Putusan MK No 141 Soal Syarat Usia Capres-Cawapres Perburuk Marwah Mahkamah Konstitusi

Sabtu, 02 Desember 2023 - 15:47 WIB
loading...
Putusan MK No 141 Soal...
Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara Petrus Selestinus menilai putusan MK No 141 soal syarat usia capres dan cawapres perburuk marwah Mahkamah Konstitusi. Foto/MPI
A A A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.141/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres dan cawapres dinilai memperburuk marwah MK. Sebab putusan tersebut dianggap sebagai perpanjangan tangan Istana karena memperkuat putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023.

Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara Petrus Selestinus mengatakan, pascaputusan MK No.90 tentang uji materiil pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hakim-hakim Konstitusi belum juga move on. Mereka masih terbawa suasana traumatik soal conflict of interest Hakim Konstitusi Anwar Usman yang membawanya kehilangan kursi Ketua MK.

Bahkan Hakim Konstitusi yang progresif sekelas Saldi Isra dan Suhartoyo pun nampak kehilangan taring, karena dalam Pertimbangan Hukum Putusan 141/PUU-XXI/2023, tidak tampak pandangan yang progresif sebagaimana dapat dibaca dalam putusan Perkara No.90.



”Nuansa di mana Hakim-Hakim konstitusi kompak satu suara ingin mengamankan kekuatan final dan mengikat putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023, sangat kental sehingga beberapa pertimbangan hukum dalam Putusan MK No.141/PUU-XXI/2023, tanggal 23/11/2023, menyatakan tidak berlaku ketentuan pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU No.48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan dalil yang kontraproduktif yang melampaui batas wewenang Hakim,” katanya, Sabtu (2/12/2023).

Bagi Hakim Konstitusi yang merupakan negarawan, pertimbangan hukum yang menegasikan berlakunya ketentuan pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) jelas merupakan upaya pragmatis memenuhi hasrat politik kekuasaan dengan mengenyampingkan asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, yang berlaku bagi semua hakim tanpa kecuali.



”Di sini Hakim MK sudah keluar dari prinsip kebebasan Hakim bahkan bertindak sewenang-wenang karena menyatakan ketentuan pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi Hakim Konstitusi, hanya demi mengamankan Putusan Perkara No.90,” ujarnya.

Artinya, Hakim Konstitusi bisa sewenang-wenang mengeluarkan pertimbangan hukum, sebagaimana dapat dibaca dalam putusan MK No. 141 yaitu memberikan imunitas semu bagi Hakim Konstitusi untuk tidak dipidana manakala terbukti melakukan tindak pidana terkait dengan perkara yang sedang dia adili termasuk jika berada dalam lingkaran conflict of interest.

Hal lain yang aneh adalah pertimbangan hukum putusan No. 141 bahwa MK tidak mungkin menerapkan pasal 17 ayat (7) karena ketentuan pasal 45 ayat (4) dan pasal 66 ayat (3) PMK No. 2 Tahun 2021, yang mewajibkan Majelis Hakim bersidang dengan komposisi 9 atau sekurang-kurangnya 7 Hakim Konstitusi.

”Pandangan bahwa Hakim MK bersidang dengan sekurang-kurangnya 7 Hakim, sebetulnya MK telah mengantisipasi kemungkinan ada Hakim Konstitusi yang harus mundur dari perkara yang sedang disidangkan manakala ia berkepentingan atau memiliki conflict of interest, sehingga cukup dengan mengundurkan diri dari persidangan, maka persidangan bisa dilakukan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 orang Hakim Konstitusi,” katanya.

Menurut Petrus, peraturan MK No.2 Tahun 2021 harus dipandang sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan Hakim MK, sewaktu-waktu berada dalam posisi memiliki conflict of interest sebagaimana dialami Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam Perkara No.90 maka cukup dengan Anwar Usman mundur dari persidangan maka skandal nepotisme itu tidak akan terjadi.

Artinya jika saja saat itu Anwar Usman mundur dari persidangan perkara No.90 maka MK tidak mungkin menghadapi skandal politik yang mengguncang kancah perpolitikan yang berkepanjangan hingga saat ini, karena Hakim MK bisa bersidang dengan 7 atau 8 Hakim Konstitusi, agar Hakim MK terbebas dari ancaman pasal 17 ayat 6 dan ayat 7.

”Pertimbangan Hukum yang menyatakan ketentuan pasal 17 ayat 6 dan 7 tidak dapat diterapkan pada Hakim Konstitusi, atas alasan tidak adanya Majelis Hakim Pengganti, sementara ketentuan UU MK sendiri membuka pintu jalan keluar dengan persidangan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 Hakim, jelas merupakan argumentasi yang bertujuan membodohi publik,” katanya.

Begitu pula dengan pernyataan Hakim Konstitusi dalam Putusan No.141 bahwa ketentuan pasal 17 ayat (6) tidak berlaku bagi Hakim Konstitusi terutama sanksi putusan tidak sah, sanksi administratif dan sanksi pidana, pertanyaannya mengapa Hakim Anwar Usman dijatuhi sanksi administratif, jawabannya karena Anwar Usman melanggar larangan pasal 17 ayat (5) UU No.48 tahun 2009 jo. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

“Meniadakan berlakunya ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 pada Hakim Konstitusi, hal itu harus dengan UU bukan dengan tafsir UU oleh MK. Ketentuan pasal 73 UU HAM bahwa Hak dan Kebebasan yang diatur dalam UU hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU, karena itu tidak diterapkan ketentuan pasal.17 ayat 6 pada Hakim Konstitusi tidak boleh berdasarkan tafsir Hakim melainkan hanya boleh dengan UU,” katanya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1342 seconds (0.1#10.140)