Transportasi Massal Saja Tak Cukup

Rabu, 22 November 2017 - 07:46 WIB
Transportasi Massal Saja Tak Cukup
Transportasi Massal Saja Tak Cukup
A A A
Macet seolah menjadi musuh abadi bagi Ibu Kota. Memang sudah bertahun-tahun dan berganti kepemimpinan, bermacam solusi telah dilakukan untuk menekan kemacetan di Jakarta.

Namun, hasilnya memang belum bisa terlalu mengurai benang kusut persoalan kemacetan ini. Bahkan, Intelligent Transport System (ITS) Indonesia menyebutkan saat ini kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta waktu sibuk yakni 10 km/jam.

Angka ini menurun dari tahun ke tahun sejak 10 tahun terakhir. ITS juga mengaku, kemacetan tersebut menimbulkan kerugian USD1 miliar pada 2010 dan diperkirakan akan meningkat menjadi USD6,5 miliar atau sekitar Rp84,5 triliun (kurs Rp13.000/USD) pada 2020 jika kondisi ini tidak diperbaiki (sindonews.com, 21 November 2017).

Benarkah seperti itu? Tentu harus diuji kebenarannya lagi tentang bagaimana cara menghitung yang dilakukan ITS. Pun demikian dengan perkiraan ITS yang menyebut bahwa pada 2022 nanti Jakarta akan terjadi kemacetan total (grid lock ).

Nah, itu persoalan grid lock sudah sering disebutkan oleh pengamat atau lembaga pemerhati lalu lintas beberapa tahun lalu. Di sini pun perlu diperdalam tentang apa kondisi grid lock.

Apakah memang kendaraan dalam posisi tidak bergerak atau bergerak dengan kecepatan sangat rendah? Semua itu memang harus diperdalam lagi agar pemahaman tentang kemacetan di Jakarta dipahami secara komprehensif dan objektif.

Namun di sisi lain, kemacetan memang masih sangat dirasakan masyarakat Jakarta. Secara kasatmata, pada jam-jam sibuk, masyarakat Jakarta selalu menghadapi tentang kemacetan.

Solusi tentang penyediaan transportasi massal yang aman dan nyaman telah diberikan. Commuter Line dan Transjakarta telah memberikan alternatif kepada para pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke transportasi massal.

Meski belum dikatakan sangat ideal, toh harus diakui keberadaan dua moda transportasi massal tersebut bisa menjadi alternatif. Masih ada lagi LRT dan MRT yang benar-benar akan beroperasi pada 2019 nanti. Nah , apakah LRT dan MRT akan menjadi solusi kemacetan di Jakarta? Tampaknya tidak juga.

Kemacetan di Jakarta disebabkan jumlah kendaraan di jalan Jakarta sudah melebihi kapasitas. Artinya harus ada pengurangan jumlah kendaraan yang melintas di Jakarta agar kemacetan bisa dikurangi atau dipangkas.

Adanya Commuter Line, Transjakarta, LTR maupun MRT membuat masyarakat beralih meninggalkan kendaraan pribadi. Namun itu tidak cukup, harus ada kebijakan yang berani untuk mengurangi jumlah kendaraan yang ada di Jakarta.

Ide tentang ERP, tarif parkir yang mahal, atau pajak kendaraan yang mahal mungkin akan semakin mengurangi minat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, mengubah cara berkendara masyarakat Ibu Kota yang mengakibatkan kemacetan, juga menjadi pekerjaan rumah.

Jika melihat evaluasi Operasi Zebra 2017 yang dilakukan kepolisian, justru menunjukkan kesadaran berlalu lintas menurun. Pada Operasi Zebra yang digelar 1-14 November, polisi menemukan 136.142 pelanggaran atau naik 32% dibandingkan 2016 yang berjumlah 102.835 pelanggar.

Tentu ini menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah untuk bisa mengatasi persoalan kemacetan ini. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan berani agar kekhawatiran tentang kemacetan total hanya sekadar prediksi.

Kebijakan pemerintah yang setengah-setengah hanya akan menumpuk masalah di kemudian hari. Sekali lagi, pemerintah harus berani memberikan solusi terhadap kemacetan di Jakarta.

Selain itu, pemerintah juga harus memberikan peringatan kepada kota-kota besar di Indonesia lainnya yang mungkin pada 10 tahun mendatang akan bernasib sama dengan Jakarta. Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang, dan lain-lain mulai merasakan persoalan kemacetan yang perlu dicarikan solusi lebih dini.

Jika tidak, ancaman grid lock atau kerugian triliunan seperti yang disampaikan oleh ITS akan terjadi di kota-kota besar tersebut. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak perlu saling menunggu untuk mencari solusi.

Mereka harus duduk bersama serta menganggap ini sebagai persoalan bersama sehingga bisa mencapai solusi yang berani secara bersama.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7830 seconds (0.1#10.140)