Presiden Lagi-lagi Marahi Menteri, Effendi Simbolon: Dari Awal Bukan The Dream Team
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedikitnya sudah tiga kali memarahi menterinya dan ditunjukkan kepada publik karena tidak puas dengan kinerja mereka dalam penanganan krisis di masa pandemi. Terakhir, kejengkelan Jokowi diungkapkan saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin (3/8/2020). Salah satu pemicunya adalah masih minimnya serapan anggaran stimulus untuk penanganan COVID-19.
Terkait dengan sikap Presiden Jokowi tersebut, Politikus PDIP Effendi Simbolon mengatakan sebenarnya apa yang ditunjukkan Jokowi tersebut tidak penting bagi rakyat di tengah kondisi pandemi saat ini. "Buat kita kan enggak penting mau marah mau enggak marah, yang penting kita hadapi pandemi ini dengan kearifan, kesabaran dengan keimanan yang kuat. Jangan kemudian kita terlihat panik, tegang karena ini kan pandemi yang luar biasa yang belum pernah dialami di masa kita," ujarnya dalam keterangannya, Jumat (7/8/2020). (Baca juga: Bandingkan dengan Jokowi, Pengamat Sebut Soeharto Tak Pernah Marah di Depan Publik)
Mengenai kinerja para menteri, Effendi mengatakan, sejak awal dirinya melihat penempatan orang-orang di jajaran kabinet terkesan asal-asalan. "Harusnya periode yang kedua itu lebih baik dari periode pertama. Kalau yang sebelumnya masih trial and error, kan enggak bisa dimaklumi untuk periode kedua," tandasnya.
Anggota Komisi I DPR ini menilai kinerja sejumlah menteri yang tidak maksimal ini bukan hanya karena Corona. "Jadi ini bukan karena COVID-19, memang sejak awal bukan the dream team yang kita harapkan di periode kedua presiden. Kenapa? Ya saya enggak tahu, tanya sendiri ke Pak Jokowinya," tuturnya.
Effendi mengaku sejak awal meragukan kapasitas orang-orang yang dipilih duduk sebagai menteri di era kedua kepemimpinan Jokowi. "Sejak awal sebelum COVID-19, kalau seorang nahkoda didampingi kru-kru kayak model begitu, ya gimana? (Ibaratnya) orang mesin kelola operasi jantung, dokter saraf kelola ini, jadinya enggak karu-karuan. Mbok kembali dululah ke khittah-nya, kembali ke mazhabnya. Negeri ini kan terbangun bukan serta merta, bukan bim salabim, ada prosesnya. Kita bukan superman yang semua tahu, apalagi memahami," jelasnya.
Karena itu, menurut Effendi, ketika Presiden Jokowi mempertontonkan kepada publik kemarahannya kepada para pembantunya maka rakyat kebanyakan hanya tersenyum saja. "Kalau presidennya marah-marah, sopo sing milih? Siapa yang milih. Kayak kita memilih seleksi karyawan kan berpulang lagi ke kita (yang memilih). Kalau modelnya enggak ada COVID-19 saja begini, enggak bisa diharap banyak, apalagi dengan COVID-19 ya semakin enggak jalan," paparnya.
Mengenai keluhan Jokowi soal minimnya serapan anggaran, Effendi mengatakan bahwa dalam penggunaan anggara ada aturan dan mekanismenya yang diatur dalam undang-undang. "Apa mau dihabisin semuanya? Kan ada mekanismenya, ada aturannya. Saya kira semua PPA (Pejabat Pengguna Anggaran) itu kan kalau misalnya ada apa-apa, the worst itu (kondisi terburuk jika ada kasus hukum, red), kan mereka yang menanggung hukumnya kalau ada kesalahan dari sisi teknisnya," katanya.
Menurut Effendi, para birokrat itu bukan orang-orang bodoh yang tidak mengerti aturan dalam merealisasikan anggaran. "Birokrat-birokrat kita ini enggak bodoh-bodoh amatlah. Tapi kan kembali, enggak serta merta (membelanjakan anggaran, red). Pertanyaannya pertama, anggarannya apa iya sudah tersedia 100 persen? Kan enggak juga, belum tentu. Kita coba transparan juga berapa masuk pendapatan negara dari pajak, berapa masuk dari hasil surat utang obligasi dan seterusnya, berapa yang ada di APBN kita, itu kan semua ada tahap-tahapnya diatur dalam undang-undang semua yang mengatur pengelolaan negara," jelasnya.
Apalagi, kata Effendi, saat ini masih tahun berjalan sehingga ketika serapan masih sekitar 20%, hal itu tidak perlu dipersoalkan. "Kecuali kalau kita bicara Desember, masih diserap dengan 20%, itu baru ada pertanyaan kenapa. Ini kan tahun berjalan ini, masih dipertanyakan, dimana persoalannya? Kita harus jujur berapa persen yang tersedia di APBN kita, dan berapa dari berapa itu yang menurut presiden terserap atau tidak," tandasnya.
Effendi mengaku tidak mengerti mengapa hal itu yang dijadikan permasalahan sehingga Jokowi harus mempertontonkan kemarahannya di ruang publik. "Jadi kita dipertontonkan tontonan yang enggak penting. Saya bukan dalam rangka membanding-bandingkan, tapi saya, kita mungkin hanya ada di Indonesia ada gambar begitu, ada film mengenai pemimpinnya marah-marah ke bawahannya dipublikasikan. Bagi rakyat yang semua ngalamin (dampak Corona), enggak penting melihat gambar begitu."
Dia menilai hal yang penting dilakukan Jokowi adalah menjelaskan kepada rakyat kondisi yang sebenarnya dan apa langkah nyata yang dilakukan pemerintah dalam menangani COVID-19. "Jelaskan kami begini-begini, dari anggaran ini sekian, jelaskan, itu yang lebih penting. Ada press release juga dari presiden. Seperti yang dilakukan PM Lee, PM Malaysia, Donald Trump, semua rilis begini (langkah penanganan COVID-19). Enggak Donald Trump marah-marahin pembantunya terus kita tonton, enggak penting bagi rakyat Indonesia. Itu tontonan yang nggak mendidik, enggak ada manfaatnya sedikitpun bagi rakyat," paparnya. ( )
Ditambahkan Effendi, di tengah kondisi yang serba sulit saat ini, hal yang perlu dilakukan adalah memperbanyak mendekatkan diri kepada Tuhan, memohon perlindungan dan kesabaran agar bisa melalui cobaan ini dengan baik. "Coba lihat lingkungan sekitar kita, kalau enggak karena hidup dengan kekuatan iman, sudah habis semua kita. Dari mulai Januari sampai sekarang, habis kita. Itu kembali meditasi dengan kearifan, dengan kekhusyuan, ada pertobatan. Enggak perlu dipertontonkan, berapa pihak sih, segelintir orang yang peduli ke politik sekarang," tutupnya.
Terkait dengan sikap Presiden Jokowi tersebut, Politikus PDIP Effendi Simbolon mengatakan sebenarnya apa yang ditunjukkan Jokowi tersebut tidak penting bagi rakyat di tengah kondisi pandemi saat ini. "Buat kita kan enggak penting mau marah mau enggak marah, yang penting kita hadapi pandemi ini dengan kearifan, kesabaran dengan keimanan yang kuat. Jangan kemudian kita terlihat panik, tegang karena ini kan pandemi yang luar biasa yang belum pernah dialami di masa kita," ujarnya dalam keterangannya, Jumat (7/8/2020). (Baca juga: Bandingkan dengan Jokowi, Pengamat Sebut Soeharto Tak Pernah Marah di Depan Publik)
Mengenai kinerja para menteri, Effendi mengatakan, sejak awal dirinya melihat penempatan orang-orang di jajaran kabinet terkesan asal-asalan. "Harusnya periode yang kedua itu lebih baik dari periode pertama. Kalau yang sebelumnya masih trial and error, kan enggak bisa dimaklumi untuk periode kedua," tandasnya.
Anggota Komisi I DPR ini menilai kinerja sejumlah menteri yang tidak maksimal ini bukan hanya karena Corona. "Jadi ini bukan karena COVID-19, memang sejak awal bukan the dream team yang kita harapkan di periode kedua presiden. Kenapa? Ya saya enggak tahu, tanya sendiri ke Pak Jokowinya," tuturnya.
Effendi mengaku sejak awal meragukan kapasitas orang-orang yang dipilih duduk sebagai menteri di era kedua kepemimpinan Jokowi. "Sejak awal sebelum COVID-19, kalau seorang nahkoda didampingi kru-kru kayak model begitu, ya gimana? (Ibaratnya) orang mesin kelola operasi jantung, dokter saraf kelola ini, jadinya enggak karu-karuan. Mbok kembali dululah ke khittah-nya, kembali ke mazhabnya. Negeri ini kan terbangun bukan serta merta, bukan bim salabim, ada prosesnya. Kita bukan superman yang semua tahu, apalagi memahami," jelasnya.
Karena itu, menurut Effendi, ketika Presiden Jokowi mempertontonkan kepada publik kemarahannya kepada para pembantunya maka rakyat kebanyakan hanya tersenyum saja. "Kalau presidennya marah-marah, sopo sing milih? Siapa yang milih. Kayak kita memilih seleksi karyawan kan berpulang lagi ke kita (yang memilih). Kalau modelnya enggak ada COVID-19 saja begini, enggak bisa diharap banyak, apalagi dengan COVID-19 ya semakin enggak jalan," paparnya.
Mengenai keluhan Jokowi soal minimnya serapan anggaran, Effendi mengatakan bahwa dalam penggunaan anggara ada aturan dan mekanismenya yang diatur dalam undang-undang. "Apa mau dihabisin semuanya? Kan ada mekanismenya, ada aturannya. Saya kira semua PPA (Pejabat Pengguna Anggaran) itu kan kalau misalnya ada apa-apa, the worst itu (kondisi terburuk jika ada kasus hukum, red), kan mereka yang menanggung hukumnya kalau ada kesalahan dari sisi teknisnya," katanya.
Menurut Effendi, para birokrat itu bukan orang-orang bodoh yang tidak mengerti aturan dalam merealisasikan anggaran. "Birokrat-birokrat kita ini enggak bodoh-bodoh amatlah. Tapi kan kembali, enggak serta merta (membelanjakan anggaran, red). Pertanyaannya pertama, anggarannya apa iya sudah tersedia 100 persen? Kan enggak juga, belum tentu. Kita coba transparan juga berapa masuk pendapatan negara dari pajak, berapa masuk dari hasil surat utang obligasi dan seterusnya, berapa yang ada di APBN kita, itu kan semua ada tahap-tahapnya diatur dalam undang-undang semua yang mengatur pengelolaan negara," jelasnya.
Apalagi, kata Effendi, saat ini masih tahun berjalan sehingga ketika serapan masih sekitar 20%, hal itu tidak perlu dipersoalkan. "Kecuali kalau kita bicara Desember, masih diserap dengan 20%, itu baru ada pertanyaan kenapa. Ini kan tahun berjalan ini, masih dipertanyakan, dimana persoalannya? Kita harus jujur berapa persen yang tersedia di APBN kita, dan berapa dari berapa itu yang menurut presiden terserap atau tidak," tandasnya.
Effendi mengaku tidak mengerti mengapa hal itu yang dijadikan permasalahan sehingga Jokowi harus mempertontonkan kemarahannya di ruang publik. "Jadi kita dipertontonkan tontonan yang enggak penting. Saya bukan dalam rangka membanding-bandingkan, tapi saya, kita mungkin hanya ada di Indonesia ada gambar begitu, ada film mengenai pemimpinnya marah-marah ke bawahannya dipublikasikan. Bagi rakyat yang semua ngalamin (dampak Corona), enggak penting melihat gambar begitu."
Dia menilai hal yang penting dilakukan Jokowi adalah menjelaskan kepada rakyat kondisi yang sebenarnya dan apa langkah nyata yang dilakukan pemerintah dalam menangani COVID-19. "Jelaskan kami begini-begini, dari anggaran ini sekian, jelaskan, itu yang lebih penting. Ada press release juga dari presiden. Seperti yang dilakukan PM Lee, PM Malaysia, Donald Trump, semua rilis begini (langkah penanganan COVID-19). Enggak Donald Trump marah-marahin pembantunya terus kita tonton, enggak penting bagi rakyat Indonesia. Itu tontonan yang nggak mendidik, enggak ada manfaatnya sedikitpun bagi rakyat," paparnya. ( )
Ditambahkan Effendi, di tengah kondisi yang serba sulit saat ini, hal yang perlu dilakukan adalah memperbanyak mendekatkan diri kepada Tuhan, memohon perlindungan dan kesabaran agar bisa melalui cobaan ini dengan baik. "Coba lihat lingkungan sekitar kita, kalau enggak karena hidup dengan kekuatan iman, sudah habis semua kita. Dari mulai Januari sampai sekarang, habis kita. Itu kembali meditasi dengan kearifan, dengan kekhusyuan, ada pertobatan. Enggak perlu dipertontonkan, berapa pihak sih, segelintir orang yang peduli ke politik sekarang," tutupnya.
(kri)