Wacana Ubah PKPU Pencalonan Jadi Polemik

Rabu, 28 Maret 2018 - 19:57 WIB
Wacana Ubah PKPU Pencalonan Jadi Polemik
Wacana Ubah PKPU Pencalonan Jadi Polemik
A A A
JAKARTA - Usulan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi aturan pergantian calon kepala daerah menuai pro-kontra banyak kalangan. Sebagian pihak menilai wacana itu bisa menjadi solusi, tetapi banyak kalangan menilai langkah tersebut rawan politisasi karena tidak punya landasan dan kepastian hukum.

Usulan aturan pergantian calon kepala daerah ini bergulir setelah banyak calon kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan bahwa calon kepala daerah yang telah ditetapkan oleh KPU dan memasuki tahapan kampanye tidak boleh diganti.

Aturan ini kemudian diterjemahkan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2017 di mana calon kepala daerah hanya bisa diganti jika dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap atau meninggal dunia, dan dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Hingga kemarin setidaknya ada sembilan calon kepala daerah yang menyandang status tersangka. Terakhir dua calon wali Kota Malang yakni Mochamad Anton dan Yaqud Ananda Gaban ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK karena dugaan suap APBD. Sebelumnya ada nama Asrun calon gubernur Sulawesi Tenggara, Mustafa calon gubernur Lampung, serta Rita Widyasari yang mengalami nasib sama.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai dalam demokrasi seharusnya semua kandidat diberikan ruang dan kesempatan sama. "Sehingga harusnya ada aturan yang memungkinkan calon peserta pilkada yang berstatus tersangka bisa digantikan," katanya di Jakarta, Selasa (27/3/2018).

Senada dengan Hasto, Ketua Umum PPP Romahurmuziy mengungkapkan, jika KPU melakukan apa yang diusulkan pemerintah, keuntungannya bukan saja pada bahwa semua calon dalam posisi yang sama yakni tidak terkena status hukum tersangka, tetapi juga sekaligus akan memberikan ruang bagi penegak hukum untuk tidak ragu menetapkan status tersangka peserta pilkada. "Karena itu, harusnya itu dimungkinkan karena tidak elok kalau seperti kejadian di Kota Malang misalnya dua calon yang sudah ditetapkan resmi kedua-duanya ditetapkan sebagai tersangka," ungkap Romy.

Seperti diketahui, wacana mengenai dimungkinkan calon kepala daerah yang berstatus tersangka bisa diganti pernah disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut KPK, pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memberikan jalan agar partai politik bisa mengganti calon kepala daerah peserta Pilkada Serentak 2018 yang ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, pemerintah menilai saat ini perppu belum dibutuhkan. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan sulit bagi pemerintah mengeluarkan perppu terkait dengan pencalonan. Kondisi ini belum memiliki unsur kegentingan yang memaksa meskipun memang sampai saat ini sudah ada sembilan calon kepala daerah berstatus tersangka. "Kami serahkan ke KPU. Kami tidak punya inisiatif untuk perppu ataupun mengusulkan DPR ubah UU karena keputusan MK sudah jelas. Saya kira kalau ini menjadi bahan pertimbangan mendesak, ya silakan KPU membuat aturan PKPU," paparnya.

Tjahjo mengatakan, unsur kegentingan memaksa setidaknya harus memenuhi tiga syarat. Pertama, ada keadaan dan kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum. Lalu, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Terakhir, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa karena membutuhkan waktu yang lama, padahal sangat mendesak untuk diberikan solusi.

"Usulan itu nanti secepatnya akan kita bahas detailnya dalam rakor di Kemenkopolhukam sebelum menjadi keputusan resmi pemerintah," paparnya.

Hal senada disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Menurutnya, merevisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan dinilai lebih realistis terkait dengan pergantian calon kepala daerah (cakada) tersangka. Perubahan PKPU dapat dilakukan lebih cepat. "Ya, kalau ingin segera melalui PKPU, Peraturan KPU. Itu lebih ringkas atau baik," katanya di Kantor Wakil Presiden, Selasa (27/3/2018).

Terkait desakan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pilkada, JK menilai akan membutuhkan waktu yang lama. Padahal, seperti diketahui pilkada akan digelar Juni mendatang. "Dari pada perppu, kan masuk DPR lagi, panjang urusannya," ucapnya.

Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Sumarsono mengatakan, perubahan PKPU dinilai paling tepat untuk mengganti calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Dia menilai hal ini belum mendesak untuk harus dikeluarkan perppu. meski begitu, semua keputusan ada di tangan KPU apakah akan mengubah PKPU atau tidak. "Kita melihat kemungkinannya perbaikan di PKPU tidak usah melakukan perppu. Ini memungkinkan ada calon pengganti. UU tidak mengatur bisa dimungkinkan selama di level pelaksanaannya. Ini juga terserah KPU," katanya.

Pria yang akrab disapa Soni ini menuturkan, meskipun banyak kelemahan dalam pelaksanaan pilkada, revisi regulasi belum bisa dilakukan saat ini. Pilkada saat ini tetap berjalan dengan regulasi yang ada. Setelah itu baru dilakukan evaluasi menyeluruh. "Pilkada jalan dulu. Jangan direvisi dulu. Soal kurang sempurna setelah pelaksanaan kita evaluasi. Pasti ke depan akan ada perbaikan," katanya.

Adapun pihak yang menolak usulan itu di antaranya Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria. Menurut wakil ketua Komisi II DPR ini, usulan Mendagri Tjahjo Kumolo itu justru bisa menimbulkan politisasi dan ketidakpastian hukum. "Pemerintah tidak adil dengan adanya usulan tersebut karena seharusnya bukan saat banyaknya cakada terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK aturan baru diributkan. Sudah kita ingatkan jauh-jauh hari dulu, bukan sekarang begitu banyak yang kena," ungkapnya.

Riza menilai ketidakadilan atas usulan itu karena belum tentu pemerintah akan mengusulkan itu jika yang terkena OTT dan ditetapkan tersangka adalah calon kepala daerah yang diusung partai oposisi. Nyatanya sebagian dari yang terkena OTT itu memang mereka yang diusung oleh partai pendukung pemerintah. Seharusnya pemerintah dalam mengusulkan aturan lebih komprehensif, bukan dalam arti tambal sulam yang sifatnya dari kasus per kasus. "Ini harus jadi pembelajaran dan pengalaman agar dalam membuat aturan betul-betul diantisipasi," tukasnya.

Di sisi lain, Komisioner KPU Viryan mengatakan, pihaknya belum akan mengakomodasi usulan pemerintah untuk merevisi aturan terkait penggantian cakada yang terjerat kasus korupsi. Dengan demikian, sampai saat ini cakada yang sudah menjadi tersangka KPK statusnya tetap sebagai peserta pilkada. "Kami belum melakukan pembahasan soal itu, maka silakan saja calon kepala daerah tersangka tetap melakukan kampanye, tidak ada norma penggantian," ungkapnya.

Viryan menjelaskan, pertimbangan KPU tidak melakukan revisi PKPU di antaranya karena proses pilkada sudah berjalan. PKPU tersebut saat ini sudah berjalan baik dalam pencalonan, kegiatan kampanye, dan sebagainya. Justru KPU menilai tidak elok jika saat proses sedang berlangsung kemudian melakukan perubahan aturan.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3314 seconds (0.1#10.140)