Kisah Prajurit Kopassus di Medan Operasi, Dibuang 14 Kali dari Pesawat hingga Minum Air Bekas Kuda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komando Pasukan Khusus (Kopassus) merupakan pasukan elite TNI AD yang selalu melahirkan prajurit-prajurit pemberani dan patriotik di medan operasi. Tak heran jika pasukan dengan ciri khas Baret Merah ini kerap dikirim untuk menjalankan tugas operasi baik di dalam maupun di luar negeri.
Ada banyak cerita menarik dan unik yang dialami para prajurit Kopassus selama bertugas. Seperti yang dialami Pelda Sumardi saat bertugas ke Bosnia, salah satu negara pecahan dari Yugoslavia.
Prajurit yang memiliki kemampuan zeni demolisi ini dijuluki sebagai Mardi “Rambo” karena 14 kali diturunkan ke medan operasi. Rekor yang sangat luar biasa karena biasanya prajurit Kopassus paling hanya empat kali bertugas di daerah operasi.
Bagi Mardi Rambo, penugasannya ke Bosnia merupakan kebahagiaan. Ini tentu berbeda dengan masyarakat sipil, bertugas di daerah konflik merupakan musibah karena nyawa menjadi ancamannya. Namun siapa sangka, kebahagiaan yang dimaksud Mardi Rambo adalah bisa merasakan pesawat landing.
”Sueeneeeeng sekali ke Bosnia. Pesawat itu take off kemudian landing. Ternyata landing itu wuenaaakk sekali,” ucap Mardi Rambo saat ditanya penugasannya ke Bosnia dikutip dari buku berjudul “Kopassus untuk Indonesia” Jumat (15/12/2023).
Selidik punya selidiki, ternyata prajurit yang kenyang pengalaman di medan operasi ini baru pertama kali merasakan landing ketika mau ke Bosnia. Sebab selama ini, Mardi Rambo selalu hanya mengalami take off, karena biasanya sebelum landing ia sudah dibuang dari pesawat saat masih mengudara.
Lain lagi cerita yang dialami Mayor Umar saat betugas di medan operasi Darfur, Sudan. Perwira Kopassus yang tergabung dalam Kontingen Garuda United Nations African Mision in Darfur (UNAMID) ini berangkat ke Sudan di bawah Union Hybrid Operation yang menggabungkan PBB dan African Union (Uni Afrika).
Sebagai anggota tetap PBB sudah menjadi tugas Indonesia untuk berpartisipasi dalam misi perdamaian dunia. "Waktu itu, saya ditugaskan untuk ke Darfur, Sudan. Penugasan mulai 5 September 2008 sampai kembali ke Tanah Air 6 September 2009. Tepat setahun," kenang Umar.
Seperti diketahui, Darfur merupakan salah satu daerah bergejolak di Sudan. Salah satu persoalan kekerasan yang menonjol di Darfur adalah pemerkosaan dan pembunuhan sistematis. Banyak anak-anak diculik untuk dijadikan budak di kota besar.
Kelompok milisi Arab Janjaweed secara terorganisir menyerbu perkampungan warga Afrika. Serangan ini diikuti dengan pembunuhan terhadap kaum pria dan pemerkosaan pada perempuan setempat.
"Penduduk sangat trauma dan tertekan. Posisi mereka begitu serba salah, misalnya mereka butuh kayu untuk memasak, tapi tidak ada yang berani pergi mengambil ke hutan. Lelaki memilih tinggal di rumah karena kalau sampai tertangkap milisi Janjaweed, mereka akan dibunuh. Sementara kalau perempuan yang pergi maka mereka pasti diperkosa, tapi dibiarkan hidup," ucap Umar mengenai kondisi yang dialami masyarakat Darfur sektor Barat yang demikian tragis.
Umar yang bertugas di sektor barat Darfur dengan Ibu Kota El-Zenina menjadi satu-satunya pasukan Indonesia di sana. Selama penugasan, Umar tidak mengalami masalah dalam penyesuaian dengan para prajurit asing yang juga bertugas meski baru bertemu di tempat tugas dengan latar bangsa dan budaya berbeda.
"Kita punya kode etik sendiri dan tidak boleh diskriminatif. Tugas kita mengumpulkan data tentang faksi di masyarakat, Investigasi kriminalitas dan monitoring wilayah contohnya daerah Al Zenina," kata Umar.
Prajurit Kopassus yang mendapat tugas sebagai Military Observer (Milobs) di daerah konflik yang ditunjuk PBB, tidak mengalami kesulitan berarti dalam mendekati masyarakat, apalagi penduduk setempat adalah Muslim. Sebagai penghormatan atas kehadiran prajurit Kopassus, penduduk setempat menghidangkan air minum.
"Mereka begitu senang kedatangan saya yang Muslim. Untuk menunjukkan penghormatan, mereka langsung memberi saya minum. Sayangnya, air minum diambil dari tempat di mana kuda mereka juga minum, maklumlah air barang langka. Jadi dengan menahan nafas saya minum air kecokelatan yang mereka tawarkan, Untung tidak kena penyakit,” katanya.
Kejadian itu pun langsung dijadikan pengalaman oleh prajurit Korps Baret Merah ini. Setiap melakukan kunjungan ke warga setempat, Mayor Umar selalu mengaku sedang berpuasa. ”Sejak itu puasa tidak puasa, saya selalu mengaku puasa kalau sedang melakukan kunjungan," ucapnya.
Lihat Juga: Profil Brigjen TNI Yuri Elias Mamahi, Inspektur Kopassus yang Pernah Jadi Dansatgas di UNIFIL PBB
Ada banyak cerita menarik dan unik yang dialami para prajurit Kopassus selama bertugas. Seperti yang dialami Pelda Sumardi saat bertugas ke Bosnia, salah satu negara pecahan dari Yugoslavia.
Prajurit yang memiliki kemampuan zeni demolisi ini dijuluki sebagai Mardi “Rambo” karena 14 kali diturunkan ke medan operasi. Rekor yang sangat luar biasa karena biasanya prajurit Kopassus paling hanya empat kali bertugas di daerah operasi.
Bagi Mardi Rambo, penugasannya ke Bosnia merupakan kebahagiaan. Ini tentu berbeda dengan masyarakat sipil, bertugas di daerah konflik merupakan musibah karena nyawa menjadi ancamannya. Namun siapa sangka, kebahagiaan yang dimaksud Mardi Rambo adalah bisa merasakan pesawat landing.
”Sueeneeeeng sekali ke Bosnia. Pesawat itu take off kemudian landing. Ternyata landing itu wuenaaakk sekali,” ucap Mardi Rambo saat ditanya penugasannya ke Bosnia dikutip dari buku berjudul “Kopassus untuk Indonesia” Jumat (15/12/2023).
Baca Juga
Selidik punya selidiki, ternyata prajurit yang kenyang pengalaman di medan operasi ini baru pertama kali merasakan landing ketika mau ke Bosnia. Sebab selama ini, Mardi Rambo selalu hanya mengalami take off, karena biasanya sebelum landing ia sudah dibuang dari pesawat saat masih mengudara.
Lain lagi cerita yang dialami Mayor Umar saat betugas di medan operasi Darfur, Sudan. Perwira Kopassus yang tergabung dalam Kontingen Garuda United Nations African Mision in Darfur (UNAMID) ini berangkat ke Sudan di bawah Union Hybrid Operation yang menggabungkan PBB dan African Union (Uni Afrika).
Sebagai anggota tetap PBB sudah menjadi tugas Indonesia untuk berpartisipasi dalam misi perdamaian dunia. "Waktu itu, saya ditugaskan untuk ke Darfur, Sudan. Penugasan mulai 5 September 2008 sampai kembali ke Tanah Air 6 September 2009. Tepat setahun," kenang Umar.
Seperti diketahui, Darfur merupakan salah satu daerah bergejolak di Sudan. Salah satu persoalan kekerasan yang menonjol di Darfur adalah pemerkosaan dan pembunuhan sistematis. Banyak anak-anak diculik untuk dijadikan budak di kota besar.
Kelompok milisi Arab Janjaweed secara terorganisir menyerbu perkampungan warga Afrika. Serangan ini diikuti dengan pembunuhan terhadap kaum pria dan pemerkosaan pada perempuan setempat.
"Penduduk sangat trauma dan tertekan. Posisi mereka begitu serba salah, misalnya mereka butuh kayu untuk memasak, tapi tidak ada yang berani pergi mengambil ke hutan. Lelaki memilih tinggal di rumah karena kalau sampai tertangkap milisi Janjaweed, mereka akan dibunuh. Sementara kalau perempuan yang pergi maka mereka pasti diperkosa, tapi dibiarkan hidup," ucap Umar mengenai kondisi yang dialami masyarakat Darfur sektor Barat yang demikian tragis.
Umar yang bertugas di sektor barat Darfur dengan Ibu Kota El-Zenina menjadi satu-satunya pasukan Indonesia di sana. Selama penugasan, Umar tidak mengalami masalah dalam penyesuaian dengan para prajurit asing yang juga bertugas meski baru bertemu di tempat tugas dengan latar bangsa dan budaya berbeda.
"Kita punya kode etik sendiri dan tidak boleh diskriminatif. Tugas kita mengumpulkan data tentang faksi di masyarakat, Investigasi kriminalitas dan monitoring wilayah contohnya daerah Al Zenina," kata Umar.
Prajurit Kopassus yang mendapat tugas sebagai Military Observer (Milobs) di daerah konflik yang ditunjuk PBB, tidak mengalami kesulitan berarti dalam mendekati masyarakat, apalagi penduduk setempat adalah Muslim. Sebagai penghormatan atas kehadiran prajurit Kopassus, penduduk setempat menghidangkan air minum.
"Mereka begitu senang kedatangan saya yang Muslim. Untuk menunjukkan penghormatan, mereka langsung memberi saya minum. Sayangnya, air minum diambil dari tempat di mana kuda mereka juga minum, maklumlah air barang langka. Jadi dengan menahan nafas saya minum air kecokelatan yang mereka tawarkan, Untung tidak kena penyakit,” katanya.
Kejadian itu pun langsung dijadikan pengalaman oleh prajurit Korps Baret Merah ini. Setiap melakukan kunjungan ke warga setempat, Mayor Umar selalu mengaku sedang berpuasa. ”Sejak itu puasa tidak puasa, saya selalu mengaku puasa kalau sedang melakukan kunjungan," ucapnya.
Lihat Juga: Profil Brigjen TNI Yuri Elias Mamahi, Inspektur Kopassus yang Pernah Jadi Dansatgas di UNIFIL PBB
(cip)