MK Tolak Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres Usia Minimal 40 Tahun atau Pernah Jadi Gubernur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK ) menolak uji materiil Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana. Gugatan terkait usia capres -cawapres ini tercatat dalam perkara nomor 141/PUU-XXI/2023.
"Menolak permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo di Gedung MK, Selasa (28/11/2023).
Suhartoyo mengatakan ditolaknya putusan perkara 141 tersebut telah diputuskan oleh delapan Hakim Konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Dalam perkara ini, pemohon menggugat materi batas usia capres-cawapres 40 tahun atau mempunyai pengalaman menjadi kepala daerah yang mana ketentuannya telah diubah berdasarkan putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
Brahma mengajukan agar kepala daerah yang bisa maju sebagai capres dan cawapres haruslah kepala daerah di tingkat provinsi yakni Gubernur atau Wakil Gubernur.
Dalam permohonannya, Brahma meminta Pasal 169 huruf q undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah. Dia menilai frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi’.
Dia memohon agar MK bisa kembali mengubah frasa itu menjadi ‘Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi’.
Salah satu alasannya ialah, dia menilai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu tidak sah. Sebab, dari sembilan Hakim Konstitusi yang memutus perkara itu, hanya tiga hakim yang menyatakan setuju di antaranya ialah Anwar Usman, Guntur Hamzah dan Manahan MP Sitompul.
Dua hakim lainnya yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh setuju namun terdapat alternatif lain dari tafsir yaitu kepala daerah tingkat provinsi. Lalu empat hakim lainnya yaitu Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo dan Arief Hidayat tidak sepakat.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
"Menolak permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo di Gedung MK, Selasa (28/11/2023).
Suhartoyo mengatakan ditolaknya putusan perkara 141 tersebut telah diputuskan oleh delapan Hakim Konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Dalam perkara ini, pemohon menggugat materi batas usia capres-cawapres 40 tahun atau mempunyai pengalaman menjadi kepala daerah yang mana ketentuannya telah diubah berdasarkan putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
Brahma mengajukan agar kepala daerah yang bisa maju sebagai capres dan cawapres haruslah kepala daerah di tingkat provinsi yakni Gubernur atau Wakil Gubernur.
Dalam permohonannya, Brahma meminta Pasal 169 huruf q undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah. Dia menilai frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi’.
Dia memohon agar MK bisa kembali mengubah frasa itu menjadi ‘Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi’.
Salah satu alasannya ialah, dia menilai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu tidak sah. Sebab, dari sembilan Hakim Konstitusi yang memutus perkara itu, hanya tiga hakim yang menyatakan setuju di antaranya ialah Anwar Usman, Guntur Hamzah dan Manahan MP Sitompul.
Dua hakim lainnya yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh setuju namun terdapat alternatif lain dari tafsir yaitu kepala daerah tingkat provinsi. Lalu empat hakim lainnya yaitu Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo dan Arief Hidayat tidak sepakat.
"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.
(abd)