Fenomena Melodrama Politik di Indonesia

Selasa, 07 November 2023 - 10:17 WIB
loading...
A A A
Burke berpendapat bahwa melodrama menjadi alat yang efektif untuk memobilisasi publik, bahkan juga dapat digunakan untuk memanipulasi dan mengadu domba publik. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana melodrama digunakan dalam politik dan untuk kritis terhadap narasi melodrama yang disajikan oleh politisi.

baca juga: Independensi ASN dalam Pilpres

Berhati-hati dalam pengambilan keputusan politik serta jeli dengan kondisi yang melingkupinya adalah sikap yang menunjukkan kedewasaan seorang politisi. Sebaliknya, kecerobohan dalam tindakan politik, akan menjadi ajang "bunuh diri" yang menghancurkan kinerja dengan setumpuk prestasinya. Sikap ini menjadi antitesis dari perilaku melo yang dilontarkan.

Dalam politik, penggunaan retorika melodrama untuk menggambarkan perang melawan kejahatan seperti terorisme atau radikalisme. Politisi juga sering menggunakan retorika melodrama untuk menggambarkan konflik politik internal. Lawan-lawan politik digambarkan sebagai penjahat yang akan mengancam kebebasan dan demokrasi.

Melodrama dalam kampanye politik diekspresikan bahwa kandidatnya digambarkan sebagai tokoh bak pahlawan yang berjuang untuk kepentingan rakyat. Di sisi lain, lawan-lawan politiknya digambarkan sebagai penjahat yang korup atau tidak kompeten. Tentunya teori ini dapat dipergunakan untuk membaca perkembangan politik Indonesia mutakhir, siapa yang berupaya menggiring opini "terzalimi" dan opini yang "menzalimi".

Manfaatkan Pendidikan Rasa

Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan rasa dan budaya ketimuran yang dikenal memiliki kepekaan tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di tambah lagi dengan peran dan kekuatan ajaran agama yang juga menekankan pentingnya kepekaan sosial. Sebuah komunitas yang memiliki sensitif tinggi, dalam kamus psikologi disebut "highly sensitive person" biasa disingkat HSP.

baca juga: Peran Kampus Lahirkan Pilpres Berkualitas

HSP adalah orang-orang yang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap stimulus internal dan eksternal, termasuk emosi dan lingkungan. Salah satu tokoh teori ini adalah Elaine Aron, seorang psikolog klinis asal Amerika Serikat. Ia pertama kali memperkenalkan teori HSP dalam bukunya yang berjudul "The Highly Sensitive Person" yang diterbitkan pada tahun 1996.

HSP adalah sifat kepribadian yang diwariskan. Orang dengan HSP memiliki otak yang lebih sensitif terhadap sinyal sensorik dan emosional. Hal ini menyebabkan mereka lebih mudah merasakan emosi dan lingkungan mereka. Ternyata dalam pendidikan, yang menjadi konsen pengembangan pendidikan di awal-awal anak mengenal dunia luar rumahnya yang diprioritaskan adalah perkembangan sensorik dan motorik.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 3.7349 seconds (0.1#10.140)