TPDI: Putusan MK Soal Syarat Usia Capres Bermuatan Dinasti Politik dan Nepotisme
loading...
A
A
A
Semua daya upaya melalui mekanisme biasa seperti kritik, saran, dan protes sebagian besar anggota masyarakat agar nepotisme di dalam Putusan MK itu dihentikan ternyata tidak berjalan. Padahal nepotisme itu secara tegas dilarang dan diancam dengan pidana penjara berat oleh TAP MPR No XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
"Dampak lainnya pascaputusan MK No 90/PUU-XXI/2023, seolah-olah telah memberi imunitas kepada beberapa pihak," katanya.
Petrus mencontohkan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka yang terekam video sedang membagi-bagi uang di pesantren di masa kampanye, tapi tidak ditindak. Kemudian Prabowo-Gibran juga bertemu perwakilan Perhimpunan Kepala Desa meminta dukungan.
Contoh lainnya, kata Petrus, Jubir Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono memberi informasi soal netralitas Polri, malah dilaporkan ke polisi dan diperiksa. Butet Kertaredjasa diminta tidak menampilkan acara bernuansa politis.
Selanjutnya, Agus Rahardjo yang bercerita pernah diintervensi malah dilaporkan ke Bareskrim. "Tindakan-tindakan tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi," kata Petrus.
Petrus menilai fakta-fakta tersebut menunjukan suara rakyat berupa kritik dan kontrol sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak didengar oleh dan diikuti oleh Presiden Jokowi.
"Bahkan kritik-kritik yang dibuat melalui Somasi TPDI dan Perekat Nusantara dengan tuntutan agar Presiden Jokowi mengembalikan situasi kepada keadaan normal, yaitu Polri netral, Aparatur Negara lain juga netral agar demokrasi berjalan secara sehat tidak juga digubris," katanya.
Pada sisi yang lain, kata Petrus, Presiden Jokowi seakan-akan merasa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 telah melegitimasi dinasti politik dan nepotismenya yang telah melembaga dalam pemerintahannya sejak putranya Gibran jadi Wali Kota Solo dan menantunya Bobby Nasution jadi Wali Kota Medan.
"Di sini tampak jelas bahwa Presiden Jokowi sesungguhnya telah memusatkan seluruh kekuatan sosial politik berada di bawah kendalinya, sekaligus memperkokoh dinasti politiknya hingga pada suprastruktur kekuasaan lintas lembaga negara, Presiden dan MK," kata Petrus.
Menurut Petrus, fenomena di mana Jokowi berada dalam pusat kekuasaan yang mengendalikan semua kekuatan politik yang ada, sama dengan apa yang telah dilakukan Orde Baru, yakni Presiden Soeharto pernah melestarikan sentralisasi kekuasaan memperkuat nepotismenya, hingga 32 tahun lamanya.
"Dampak lainnya pascaputusan MK No 90/PUU-XXI/2023, seolah-olah telah memberi imunitas kepada beberapa pihak," katanya.
Petrus mencontohkan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka yang terekam video sedang membagi-bagi uang di pesantren di masa kampanye, tapi tidak ditindak. Kemudian Prabowo-Gibran juga bertemu perwakilan Perhimpunan Kepala Desa meminta dukungan.
Contoh lainnya, kata Petrus, Jubir Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono memberi informasi soal netralitas Polri, malah dilaporkan ke polisi dan diperiksa. Butet Kertaredjasa diminta tidak menampilkan acara bernuansa politis.
Selanjutnya, Agus Rahardjo yang bercerita pernah diintervensi malah dilaporkan ke Bareskrim. "Tindakan-tindakan tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi," kata Petrus.
Petrus menilai fakta-fakta tersebut menunjukan suara rakyat berupa kritik dan kontrol sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak didengar oleh dan diikuti oleh Presiden Jokowi.
"Bahkan kritik-kritik yang dibuat melalui Somasi TPDI dan Perekat Nusantara dengan tuntutan agar Presiden Jokowi mengembalikan situasi kepada keadaan normal, yaitu Polri netral, Aparatur Negara lain juga netral agar demokrasi berjalan secara sehat tidak juga digubris," katanya.
Pada sisi yang lain, kata Petrus, Presiden Jokowi seakan-akan merasa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 telah melegitimasi dinasti politik dan nepotismenya yang telah melembaga dalam pemerintahannya sejak putranya Gibran jadi Wali Kota Solo dan menantunya Bobby Nasution jadi Wali Kota Medan.
"Di sini tampak jelas bahwa Presiden Jokowi sesungguhnya telah memusatkan seluruh kekuatan sosial politik berada di bawah kendalinya, sekaligus memperkokoh dinasti politiknya hingga pada suprastruktur kekuasaan lintas lembaga negara, Presiden dan MK," kata Petrus.
Menurut Petrus, fenomena di mana Jokowi berada dalam pusat kekuasaan yang mengendalikan semua kekuatan politik yang ada, sama dengan apa yang telah dilakukan Orde Baru, yakni Presiden Soeharto pernah melestarikan sentralisasi kekuasaan memperkuat nepotismenya, hingga 32 tahun lamanya.