Diperlukan Pengawas Independen agar Lembaga Survei Taat Asas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga menilai usulan PDIP untuk membentuk komite audit independen lembaga survei layak diapresiasi.
"Saya pribadi sudah lama mengusulkan hal itu mengingat banyaknya lembaga survei yang merilis hasil survei yang berbeda," ujar Jamiluddin di Jakarta, Rabu (3/1/2024).
Menurut dia, banyak hasil survei yang berbeda, padahal interval waktu survei yang dilakukan tidak jauh berbeda. Begitu juga halnya dengan instrumen dan besar sampel yang diteliti. Hal itu bisa berdampak pada kepercayaan publik.
"Perbedaan hasil yang signifikan tentu membuat keraguan terhadap hasil survei yang dirilis beberapa lembaga survei. Hal itu tentunya berimplikasi juga pada keraguan objektivitas lembaga survei dalam melakukan penelitian," katanya.
Jamiluddin mengatakan, ada sinyalemen hasil survei disesuaikan dengan keinginan pemesan, juga menguatkan keraguan terhadap hasil survei.
"Beberapa lembaga survei juga berfungsi sebagai konsultan politik capres atau parpol atau caleg tertentu, sehingga semakin meyakinkan abainya lembaga survei pada prinsip objektivitas," ujarnya.
Untuk memastikan hal itu tidak terjadi, dia menyarankan perlunya lembaga pengawas independen terhadap semua lembaga survei. Harapannya semua lembaga survei akan profesional dalam melakukan penelitian. Lembaga survei melakukan survei semata berdasarkan prinsip dan kaidah ilmiah yang berlaku universal.
Jamiluddin juga menekankan agar nantinya pengawas independen bisa taat asas. Sebab, persoalan di Indonesia pada umumnya sulit taat asas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal itu untuk mencegah praktik yang tidak pantas antara lembaga pengawas dan yang diawasi.
"Jadi, kalau lembaga pengawas independen dibentuk, maka dipastikan orang yang ditugaskan haruslah yang taat asas. Hanya orang-orang seperti ini yang dapat melakukan pengawasan secara efisien dan efektif. Mereka ini juga yang berani memberi sanksi sepadan dengan kesalahan yang dilakukan lembaga survei," ungkap mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.
Pengamat politik Universitas Trunojoyo Surokim Abdussalam mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa turun tangan dalam sengkarut penggiringan opini oleh lembaga survei.
“Saya pikir KPU perlu mengumumkan kepada publik lembaga-lembaga yang sudah terdaftar resmi yang berpartisipasi dalam pemilu agar diketahui publik,” ujarnya.
Di masa Pemilu seperti ini, lembaga survei muncul bagai jamur di musim hujan. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengawasi kerja dan akuntabilitas lembaga survei.
"Apakah sudah terdaftar sah di KPU dan sudah tergabung dalam asosiasi sebagai bentuk pertanggungjawaban lembaga,” ucapnya.
Menurut Surokim, jika sebuah lembaga survei sudah terdaftar pada asosiasi maupun KPU, maka kerja-kerja mereka bisa diawasi oleh masyarakat dan media.
“Saya pikir ini akan bisa mengeliminasi lembaga survei liar yang memang hanya hadir sekali dalam 5 tahun dalam setiap hajatan pemilu saja untuk kepentingan rekayasa opini publik,” kata Surokim.
Asosiasi lembaga survei juga harus menjalankan tugas pengawasan lebih baik dan komisi etisnya bisa berfungsi dengan baik serta responsif. “Bisa memeriksa anggotanya yang mendapat penilaian negatif dan mendapatkan untrust publik,” ucapnya.
Kemudian, untuk lembaga survei yang tidak bergabung dengan asosiasi, komite independen bisa saja dibentuk untuk itu walau implementasinya pasti sulit karena tidak ada kewajiban apa-apa dari mereka dan bisa berlindung di balik alasan sebagai karya akademis. “Kecuali memang ada mekanisme yang mempersyaratkan itu di KPU,” kata Surokim.
Sebelumnya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengusulkan dibentuknya komite independen untuk mengaudit hasil survei yang diterbitkan oleh sejumlah lembaga. Hal tersebut terkait dugaan penggiringan opini lewat lembaga survei bahwa pelaksanaan Pilpres 2024 akan berlangsung satu putaran.
Lihat Juga: Survei Terbaru Pilkada Jakarta: Ridwan Kamil-Suswono Unggul di Kalangan Generasi Z dan Milenial
"Saya pribadi sudah lama mengusulkan hal itu mengingat banyaknya lembaga survei yang merilis hasil survei yang berbeda," ujar Jamiluddin di Jakarta, Rabu (3/1/2024).
Menurut dia, banyak hasil survei yang berbeda, padahal interval waktu survei yang dilakukan tidak jauh berbeda. Begitu juga halnya dengan instrumen dan besar sampel yang diteliti. Hal itu bisa berdampak pada kepercayaan publik.
"Perbedaan hasil yang signifikan tentu membuat keraguan terhadap hasil survei yang dirilis beberapa lembaga survei. Hal itu tentunya berimplikasi juga pada keraguan objektivitas lembaga survei dalam melakukan penelitian," katanya.
Jamiluddin mengatakan, ada sinyalemen hasil survei disesuaikan dengan keinginan pemesan, juga menguatkan keraguan terhadap hasil survei.
"Beberapa lembaga survei juga berfungsi sebagai konsultan politik capres atau parpol atau caleg tertentu, sehingga semakin meyakinkan abainya lembaga survei pada prinsip objektivitas," ujarnya.
Untuk memastikan hal itu tidak terjadi, dia menyarankan perlunya lembaga pengawas independen terhadap semua lembaga survei. Harapannya semua lembaga survei akan profesional dalam melakukan penelitian. Lembaga survei melakukan survei semata berdasarkan prinsip dan kaidah ilmiah yang berlaku universal.
Jamiluddin juga menekankan agar nantinya pengawas independen bisa taat asas. Sebab, persoalan di Indonesia pada umumnya sulit taat asas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal itu untuk mencegah praktik yang tidak pantas antara lembaga pengawas dan yang diawasi.
"Jadi, kalau lembaga pengawas independen dibentuk, maka dipastikan orang yang ditugaskan haruslah yang taat asas. Hanya orang-orang seperti ini yang dapat melakukan pengawasan secara efisien dan efektif. Mereka ini juga yang berani memberi sanksi sepadan dengan kesalahan yang dilakukan lembaga survei," ungkap mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.
Pengamat politik Universitas Trunojoyo Surokim Abdussalam mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa turun tangan dalam sengkarut penggiringan opini oleh lembaga survei.
“Saya pikir KPU perlu mengumumkan kepada publik lembaga-lembaga yang sudah terdaftar resmi yang berpartisipasi dalam pemilu agar diketahui publik,” ujarnya.
Di masa Pemilu seperti ini, lembaga survei muncul bagai jamur di musim hujan. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengawasi kerja dan akuntabilitas lembaga survei.
"Apakah sudah terdaftar sah di KPU dan sudah tergabung dalam asosiasi sebagai bentuk pertanggungjawaban lembaga,” ucapnya.
Menurut Surokim, jika sebuah lembaga survei sudah terdaftar pada asosiasi maupun KPU, maka kerja-kerja mereka bisa diawasi oleh masyarakat dan media.
“Saya pikir ini akan bisa mengeliminasi lembaga survei liar yang memang hanya hadir sekali dalam 5 tahun dalam setiap hajatan pemilu saja untuk kepentingan rekayasa opini publik,” kata Surokim.
Asosiasi lembaga survei juga harus menjalankan tugas pengawasan lebih baik dan komisi etisnya bisa berfungsi dengan baik serta responsif. “Bisa memeriksa anggotanya yang mendapat penilaian negatif dan mendapatkan untrust publik,” ucapnya.
Kemudian, untuk lembaga survei yang tidak bergabung dengan asosiasi, komite independen bisa saja dibentuk untuk itu walau implementasinya pasti sulit karena tidak ada kewajiban apa-apa dari mereka dan bisa berlindung di balik alasan sebagai karya akademis. “Kecuali memang ada mekanisme yang mempersyaratkan itu di KPU,” kata Surokim.
Sebelumnya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengusulkan dibentuknya komite independen untuk mengaudit hasil survei yang diterbitkan oleh sejumlah lembaga. Hal tersebut terkait dugaan penggiringan opini lewat lembaga survei bahwa pelaksanaan Pilpres 2024 akan berlangsung satu putaran.
Lihat Juga: Survei Terbaru Pilkada Jakarta: Ridwan Kamil-Suswono Unggul di Kalangan Generasi Z dan Milenial
(jon)