TPDI: Putusan MK Soal Syarat Usia Capres Bermuatan Dinasti Politik dan Nepotisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyoroti fenomena dinasti politik dan nepotisme yang nyata dipertontonkan para elite negara.
Padahal Indonesia memiliki Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Hal itu diungkapkan Petrus dalam diskusi bertajuk “Dinasti Politik dan Nepotisme Jokowi dalam Perspektif Hukum Positif dan Dampaknya pada Pilpres 2024”
"Ketentuan tersebut secara tegas melarang dan mengancam dengan pidana penjara setiap penyelenggara negara yang melakukan nepotisme," kata Petrus di Jakarta, Kamis (14/12/2023).
Petrus secara khusus menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) tertanggal 16 Oktober 2023. Menurutnya, putusan tersebut bermuatan dinasti politik dan nepotisme.
Karena itu, kata Petrus, putusan MK tersebut secara hukum, moral, dan etika menjadi cacat konstitusi. Selain merusak prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan dijamin Pasal 24 UUD 1945, putusan MK itu menjadi tidak sah atas kekuatan ketentuan Pasal 17 Ayat 5 dan Ayat 6 UU Nomor 48 Tahun 2009.
Dijelaskan, diskusi bertema Dinasti Politik dan Nepotisme Presiden Jokowi dari Perspektif Hukum Positif dan Dampaknya terhadap Pilpres 2024 ini merupakan bagian dari peneguhan sikap para Advokat TPDI dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara untuk meningkatkan tempo permainan.
"Sebab, somasi yang disampaikan TPDI dan Perekat Nusantara tanggal 6 Desember 2023 kepada Presiden Jokowi tidak dijawab dan tidak ada satu pun tuntutan yang dipenuhi. Untuk itu, tempo permainan akan kami tingkatkan ke tahap gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa ke Pengadilan PTUN Jakarta," katanya.
Semua daya upaya melalui mekanisme biasa seperti kritik, saran, dan protes sebagian besar anggota masyarakat agar nepotisme di dalam Putusan MK itu dihentikan ternyata tidak berjalan. Padahal nepotisme itu secara tegas dilarang dan diancam dengan pidana penjara berat oleh TAP MPR No XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
"Dampak lainnya pascaputusan MK No 90/PUU-XXI/2023, seolah-olah telah memberi imunitas kepada beberapa pihak," katanya.
Petrus mencontohkan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka yang terekam video sedang membagi-bagi uang di pesantren di masa kampanye, tapi tidak ditindak. Kemudian Prabowo-Gibran juga bertemu perwakilan Perhimpunan Kepala Desa meminta dukungan.
Contoh lainnya, kata Petrus, Jubir Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono memberi informasi soal netralitas Polri, malah dilaporkan ke polisi dan diperiksa. Butet Kertaredjasa diminta tidak menampilkan acara bernuansa politis.
Selanjutnya, Agus Rahardjo yang bercerita pernah diintervensi malah dilaporkan ke Bareskrim. "Tindakan-tindakan tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi," kata Petrus.
Petrus menilai fakta-fakta tersebut menunjukan suara rakyat berupa kritik dan kontrol sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak didengar oleh dan diikuti oleh Presiden Jokowi.
"Bahkan kritik-kritik yang dibuat melalui Somasi TPDI dan Perekat Nusantara dengan tuntutan agar Presiden Jokowi mengembalikan situasi kepada keadaan normal, yaitu Polri netral, Aparatur Negara lain juga netral agar demokrasi berjalan secara sehat tidak juga digubris," katanya.
Pada sisi yang lain, kata Petrus, Presiden Jokowi seakan-akan merasa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 telah melegitimasi dinasti politik dan nepotismenya yang telah melembaga dalam pemerintahannya sejak putranya Gibran jadi Wali Kota Solo dan menantunya Bobby Nasution jadi Wali Kota Medan.
"Di sini tampak jelas bahwa Presiden Jokowi sesungguhnya telah memusatkan seluruh kekuatan sosial politik berada di bawah kendalinya, sekaligus memperkokoh dinasti politiknya hingga pada suprastruktur kekuasaan lintas lembaga negara, Presiden dan MK," kata Petrus.
Menurut Petrus, fenomena di mana Jokowi berada dalam pusat kekuasaan yang mengendalikan semua kekuatan politik yang ada, sama dengan apa yang telah dilakukan Orde Baru, yakni Presiden Soeharto pernah melestarikan sentralisasi kekuasaan memperkuat nepotismenya, hingga 32 tahun lamanya.
"Langkah itu kini ditiru oleh Jokowi dengan memperkuat jaringan nepotisme secara terstruktur mirip dengan era Orde Baru," ujar Petrus.
Praktisi Hukum Carrel Ticualu melihat Putusan MK atas perkara 90/PUU-XXI/2023 adalah kontroversi. Sebab, ternyata Almas, pemohon uji materiil, tidak memiliki legal standing, hanya karena ia mengidolakan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta yang sukses.
"Uji materi menjadi malapetaka, ketika yang memeriksa perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, adalah salah satu keluarga Jokowi, yaitu ketua MK saat itu, Anwar Usman. Menurut UU No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, diwajibkan harus mundur dari persidangan," kata Carrel.
Carrel menilai meskipun banyak terdapat kontroversi, tapi gugatan Almas dikabulkan oleh MK yang saat itu diketuai oleh Anwar Usman, sehingga diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).
"Sementara Putusan MK No 90/PUU-XXI/ 2023, tetap dilaksanakan sebagai konsekuensi dari sifat putusan MK yang final dan mengikat, meskipun cacat hukum," ujar Carrel.
Carrel berharap DPR dan Presiden segera merevisi sifat final dan mengikat dari putusan MK agar diseleraskan dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, Ketua PBHI Julius Ibrani berpandangan Putusan MKMK No 02/MKMK/L/11/2023 membuktikan telah terjadi conflict of interest dengan basisnya adalah Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka, memiliki hubungan keluarga.
"Keanehan terjadi karena pemohon uji materil (Almas) mengajukan Gibran sebagai legal standingnya. Oleh karena itu, dalam hal demikian Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan Peemohonan Uji Materil ke MK," ujar Julius Ibrani.
Julius menegaskan Pemohon sebenarnya adalah proxy Gibran, karena dalam legal standing Pemohon, yang dibahas adalah tentang Gibran Rakabuming Raka dan suksesnya membangun Kota Surakarta.
"Semua hal terkait penyimpangan dalam proses Uji Materiil Perkara No 90/PUU-XXI/2023, terungkap lewat sidang MKMK, antara lain terungkap bahwa MK telah membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses persidangan MK 90/PUU-XXI/2023," ujar Julius.
Julius mengungkap penyimpangan lain yang dilakukan Hakim Konstirusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah menambahkan klausa “pernah/sedang menduduki jabatan publik” yang sebelumnya tidak ada dalam Pasal 169 hurf q, juga di dalam Permohonan Uji Materiil itu tidak ditandatangani oleh Pemohon tetapi diproses.
Dia menilai pelanggaran etik melalui mekanisme yudisial dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 ketika disinkronkan dengan hubungan kekerabatan Anwar Usaman dan Gibran, menghasilkan dugaan adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai yaitu pencawapresan Gibran Rakabiming Raka.
"Jadi, telah terjadi pelanggaran yang keras terhadap konstitusi negara (constitutional hard ball), termasuk terjadinya penyelundupan hukum dalam Putusan MK 90/PUU-XXI/2023," tegas Julius Ibrani.
Ia menegaskan Pemilu 2024 hanya menjadi agenda yang sia-sia atau rekayasa dari sesuatu yang sudah kita ketahui, mengalami kekuasaan despotik, memperkuat nepotisme Jokowi, merusak citra anaknya sendiri (Gibran) sekaligus merusak demokrasi.
"Dengan demikian, dinasti politik dan nepotisme Jokowi, dampaknya akan mencederai demokrasi dalam pemilu 2024. Sebab, Dinasti Politik dan Nepotisme bertentangan dengan hukum positif,” ujar Julius.
Lihat Juga: Profil Kolonel Pnb Betya Lukman Madyana, Sosok Perisai Hidup Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
Padahal Indonesia memiliki Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Hal itu diungkapkan Petrus dalam diskusi bertajuk “Dinasti Politik dan Nepotisme Jokowi dalam Perspektif Hukum Positif dan Dampaknya pada Pilpres 2024”
"Ketentuan tersebut secara tegas melarang dan mengancam dengan pidana penjara setiap penyelenggara negara yang melakukan nepotisme," kata Petrus di Jakarta, Kamis (14/12/2023).
Petrus secara khusus menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) tertanggal 16 Oktober 2023. Menurutnya, putusan tersebut bermuatan dinasti politik dan nepotisme.
Karena itu, kata Petrus, putusan MK tersebut secara hukum, moral, dan etika menjadi cacat konstitusi. Selain merusak prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan dijamin Pasal 24 UUD 1945, putusan MK itu menjadi tidak sah atas kekuatan ketentuan Pasal 17 Ayat 5 dan Ayat 6 UU Nomor 48 Tahun 2009.
Dijelaskan, diskusi bertema Dinasti Politik dan Nepotisme Presiden Jokowi dari Perspektif Hukum Positif dan Dampaknya terhadap Pilpres 2024 ini merupakan bagian dari peneguhan sikap para Advokat TPDI dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara untuk meningkatkan tempo permainan.
"Sebab, somasi yang disampaikan TPDI dan Perekat Nusantara tanggal 6 Desember 2023 kepada Presiden Jokowi tidak dijawab dan tidak ada satu pun tuntutan yang dipenuhi. Untuk itu, tempo permainan akan kami tingkatkan ke tahap gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa ke Pengadilan PTUN Jakarta," katanya.
Semua daya upaya melalui mekanisme biasa seperti kritik, saran, dan protes sebagian besar anggota masyarakat agar nepotisme di dalam Putusan MK itu dihentikan ternyata tidak berjalan. Padahal nepotisme itu secara tegas dilarang dan diancam dengan pidana penjara berat oleh TAP MPR No XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
"Dampak lainnya pascaputusan MK No 90/PUU-XXI/2023, seolah-olah telah memberi imunitas kepada beberapa pihak," katanya.
Petrus mencontohkan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka yang terekam video sedang membagi-bagi uang di pesantren di masa kampanye, tapi tidak ditindak. Kemudian Prabowo-Gibran juga bertemu perwakilan Perhimpunan Kepala Desa meminta dukungan.
Contoh lainnya, kata Petrus, Jubir Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono memberi informasi soal netralitas Polri, malah dilaporkan ke polisi dan diperiksa. Butet Kertaredjasa diminta tidak menampilkan acara bernuansa politis.
Selanjutnya, Agus Rahardjo yang bercerita pernah diintervensi malah dilaporkan ke Bareskrim. "Tindakan-tindakan tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi," kata Petrus.
Petrus menilai fakta-fakta tersebut menunjukan suara rakyat berupa kritik dan kontrol sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak didengar oleh dan diikuti oleh Presiden Jokowi.
"Bahkan kritik-kritik yang dibuat melalui Somasi TPDI dan Perekat Nusantara dengan tuntutan agar Presiden Jokowi mengembalikan situasi kepada keadaan normal, yaitu Polri netral, Aparatur Negara lain juga netral agar demokrasi berjalan secara sehat tidak juga digubris," katanya.
Pada sisi yang lain, kata Petrus, Presiden Jokowi seakan-akan merasa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 telah melegitimasi dinasti politik dan nepotismenya yang telah melembaga dalam pemerintahannya sejak putranya Gibran jadi Wali Kota Solo dan menantunya Bobby Nasution jadi Wali Kota Medan.
"Di sini tampak jelas bahwa Presiden Jokowi sesungguhnya telah memusatkan seluruh kekuatan sosial politik berada di bawah kendalinya, sekaligus memperkokoh dinasti politiknya hingga pada suprastruktur kekuasaan lintas lembaga negara, Presiden dan MK," kata Petrus.
Menurut Petrus, fenomena di mana Jokowi berada dalam pusat kekuasaan yang mengendalikan semua kekuatan politik yang ada, sama dengan apa yang telah dilakukan Orde Baru, yakni Presiden Soeharto pernah melestarikan sentralisasi kekuasaan memperkuat nepotismenya, hingga 32 tahun lamanya.
"Langkah itu kini ditiru oleh Jokowi dengan memperkuat jaringan nepotisme secara terstruktur mirip dengan era Orde Baru," ujar Petrus.
Praktisi Hukum Carrel Ticualu melihat Putusan MK atas perkara 90/PUU-XXI/2023 adalah kontroversi. Sebab, ternyata Almas, pemohon uji materiil, tidak memiliki legal standing, hanya karena ia mengidolakan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta yang sukses.
"Uji materi menjadi malapetaka, ketika yang memeriksa perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, adalah salah satu keluarga Jokowi, yaitu ketua MK saat itu, Anwar Usman. Menurut UU No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, diwajibkan harus mundur dari persidangan," kata Carrel.
Carrel menilai meskipun banyak terdapat kontroversi, tapi gugatan Almas dikabulkan oleh MK yang saat itu diketuai oleh Anwar Usman, sehingga diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).
"Sementara Putusan MK No 90/PUU-XXI/ 2023, tetap dilaksanakan sebagai konsekuensi dari sifat putusan MK yang final dan mengikat, meskipun cacat hukum," ujar Carrel.
Carrel berharap DPR dan Presiden segera merevisi sifat final dan mengikat dari putusan MK agar diseleraskan dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, Ketua PBHI Julius Ibrani berpandangan Putusan MKMK No 02/MKMK/L/11/2023 membuktikan telah terjadi conflict of interest dengan basisnya adalah Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka, memiliki hubungan keluarga.
"Keanehan terjadi karena pemohon uji materil (Almas) mengajukan Gibran sebagai legal standingnya. Oleh karena itu, dalam hal demikian Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan Peemohonan Uji Materil ke MK," ujar Julius Ibrani.
Julius menegaskan Pemohon sebenarnya adalah proxy Gibran, karena dalam legal standing Pemohon, yang dibahas adalah tentang Gibran Rakabuming Raka dan suksesnya membangun Kota Surakarta.
"Semua hal terkait penyimpangan dalam proses Uji Materiil Perkara No 90/PUU-XXI/2023, terungkap lewat sidang MKMK, antara lain terungkap bahwa MK telah membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses persidangan MK 90/PUU-XXI/2023," ujar Julius.
Julius mengungkap penyimpangan lain yang dilakukan Hakim Konstirusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah menambahkan klausa “pernah/sedang menduduki jabatan publik” yang sebelumnya tidak ada dalam Pasal 169 hurf q, juga di dalam Permohonan Uji Materiil itu tidak ditandatangani oleh Pemohon tetapi diproses.
Dia menilai pelanggaran etik melalui mekanisme yudisial dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 ketika disinkronkan dengan hubungan kekerabatan Anwar Usaman dan Gibran, menghasilkan dugaan adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai yaitu pencawapresan Gibran Rakabiming Raka.
"Jadi, telah terjadi pelanggaran yang keras terhadap konstitusi negara (constitutional hard ball), termasuk terjadinya penyelundupan hukum dalam Putusan MK 90/PUU-XXI/2023," tegas Julius Ibrani.
Ia menegaskan Pemilu 2024 hanya menjadi agenda yang sia-sia atau rekayasa dari sesuatu yang sudah kita ketahui, mengalami kekuasaan despotik, memperkuat nepotisme Jokowi, merusak citra anaknya sendiri (Gibran) sekaligus merusak demokrasi.
"Dengan demikian, dinasti politik dan nepotisme Jokowi, dampaknya akan mencederai demokrasi dalam pemilu 2024. Sebab, Dinasti Politik dan Nepotisme bertentangan dengan hukum positif,” ujar Julius.
Lihat Juga: Profil Kolonel Pnb Betya Lukman Madyana, Sosok Perisai Hidup Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
(cip)