Putusan MK Bolehkan Pernikahan Teman Satu Kantor Picu Kontroversi

Jum'at, 15 Desember 2017 - 12:15 WIB
Putusan MK Bolehkan...
Putusan MK Bolehkan Pernikahan Teman Satu Kantor Picu Kontroversi
A A A
JAKARTA - Bagi karyawan atau pekerja yang sudah menikah atau akan menikah dengan teman sekantor tidak perlu khawatir satu di antara pasangan harus mundur. Pasalnya aturan perundangan atas persoalan tersebut sudah tidak berlaku lagi.

Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materi (judicial review) Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang (UU) 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya melarang adanya ikatan pernikahan dalam satu perusahaan. Pasal yang diuji oleh 8 pegawai PT PLN Persero WS2JB Area Sumanjalu dan Area Jambi ini dianggap membatasi hak asasi manusia dan bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 maupun Pasal 38 ayat 1 dan ayat 2 UU No 39 Tahun 1999.

"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Gedung MK Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Namun putusan MK tersebut memicu kontroversi, terutama dari kalangan pengusaha. Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo Danang Girindrawar dana menilai putusan MK bisa menimbulkan permasalahan di perusahaan. "Misalnya si suami bekerja di divisi keuangan lalu istri bekerja di divisi operasional, di dalam perusahaan itu ada kompartemen yang tidak harus selalu transparan, ini bisa menimbulkan masalah," kata Danang saat di hubungi KORAN SINDO di Jakarta, Kamis (14/12/2017) malam.

Dengan ruang lingkup di perusahaan yang sama, menurut dia, adanya karyawan atau pekerja yang memiliki ikatan pernikahan rawan menimbulkan shifting informasi yang seharusnya menjadi rahasia tiap kompartemen. Di sisi lain tidak menutup kemungkinan urusan kantor di bawa ke permasalahan di rumah tangga. "Yang menjadi masalah besar, jika sebaliknya, yaitu urusan di rumah tangga di bawa ke kantor, tentu ini akan berdampak ke industri karena memengaruhi etos kerja," urainya.

Menurut Danang, keputusan MK tersebut bisa berdampak negatif terhadap industri di Tanah Air jika tidak disiasati secara tepat. Untuk itu dibutuhkan kebijakan seluruh pihak, di antaranya perusahaan maupun tenaga kerja itu sendiri. "Keputusan MK ini kurang membahagiakan dunia industri yang menggabungkan dunia usaha dan pekerjaan," urainya.

Jika diterapkan secara tepat, menurut dia, hal tersebut tidak akan menjadi masalah besar. Pasalnya ada beberapa lembaga dan kementerian yang mempekerjakan suami dan istrinya dalam satu perusahaan. Untuk itu dia meminta karyawan dan perusahaan tetap bersikap profesional dalam menjaga kerahasiaan arus informasi.

"Di kepagawaian PNS kerap terjadi suami dan istri dalam satu lingkup, banyak dari mereka bekerja di lembaga dan kementerian yang sama, ini masih diperbolehkan," sebutnya.

Pakar manajemen sumber daya manusia Bahari Antono menilai perusahaan bisa mengatasi kendala yang terjadi akibat keberadaan karyawan atau pekerja yang memilik ikatan perkawinan. Caranya, manajemen perusahaan perlu mengatur sedemikian rupa penempatan pasangan karyawan yang menikah agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.

"Misalnya mereka tidak berada dalam satu departemen atau divisi. Jangan sampai bersinggungan langsung dalam kerja sehari-hari. Ini demi menjaga aspek profesionalisme dan kinerja serta kemungkinan adanya keputusan subjektif yang berisiko negatif kepada perusahaan," jelasnya.

Bertentangan dengan UUD 1945

Pada putusannya MK juga menyatakan frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama" dalam Pasal 153 ayat 1 huruf (f) UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. "Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," tutur Arief.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa hak konstitusional yang terkandung di dalam Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 adalah bagian dari hak asasi manusia yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Hal ini berbeda dengan pemenuhan terhadap hak asasi manusia yang tergolong dalam hak sipil dan politik yang pemenuhannya dilakukan dengan sedikit mungkin campur tangan negara, bahkan dalam batas tertentu negara tidak boleh campur tangan.

Mahkamah juga mengatakan bahwa hak atas pekerjaan adalah berkaitan dengan hak kesejahteraan. Dan UU 39 Tahun 1999 mempertegas ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 bahwa setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang layak dan Pasal 2 mengatur setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

"Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 6 ayat 1 International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights yang telah diratifikasi dengan UU 11/2015," lanjut Aswanto.

Dalam pertimbangan lain, MK menyatakan tidak sependapat dengan dalil yang disampaikan pihak Presiden maupun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mendasarkan pada doktrin pacta sunt servanda dengan menghubungkan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan, "Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan tersebut dapat ditarik kembali dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan yang ditentukan UU dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. MK menganggap argumentasi demikian tidak selalu relevan untuk diterapkan tanpa memperhatikan keseimbangan kedudukan para pihak yang membuat persetujuan tersebut, ketika persetujuan itu dibuat. Dalam hal ini jelas bahwa antara pengusaha dan pekerja berada dalam posisi yang tidak seimbang dan filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi," ujar Aswanto.

Mahkamah juga tidak sependapat dengan dalil yang disampaikan PT PLN Persero maupun Apindo yang beralasan aturan pelarangan pernikahan satu kantor untuk menghindari terjadi hal-hal negatif seperti potensi timbulnya konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan serta membangun kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan. Menurut MK, alasan demi kian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional yang termuat dalam Pasal 28J ayat 2 UUD 1945.

Salah seorang pemohon, Jhoni Boetja, menyambut baik putusan MK yang mengabulkan permohonan yang diajukannya. Dia berharap dihapusnya frasa "kecuali" dapat menghilangkan potensi PHK bagi pekerja dikarenakan adanya hubungan perkawinan atau pertalian darah. "Karena frasa "kecuali" itu sangat berbahaya bagi perusahaan negara ataupun swasta. Kalau tidak dihilangkan akan terjadi PHK besar-besaran," ujar Boetja.

Menurut Boetja, awal pihaknya mengajukan uji materi ke MK adalah lantaran keprihatinan di-PHK-nya 300 lebih karyawan karena alasan menikah satu kantor. Dia berharap keluarnya putusan MK ini dapat merehabilitasi status karyawan yang sebelumnya mengalami PHK. "Kami akan mencoba ke manajemen untuk mempekerjakan kembali. Apakah ada yang mau bicara, akan kita advokasi," ucap Boetja.
(amm)
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1069 seconds (0.1#10.173)