Perludem Nilai Pernyataan Ade Armando soal Politik Dinasti di DIY Tidak Tepat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan politikus Ade Armando yang menyebut Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta menerapkan politik dinasti dinilai tidak tepat. Sebab, Ade Armando membandingkan Keraton Yogyakarta dengan majunya putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka yang dianggap sebagai praktik politik dinasti.
Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz mengaku bingung dengan Ade Armando yang mengomentari aksi protes Aliansi Mahasiswa Jogja terkait majunya Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024. Sebab, Ade Armando mengaitkannya dengan Kesultanan Yogyakarta.
“Dalam membahas politik dinasti, ada perbedaan antara Kesultanan Yogyakarta dan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres,” katanya, Selasa (5/12/2023).
Kesultanan Yogyakarta dilegitimasi oleh Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdasarkan landasan historis dan sosiologis. "Yogya juga tidak memiliki Pilgub, sehingga memang tidak ada politik dinasti, karena memang kerajaan," kata Kahfi.
Sedangkan pada kasus Gibran, tudingan politik dinasti muncul setelah Putusan MK yang serampangan menafsirkan konstitusi dan UU Pemilu. Selain itu, majunya Gibran mengandung dua persoalan.
"Pertama, putusan MK mengandung conflict of interest karena pamannya, Anwar Usman adalah Ketua MK. Kedua, dia maju ketika ayahnya, Presiden Jokowi masih menjabat," kata Kahfi.
Tudingan politik dinasti Jokowi juga diikuti kekhawatiran potensi kecurangan yang mungkin terjadi, seperti politisasi birokrasi dan penggunaan state resource. "Makanya perbandingan Kesultanan Yogyakarta dengan kasus Gibran jadi irrelevant (tidak relevan)," katanya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menilai permintaan maaf Ade Armando dan teguran keras dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) belum cukup. Harus ada jaminan bahwa kesalahan yang sama tidak terulang.
Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz mengaku bingung dengan Ade Armando yang mengomentari aksi protes Aliansi Mahasiswa Jogja terkait majunya Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024. Sebab, Ade Armando mengaitkannya dengan Kesultanan Yogyakarta.
“Dalam membahas politik dinasti, ada perbedaan antara Kesultanan Yogyakarta dan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres,” katanya, Selasa (5/12/2023).
Kesultanan Yogyakarta dilegitimasi oleh Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdasarkan landasan historis dan sosiologis. "Yogya juga tidak memiliki Pilgub, sehingga memang tidak ada politik dinasti, karena memang kerajaan," kata Kahfi.
Sedangkan pada kasus Gibran, tudingan politik dinasti muncul setelah Putusan MK yang serampangan menafsirkan konstitusi dan UU Pemilu. Selain itu, majunya Gibran mengandung dua persoalan.
Baca Juga
"Pertama, putusan MK mengandung conflict of interest karena pamannya, Anwar Usman adalah Ketua MK. Kedua, dia maju ketika ayahnya, Presiden Jokowi masih menjabat," kata Kahfi.
Tudingan politik dinasti Jokowi juga diikuti kekhawatiran potensi kecurangan yang mungkin terjadi, seperti politisasi birokrasi dan penggunaan state resource. "Makanya perbandingan Kesultanan Yogyakarta dengan kasus Gibran jadi irrelevant (tidak relevan)," katanya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menilai permintaan maaf Ade Armando dan teguran keras dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) belum cukup. Harus ada jaminan bahwa kesalahan yang sama tidak terulang.