Aspek Hukum dan HAM tentang Penahanan
loading...
A
A
A
Di beberapa wilayah hukum di Indonesia, praktik penahanan telah dilaksanakan berdasarkan “pesanan” elite politik atau kekuasaan eksekutif hanya dengan tujuan “menyandera” agar seseorang yang dijadikan objek penahanan menjadi tidak berdaya, terbatas ruang kebebasan beropini dan dampak sosial negatif terutama bagi keluarganya. Itu merupakan suatu tindakan penahanan yang tidak berperikemanusiian dan menandakan bahwa hukum bisa dijadikan “alat permainan” perorangan atau kelompok orang yang tidak bernurani dan memiliki karakter barbar seperti yang dikemukakan Thomas Hobbes, homo homini lupus, belum omnium contra omnes,manusia itu serigala untuk manusia lain, satu sama lain saling memangsa.
Keadaan buruk dan chaos ini terjadi terutama menjelang Pilpres 2024 bagaimana terjadi ketua-ketua parpol disandera oleh berbagai kasus pidana sehingga mereka tunduk dan menyerah terhadap tuntutan penguasa untuk berpihak dan memenangkan salah satu paslon. Situasi sosial politik ini jelas merupakan ancaman terhadap demokratisasi politik yang berdampak hukum sebagai alat politik. Peristiwa politik berdampak hukum ini harus dihentikan dengan cara membangun kesadaran hukum di samping membangun kesadaran berbangsa dan bernegara.
Hakikat kesadaran hukum adalah kejujuran dan memahami perbedaan antara perbuatan baik dan buruk, tercela dan bersusila. Beranjak dari masalah hukum tersebut pertanyaan besarnya, masih adakah moralitas/kesusilaan dalam berpolitik praktis di dalam masyarakat kita? Pertanyaan mengingatkan kita pada masa-masa pemerintahan sejak Orde Baru sampai saat ini bahwa seakan tampak moralitas/kesusilaan dan hukum adalah dua makhluk terpisah satu sama lain, saling tidak mengenal dan sering bermusuhan.
Hanya dipastikan bahwa ketika kita berpikir tentang hukum terutama dalam praktik, hanya ada dua kompas yang wajib dipegang teguh setiap individu yaitu rasio/nalar dan (hati) nurani, sekalipun Anda tidak mengetahui/memahami hukum, terlebih jika Anda seorang ahli hukum teoritis dan praktis. Hal ini disebabkan dua kompas dalam setiap individu tersebut yang dapat menggerakkan/memberikan motivasi jalan keluar mana yang akan digunakan (pave the way) agar terbebas dari syahwat keserakahan dan kezaliman dalam kehidupan sosial dan hukum saat ini: jalan yang luruskah atau berbelok atau menyimpang?
Keadaan buruk dan chaos ini terjadi terutama menjelang Pilpres 2024 bagaimana terjadi ketua-ketua parpol disandera oleh berbagai kasus pidana sehingga mereka tunduk dan menyerah terhadap tuntutan penguasa untuk berpihak dan memenangkan salah satu paslon. Situasi sosial politik ini jelas merupakan ancaman terhadap demokratisasi politik yang berdampak hukum sebagai alat politik. Peristiwa politik berdampak hukum ini harus dihentikan dengan cara membangun kesadaran hukum di samping membangun kesadaran berbangsa dan bernegara.
Hakikat kesadaran hukum adalah kejujuran dan memahami perbedaan antara perbuatan baik dan buruk, tercela dan bersusila. Beranjak dari masalah hukum tersebut pertanyaan besarnya, masih adakah moralitas/kesusilaan dalam berpolitik praktis di dalam masyarakat kita? Pertanyaan mengingatkan kita pada masa-masa pemerintahan sejak Orde Baru sampai saat ini bahwa seakan tampak moralitas/kesusilaan dan hukum adalah dua makhluk terpisah satu sama lain, saling tidak mengenal dan sering bermusuhan.
Hanya dipastikan bahwa ketika kita berpikir tentang hukum terutama dalam praktik, hanya ada dua kompas yang wajib dipegang teguh setiap individu yaitu rasio/nalar dan (hati) nurani, sekalipun Anda tidak mengetahui/memahami hukum, terlebih jika Anda seorang ahli hukum teoritis dan praktis. Hal ini disebabkan dua kompas dalam setiap individu tersebut yang dapat menggerakkan/memberikan motivasi jalan keluar mana yang akan digunakan (pave the way) agar terbebas dari syahwat keserakahan dan kezaliman dalam kehidupan sosial dan hukum saat ini: jalan yang luruskah atau berbelok atau menyimpang?
(zik)