Dewan Etik Lembaga Survei Perlu Segera Dibentuk
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai perbedaan hasil survei belakangan ini patut segera disikapi. Pasalnya, beberapa hasil survei cenderung berbeda jauh dengan survei lain, padahal semestinya tidak.
"Survei itu kan termasuk dalam pendekatan saintifik yang kadang disebut pendekatan objektif. Sebagai pendekatan saintifik dan objektif maka hasilnya harus sama, kalaupun berbeda karena batas margin of error," kata Emrus dalam keterangannya, Selasa (28/11/2023).
Emrus menyarankan segera dibentuk dewan etik lembaga survei yang bertugas mengontrol metodologi survei, variabel pertanyaan, dan pelaksanaan sampling. Lembaga survei pun dituntut untuk mau transparan terhadap dapur surveinya. "Perlu kita diskusikan metode dan sebagainya, karena aneh bagi saya perbedaannya 5% ke atas," tandasnya.
Dewan etik itu juga harus mempunyai wewenang dari membatalkan hasil survei hingga sanksi denda. "Sudah urgensi, dibentuk dewan etika lembaga surveyor yang salah satu kewenangannya adalah menggagalkan hasil survei ketika terbukti pelanggaran etika dan sanksi Rp1 triliun pada masyarakat karena masyarakat yang terbius," katanya.
Ia menyoroti adanya indikasi penggiringan opini publik serta pemanfaatan bandwagon effect melalui hasil survei, apalagi berkenaan dengan elektabilitas para calon di Pilpres 2024. "Saya kira ketika kredibilitas dan integritas pelaku survei tidak terjaga dengan baik dan mereka berafiliasi dengan kekuatan politik tersebut, benar itu ada indikasi," katanya.
Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mendorong lembaga survei berada di ruang netral. Lembaga survei bekerja dengan etika, bisa dipertanggung jawabkan, dan mengedepankan etika.
"Lembaga survei harus profesional, transparan, dan meningkatkan tanggung jawab kepada publik. Selain itu lembaga survei politik juga menguatkan peran asosiasi untuk mengawasi kualitas survei agar senantiasa patuh kepada kode etik yang telah disepakati bersama," kata Surokim.
Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo ini menambahkan, ada perbedaan besar antara lembaga survei dan konsultan publik. Lembaga survei sesungguhnya berada di kamar netral. Dia bertindak imparsial sebagai penghasil data perilaku memilih. Sementara konsultan politik berada di kamar sebelah yang memang harus memihak dan partisan.
"Jadi sebetulnya peran keduanya berbeda dan harus dipisahkan secara tegas," kata Surokim.
"Survei itu kan termasuk dalam pendekatan saintifik yang kadang disebut pendekatan objektif. Sebagai pendekatan saintifik dan objektif maka hasilnya harus sama, kalaupun berbeda karena batas margin of error," kata Emrus dalam keterangannya, Selasa (28/11/2023).
Emrus menyarankan segera dibentuk dewan etik lembaga survei yang bertugas mengontrol metodologi survei, variabel pertanyaan, dan pelaksanaan sampling. Lembaga survei pun dituntut untuk mau transparan terhadap dapur surveinya. "Perlu kita diskusikan metode dan sebagainya, karena aneh bagi saya perbedaannya 5% ke atas," tandasnya.
Dewan etik itu juga harus mempunyai wewenang dari membatalkan hasil survei hingga sanksi denda. "Sudah urgensi, dibentuk dewan etika lembaga surveyor yang salah satu kewenangannya adalah menggagalkan hasil survei ketika terbukti pelanggaran etika dan sanksi Rp1 triliun pada masyarakat karena masyarakat yang terbius," katanya.
Ia menyoroti adanya indikasi penggiringan opini publik serta pemanfaatan bandwagon effect melalui hasil survei, apalagi berkenaan dengan elektabilitas para calon di Pilpres 2024. "Saya kira ketika kredibilitas dan integritas pelaku survei tidak terjaga dengan baik dan mereka berafiliasi dengan kekuatan politik tersebut, benar itu ada indikasi," katanya.
Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mendorong lembaga survei berada di ruang netral. Lembaga survei bekerja dengan etika, bisa dipertanggung jawabkan, dan mengedepankan etika.
"Lembaga survei harus profesional, transparan, dan meningkatkan tanggung jawab kepada publik. Selain itu lembaga survei politik juga menguatkan peran asosiasi untuk mengawasi kualitas survei agar senantiasa patuh kepada kode etik yang telah disepakati bersama," kata Surokim.
Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo ini menambahkan, ada perbedaan besar antara lembaga survei dan konsultan publik. Lembaga survei sesungguhnya berada di kamar netral. Dia bertindak imparsial sebagai penghasil data perilaku memilih. Sementara konsultan politik berada di kamar sebelah yang memang harus memihak dan partisan.
"Jadi sebetulnya peran keduanya berbeda dan harus dipisahkan secara tegas," kata Surokim.
(rca)