstitusi tampak sirna karena preseden buruk telah dimulai dan dipandang benar serta pantas hanya dengan pra-anggapan bahwa kekuasaan adalah hak prerogatif seorang presiden yang bersifat mutlak. Fungsi badan legislatif yang antara lain mengawasi jalannya pemerintahan tidak efektif dan berdaya menghadapi dan mencegah tirani mayoritas, tampak lumpuh, (Lame-Duck). Contoh mencolok adalah Majelis Hakim Konstitusi yang telah meloloskan permohonan uji materi mengenai batas usia capres/cawapres yang diikuti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan cara mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Contoh lain, putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bebas dari tuntutan jaksa/penuntut, dalam praktik dapat diajukan upaya hukum (kasasi), sekalipun upaya hukum terhadap putusan bebas tidak dibolehkan berdasarkan UU KUHAP, UU MA, dan UU Kekuasaan Kehakiman. Sesungguhnya jika petinggi hukum di lembaga kekuasaan kehakiman menjalankan kekuasaannya sesuai dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dipastikan kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku semakin meningkat kecuali terhadap kejahatan serius dan terorganisasi.
Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum hanya akan lahir dari tangan kekuasaan yang selain memiliki pengetahuan hukum juga memiliki keseimbangan antara rasio/nalar dan nurani yang berpegang teguh pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab. Secara teoritik, hukum yang baik dan benar selain memenuhi syarat teknis sesuai Tata Cara Pembentukan Perundang-undangan juga yang sesuai dengan pandangan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
BAGI abdi hukum teoritik, tidak penting sesungguhnya kekuasaan diemban oleh siapa pun presiden/wakil presidennya sepanjang capres / cawapres terpilih memiliki konsistensi memegang teguh keyakinan bahwa hukum adalah panglima ke arah tercapainya tujuan bernegara sebagaimana dicita-citakan dalam Mukadimah UUD 1945 . Hal ini disebabkan pengalaman tujuh kali masa pemerintahan hasil pemilu yang telanjur dipandang jujur dan adil.
Komitmen dan konsistensi itulah yang selalu menjadi masalah dan dirasakan sebaliknya, menyakitkan bagi rakyat pemilih. Di kesempatan ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mengikuti kegiatan "Paku Integritas" di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketiganya tidak henti-hentinya menggaungkan pemberantasan korupsi dan berkehendak memperkuat KPK sebagai lembaga independen.
Di dalam tujuh kali pemerintahan, janji-janji kampanye sebelumnya belum berhasil mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bahkan masih jauh dari tercapainya keadilan sosial dan tegaknya hukum, sekalipun langit akan runtuh, dan setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum. Di tengah- tengah optimisme terkadang muncul keragu-raguan seberapa jauh konsistensi janji-janji kampanye ketiga paslon dilaksanakan, jika terpilih? Atas dasar hal tersebut masih diperlukan kesiapan masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan sekalipun UUD 1945 dan Pancasila telah memagari secara memadai.
Berangkat dari keragu-raguan atas dasar pengalaman tersebut, sudah tepat kiranya road-map yang diletakkan masyarakat internasional tentang perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1966, dan pencegahan serta penindakan korupsi pada tahun 2003 serta perlakuan hukum yang sama terhadap siapa pun tanpa diskriminasi atas dasar agama, etnis, dan budaya. Namun, di dalam tujuh kali masa pemerintahan justru sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap ide dasar pembentukan ICCPR 1996 -UU Nomor 12 Tahun 2005 serta peraturan perundang-undangan terkait perlindungan HAM dan peraturan perundang-undangan pencegahan/penindakan korupsi.
Contoh, pengalaman baru-baru ini, skandal di Mahkamah Konstitusti Republik Indonesia, saat pengaruh kekuasaan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan demokratisasi khusus hak setiap orang untuk menjalankannya dengan jujur dan adil serta patuh pada Konstitusi/UUD 1945 yang telah diabaikan bahkan oleh Majelis Hakim Mahkamah itu sendiri. Namun, tetap saja cara-cara yang melanggar asas demokrasi hak hukum tersebut dipandang biasa oleh kekuasaan dan segelintir elite pimpinan parpol tetapi sesungguhnya menyakitkan perasaan kita yang memahami sadar hukum dan konstitusi.
Harapan tegaknya hukum dan konstitusi tampak sirna karena preseden buruk telah dimulai dan dipandang benar serta pantas hanya dengan pra-anggapan bahwa kekuasaan adalah hak prerogatif seorang presiden yang bersifat mutlak. Fungsi badan legislatif yang antara lain mengawasi jalannya pemerintahan tidak efektif dan berdaya menghadapi dan mencegah tirani mayoritas, tampak lumpuh, (Lame-Duck). Contoh mencolok adalah Majelis Hakim Konstitusi yang telah meloloskan permohonan uji materi mengenai batas usia capres/cawapres yang diikuti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan cara mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Contoh lain, putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bebas dari tuntutan jaksa/penuntut, dalam praktik dapat diajukan upaya hukum (kasasi), sekalipun upaya hukum terhadap putusan bebas tidak dibolehkan berdasarkan UU KUHAP, UU MA, dan UU Kekuasaan Kehakiman. Sesungguhnya jika petinggi hukum di lembaga kekuasaan kehakiman menjalankan kekuasaannya sesuai dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dipastikan kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku semakin meningkat kecuali terhadap kejahatan serius dan terorganisasi.
Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum hanya akan lahir dari tangan kekuasaan yang selain memiliki pengetahuan hukum juga memiliki keseimbangan antara rasio/nalar dan nurani yang berpegang teguh pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab. Secara teoritik, hukum yang baik dan benar selain memenuhi syarat teknis sesuai Tata Cara Pembentukan Perundang-undangan juga yang sesuai dengan pandangan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.