Fenomena Melodrama Politik di Indonesia

Selasa, 07 November 2023 - 10:17 WIB
loading...
Fenomena Melodrama Politik di Indonesia
Foto: Istimewa
A A A
Anis Masykhur
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Peneliti pada Alhikmah Institut for Islamic Studies Jakarta

MASIH
ingatkah tentang melejitnya suara PDI Perjuangan di Pemilu pasca reformasi? Dan juga melejitnya suara SBY-JK di pemilu 2004 ? Pun melesatnya suara Jokowi-JK di tahun 2014? Secara umum kasus-kasus di atas selalu diawali dengan narasi "terzalimi" dalam relasi kuasa politik negeri ini.

baca juga: Jazz dan Pilpres

Sudah menjadi pandangan umum, narasi "zalim dan dizalimi" sengaja "didesain" (constructed) menjelang pemilu atau pilpres. Dalam pandangan para ahli politik, fenomena seperti itu dikenal dengan istilah melodrama politik.

Melodrama dalam politik biasa dipergunakan untuk membangkitkan emosi publik agar mendapatkan dukungan untuk sebuah kebijakan dan tindakan. Seseorang digambarkan sebagai pahlawan atau bahkan sebagai korban (istilah yang lebih dramatis) yang berjuang melawan kejahatan, dan di sisi lain menggambarkan lawan-lawan politik mereka sebagai penjahat yang berlaku zalim dan harus dilawan.

Salah satu tokoh yang memperkenalkan teori melodrama dalam politik adalah Kenneth Burke (1897-1993), seorang filsuf, kritikus, dan retoris Amerika. Burke mengembangkan teori melodrama dalam politik dalam bukunya "A Grammar of Motives" yang terbit di tahun 1945.

baca juga: Pilpres dan Para 'Raumdeuter'

Burke berpendapat bahwa melodrama adalah struktur naratif yang universal yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk wacana, termasuk politik. Secara umum, melodrama ini memiliki karakteristik yang bermacam-macam.

Pertama, melodrama menggambarkan konflik moral antara kebaikan dan kejahatan, layaknya sebuah film atau sinetron yang happy ending-nya adalah kemenangan kebenaran atas kejahatan. Kedua, plot cerita yang bergerak menuju klimaks dan berujung pada resolusi.

Ketiga, karakter yang didiskomposisi ke dalam kelompok kecil, mana yang baik atau jahat. Lalu diikuti dengan menjaga jarak dengan kelompok yang berbeda keyakinan tersebut. Kelima, penggunaan bahasa yang emosional, meletup-letup dan penuh perumpamaan. Narasi yang dibangun adalah visualisasi "terzalimi" dan tentunya dengan bangunan kesan dramatis.

Burke berpendapat bahwa melodrama menjadi alat yang efektif untuk memobilisasi publik, bahkan juga dapat digunakan untuk memanipulasi dan mengadu domba publik. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana melodrama digunakan dalam politik dan untuk kritis terhadap narasi melodrama yang disajikan oleh politisi.

baca juga: Independensi ASN dalam Pilpres

Berhati-hati dalam pengambilan keputusan politik serta jeli dengan kondisi yang melingkupinya adalah sikap yang menunjukkan kedewasaan seorang politisi. Sebaliknya, kecerobohan dalam tindakan politik, akan menjadi ajang "bunuh diri" yang menghancurkan kinerja dengan setumpuk prestasinya. Sikap ini menjadi antitesis dari perilaku melo yang dilontarkan.

Dalam politik, penggunaan retorika melodrama untuk menggambarkan perang melawan kejahatan seperti terorisme atau radikalisme. Politisi juga sering menggunakan retorika melodrama untuk menggambarkan konflik politik internal. Lawan-lawan politik digambarkan sebagai penjahat yang akan mengancam kebebasan dan demokrasi.

Melodrama dalam kampanye politik diekspresikan bahwa kandidatnya digambarkan sebagai tokoh bak pahlawan yang berjuang untuk kepentingan rakyat. Di sisi lain, lawan-lawan politiknya digambarkan sebagai penjahat yang korup atau tidak kompeten. Tentunya teori ini dapat dipergunakan untuk membaca perkembangan politik Indonesia mutakhir, siapa yang berupaya menggiring opini "terzalimi" dan opini yang "menzalimi".

Manfaatkan Pendidikan Rasa

Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan rasa dan budaya ketimuran yang dikenal memiliki kepekaan tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di tambah lagi dengan peran dan kekuatan ajaran agama yang juga menekankan pentingnya kepekaan sosial. Sebuah komunitas yang memiliki sensitif tinggi, dalam kamus psikologi disebut "highly sensitive person" biasa disingkat HSP.

baca juga: Peran Kampus Lahirkan Pilpres Berkualitas

HSP adalah orang-orang yang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap stimulus internal dan eksternal, termasuk emosi dan lingkungan. Salah satu tokoh teori ini adalah Elaine Aron, seorang psikolog klinis asal Amerika Serikat. Ia pertama kali memperkenalkan teori HSP dalam bukunya yang berjudul "The Highly Sensitive Person" yang diterbitkan pada tahun 1996.

HSP adalah sifat kepribadian yang diwariskan. Orang dengan HSP memiliki otak yang lebih sensitif terhadap sinyal sensorik dan emosional. Hal ini menyebabkan mereka lebih mudah merasakan emosi dan lingkungan mereka. Ternyata dalam pendidikan, yang menjadi konsen pengembangan pendidikan di awal-awal anak mengenal dunia luar rumahnya yang diprioritaskan adalah perkembangan sensorik dan motorik.

Terlebih lagi dengan implementasi kurikulum merdeka yang memperkuat rasa, cipta dan karsa. Implementasi kurikulum pendidikan yang diperkuat belakangan ini yang berbasis pada olah rasa, cipta dan karsa. Kurikulum Merdeka menekankan pada pentingnya pengembangan karakter murid yang seutuhnya, termasuk pengembangan olah rasa.

Olah rasa adalah kemampuan untuk memahami, merasakan, dan mengekspresikan emosi. Olah rasa bagi peserta didik untuk mengembangkan rasa empati pada orang lain. Nilai-nilai baik ini diperkuat sebagai modal menghadapi kehidupan. Namun di sisi lain, model pendidikan inilah yang men-support sifat melodramatik yang selanjutnya kerap "dimanfaatkan" politisi. Wallahu a'lam bis shawab.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1206 seconds (0.1#10.140)