Perubahan Iklim Tanggung Jawab Siapa?

Kamis, 09 November 2023 - 08:49 WIB
loading...
Perubahan Iklim Tanggung Jawab Siapa?
KH. Cholil Nafis, Lc., Ph D. Foto/Istimewa
A A A
KH. Cholil Nafis, Lc., Ph D.
Ketua MUI Pusat
Rais Syuriyah PBNU

DUNIA sedang tidak baik-baik saja. Perubahan iklim sudah terasa dan nyata akibat lingkungan hidup yang mulai rusak dan planet bumi mulai menua. Jika gagal dalam kesepakatan bersama untuk menurunkan suhu bumi hingga 1,5 derajat celsius pada 2050, para ahli perubahan iklim dan lingkungan memperkirakan banyak pulau dan negara yang terancam tenggelam karena naiknya permukaan laut, kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya.

Merujuk data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), terjadi peningkatan bencana dalam kurun waktu 50 tahun terakhir yang disebabkan cuaca ekstrem. Masih menurut lembaga yang sama, dalam kurun waktu 1970-2019, lebih dari dua juta orang meninggal dunia karena bencana alam akibat perubahan iklim, dengan kerugian ekonomi mencapai 3,64 triliun dolar AS. Tercatat 3.454 bencana di wilayah Asia yang menyebabkan setidaknya 975.622 nyawa melayang. Sementara itu, kerugian materi dampak bencana ini mencapai 1,2 triliun dolar AS.

Pemanasan global akan meningkatkan penguapan air permukaan bumi sehingga menimbulkan kekeringan ekstrem. Dengan temperatur yang lebih tinggi, maka jumlah uap air yang dikandung dalam udara meningkat pula, sehingga hujan turun ke bumi dalam intensitas yang ekstrem dan mengakibatkan kerusakan. Inilah yang disebut perubahan iklim bumi yang pastinya akan mempengaruhi langit. Perubahan ini akan menyebabkan cuaca bumi menjadi ekstrem (kekeringan yang ekstrem atau hujan yang ekstrem), yang merusak keseimbangan ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia dan seluruh makhluk bumi.

Kerusakan lingkungan hidup seperti perubahan iklim adalah berkat ulah tangan manusia yang menyimpang dari jalan lurus yang dikehendaki oleh Allah SWT. Nafsu akan kebendaan dan hidup material dengan mengabaikan harkat martabat manusia adalah alur yang menyimpang dari jalan lurus moralitas keagamaan. Saat tata nilai yang dibuat manusia untuk memanfaatkan potensi alam telah demikian mudah dilanggar oleh mereka sendiri, maka nilai agama harus tampil ke depan untuk memberi peringatan dan memberi koridor dimensi etis bagi semua orang.

Karenanya, pada tanggal 6-7 November 2023 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bekerja sama dengan Majelis Hukama’ al-Muslimi menyelenggarakan konferensi internasional tentang perubahan iklim. Konferensi yang dilaksanakan di Abu Dhabi ini menghadirkan para pemimpin dan pemuka lintas agama dari tiga puluh negara. Penulis atas nama Majelis Ulama Indonesia turut hadir untuk membahas dan menandatangani dokumen komitmen menjaga planet bumi dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Dokumen komitmen bersama berisikan kesepakatan untuk menjadikan agama sebagai nilai kehidupan dalam memelihara alam semesta.



Seruan dan kesepakatan tokoh agama menjadi penting mengingat dimensi etis yang disuarakan pemuka agama mampu menjadi panduan dan pengawas yang independen dari kepentingan politik dan ekonomi. Agama bisa berdampak pada pengendalian perubahan iklim ialah karena kemampuannya menjinakan gaya hidup. Agama menganjurkan manusia untuk berperilaku hemat dan tidak berlebihan, mubazir dan israf yang berdampak pada mitigasi perubahan iklim. Sebab, agama memiliki konstituen yang jelas dan nyata, serta adanya rujukan dalam keyakinan berupa kitab suci.

Banyak ayat-ayat di kitab suci yang secara tegas dan jelas mengajak pemeluk agama untuk berperilaku ramah lingkungan dan mencegah perubahan iklim. Umumnya, agama mengacu pada Lima R: Reference (rujukan dari kitab suci), Respect (saling menghormati), Restrain (mengontrol/membatasi), Redistribution (berbagi), Responsibility (bertanggung jawab).

Pakar tafsir Imam Abu Hayan dalam kitab tafsirnya Al-Bahr al-Muhith menegaskan, pelestarian alam atau lingkungan menjadi misi para nabi sepanjang sejarah. Saat menguraikan makna dari surat Huud ayat 61, ia memaparkan bagaimana Nabi Shalih as. diperintahkan kepada kaum Tsamud untuk konsisten di jalan tauhid, kemudian mengoptimalkan peran sebagai pemimpin di muka bumi dan seruan terakhir agar mereka mendayagunakan potensi alam di muka bumi secara proporsional.

Tugas ’imarah disandingkan dengan tauhid dan kekhalifahan membuktikan bahwa pelestarian alam tak lagi masuk ranah cabang agama (furu’iyyah), tetapi merupakan hajiyaat (kebutuhan), bahkan masuk dalam prioritas utama dharuriyyat (keharusan). Bahwa menjaga lingkungan berarti mempertahankan keberlangsungan hidup meliputi lima dharuriyyat ; agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.

Apabila bercermin pada sejarah kejayaan Islam pada masa Khalifah Harun al Rasyid dan al-Makmun tahun 750-1256 Masehi akan mengenang maktabah Bayt al-Hikmah (Rumah Kearifan, House of Wisdom). Saat itu, para ulama menggabungkan tiga pola dan sikap hidup sekaligus: (1) pendalaman memahami konsep ketuhanan melalui agama dengan membaca dan menggali isyarat alam raya; (2) untuk dikaji secara rasional dan pengembangan ilmu pengetahuan; (3) untuk diamalkan bagi kemaslahatan dan peradaban manusia. Kehadiran agama menyatu dalam pola fikir ilmiah untuk mencari makna hidup manusia di bumi yang nyata.

Dalam konteks memahami linhgkungan (fiqhul bi’ah) dan mencegah perubahan iklim, MUI merasa ikut bertanggung jawab. MUI memiliki perhatian yang cukup intens dalam upaya pelestarian lingkungan hidup dan perubahan iklim. MUI banyak mengeluarkan fatwa sebagai panduan berinteraksi dengan alam dan menjaga kelestarian lingkungan dan iklim, di antaranya dengan mengeluarkan fatwa tentang air daur ulang, penambangan ramah lingkungan, pelestarian satwa langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem, pengelolaan sampah, hukum pembakaran hutan dan lahan serta pengandaliannya, dan tentang pendayagunaan zakat, infak, dan wakaf untuk pembangunan sarana air bersih dan sanitasi.

Fatwa-fatwa ini adalah untuk memberi landasan dan pedoman syariah bagi masyarakat Indonesia dan dunia bahwa umat muslim adalah bagian dari komunitas dunia yang prihatin dengan lingkungan hidup dan perubahan iklim. Hal ini juga menunjukkan bahwa umat peduli pada Sustainable Development Goals ( SDGs ) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).

Dalam tataran praktis menghadapi perubahan iklim, MUI bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI) telah meluncurkan program nasional masjid ramah lingkungan atau ecoMasjid. Program nasional ecoMasjid ini mengajak umat untuk segera menyadari dan memulai kegiatan dalam menghadapi perubahan iklim yang ancamannya semakin terasa saat ini. Program ini dimulai dengan pengelolaan sumber daya air dan penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 280 juta jiwa, potensi masjid sekitar 800 ribu di Indonesia dan hutan tropis yang luas sepert hutan hutan mangrove, maka tentunya umat muslim Indonesia dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemeliharaan lingkungan dan mencegah perubahan iklim

Pertanyaannya, apa yang telah dan yang akan kita lakukan untuk menjaga planet bumi agar terus lestari dan terus dapat dinikmati generasi selanjutnya?
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1268 seconds (0.1#10.140)