APTI Dukung Capres yang Peduli Nasib Petani Tembakau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyatakan akan mendukung partai maupun pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang pro terhadap petani tembakau . Salah satunya berani mencabut pasal zat adiktif dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Undang-Undang Kesehatan.
Ketua Umum APTI Agus Parmuji mengatakan, hal tersebut merupakan keputusan Rapimnas APTI pada 27-28 Juni 2022. Sebab, tanpa keberpihakan, nasib petani tembakau di Indonesia yang berjumlah 6 juta jiwa tersebar di 15 provinsi, akan semakin terpuruk.
"Hanya pemimpin yang mengerti permasalahan tembakau yang dapat melindungi dan memperjuangkan petani dalam regulasi dan kebijakannya," kata Agus dalam keterangan tertulis, Senin (6/11/2023).
Agus menganggap dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak berpihak kepada petani tembakau. Bukti paling kasat mata adalah adanya kenaikan cukai rokok setiap tahun. Kebijakan itu berimbas pada melemahnya pembelian tembakau lokal.
Selain itu, yang menjadi catatan dari APTI adalah Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2020-2024. Isinya, tak satu pun pasal bernada melindungi keanekaragaman budidaya tembakau di tingkat petani.
Hal senada disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, di era Jokowi tidak ada aturan yang cenderung berpihak kepada petani tembakau.
"Ya, karena pemerintahan sekarang, dinilai tidak berpihak kepada petani tembakau yang jumlahnya 24 juta jiwa (apabila dihitung bersama dengan keluarga inti). Padahal, bicara tembakau itu tidak hanya soal rokok. Kan bisa dikembangkan untuk produk lain, atau diekspor ke luar negeri, seperti Afrika atau negara lain," ujar Trubus.
Suka atau tidak, lanjut dia, tembakau merupakan komoditas yang strategis. Tanaman ini menghasilkan industri yang banyak memberikan pendapatan kepada negara serta menyerap tenaga kerja yang cukup besar.
"Ini ada petani tembakau yang jumlahnya besar, seharusnya dibina dong. Ingat, mereka tidak minta kerja kepada negara lho. Tapi kerja mandiri yang memberikan dampak kepada lapangan kerja baru," kata Trubus.
Ia menyoriti Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan terkait Pengamanan Zat Adiktif, yang sedang dibahas. Ia melihat banyak pasal yang arahnya 'membinasakan' petani tembakau.
Dalam draf RPP UU Kesehatan, terutama pada bagian pengaturan produk tembakau, isinya banyak larangan. Intinya, beleid ini seolah ingin mematikan industri hasil tembakau (IHT). Sebut saja pasal mengenai pelarangan iklan dan promosi produk tembakau. Atau, pasal yang mengharuskan setiap bungkus rokok berisi minimal 20 batang.
"Kalau iklan dianggap tidak mendidik masyarakat untuk hidup sehat, tinggal dibuat aturan main saja yang berimbang. Bukan dengan melarang iklan atau promosi," papar Trubus.
Sedangkan syarat setiap bungkus rokok berisi minimal 20 batang, tentunya berdampak kepada naiknya biaya operasional. Kalau itu terjadi, maka buruh IHT serta petani tembakau bakalan kena dampaknya juga. Karena itu, sejak awal, petani tembakau serta para serikat dan organisasi pekerja IHT terus melakukan protes dan penolakan.
Adapun Guru Besar Universitas Airlangga (Unair), Prof Hotman Siahaan menyebut kebijakan mengerek naik cukai rokok 11,6% pada 2023 jelas merugikan IHT dan petani tembakau. Padahal, sektor industri ini adalah padat karya, khususnya Sigaret Kretek Tangan (SKT). Bisa dibayangkan jika sektor IHT di daerah sentra tembakau nyungsep, perekonomian daerah itu pastinya ikut jeblok.
"Padahal, jika perekonomian daerah penghasil tembakau itu bagus, akan menopang perekonomian provinsi dan nasional," kata Prof Hotman.
Prof Hotman mengatakan, pemerintah pusat seharusnya menyadari efek dominonya dari melajunya perekonomian daerah. Sehingga, jangan gegabah dengan mengerek naik cukai hasil tembakau (CHT). "Dengan kenaikan CHT per tahun, maka industri rokok akan melakukan efisiensi besar-besaran," tuturnya.
Terlebih, menurutnya, banyak di antara pekerja SKT merupakan ibu rumah tangga, yang selama ini turut menopang perekonomian keluarga. "Kalau mereka menganggur, berarti daya beli keluarga menjadi rendah," ujarnya.
Ketika konsumsi rumah tangga menjadi lemah, maka pada akhirnya roda perekonomian di daerah tersebut menjadi lesu. Situasi ini yang kemudian juga akan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional dan pemulihan ekonomi pascapandemi.
Belum lama ini, sebuah pabrik SKT di Blitar, Jawa Timur, terpaksa tutup. Sebanyak 890 pekerja pabrik tersebut terpaksa di-PHK. Tak hanya pekerja, nasib petani tembakau juga tak kalah miris. Kenaikan cukai bisa membuat harga tembakau turun dan mengakibatkan petani merugi.
"Ujung-ujungnya, produktivitas pertanian tembakau turun, padahal ini bahan baku yang sangat diperlukan. Apakah kita ingin seperti itu? Kan tidak. Semuanya tergantung pemerintah," kata Hotman.
Ketua Umum APTI Agus Parmuji mengatakan, hal tersebut merupakan keputusan Rapimnas APTI pada 27-28 Juni 2022. Sebab, tanpa keberpihakan, nasib petani tembakau di Indonesia yang berjumlah 6 juta jiwa tersebar di 15 provinsi, akan semakin terpuruk.
"Hanya pemimpin yang mengerti permasalahan tembakau yang dapat melindungi dan memperjuangkan petani dalam regulasi dan kebijakannya," kata Agus dalam keterangan tertulis, Senin (6/11/2023).
Agus menganggap dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak berpihak kepada petani tembakau. Bukti paling kasat mata adalah adanya kenaikan cukai rokok setiap tahun. Kebijakan itu berimbas pada melemahnya pembelian tembakau lokal.
Selain itu, yang menjadi catatan dari APTI adalah Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2020-2024. Isinya, tak satu pun pasal bernada melindungi keanekaragaman budidaya tembakau di tingkat petani.
Hal senada disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, di era Jokowi tidak ada aturan yang cenderung berpihak kepada petani tembakau.
"Ya, karena pemerintahan sekarang, dinilai tidak berpihak kepada petani tembakau yang jumlahnya 24 juta jiwa (apabila dihitung bersama dengan keluarga inti). Padahal, bicara tembakau itu tidak hanya soal rokok. Kan bisa dikembangkan untuk produk lain, atau diekspor ke luar negeri, seperti Afrika atau negara lain," ujar Trubus.
Suka atau tidak, lanjut dia, tembakau merupakan komoditas yang strategis. Tanaman ini menghasilkan industri yang banyak memberikan pendapatan kepada negara serta menyerap tenaga kerja yang cukup besar.
"Ini ada petani tembakau yang jumlahnya besar, seharusnya dibina dong. Ingat, mereka tidak minta kerja kepada negara lho. Tapi kerja mandiri yang memberikan dampak kepada lapangan kerja baru," kata Trubus.
Ia menyoriti Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan terkait Pengamanan Zat Adiktif, yang sedang dibahas. Ia melihat banyak pasal yang arahnya 'membinasakan' petani tembakau.
Dalam draf RPP UU Kesehatan, terutama pada bagian pengaturan produk tembakau, isinya banyak larangan. Intinya, beleid ini seolah ingin mematikan industri hasil tembakau (IHT). Sebut saja pasal mengenai pelarangan iklan dan promosi produk tembakau. Atau, pasal yang mengharuskan setiap bungkus rokok berisi minimal 20 batang.
"Kalau iklan dianggap tidak mendidik masyarakat untuk hidup sehat, tinggal dibuat aturan main saja yang berimbang. Bukan dengan melarang iklan atau promosi," papar Trubus.
Sedangkan syarat setiap bungkus rokok berisi minimal 20 batang, tentunya berdampak kepada naiknya biaya operasional. Kalau itu terjadi, maka buruh IHT serta petani tembakau bakalan kena dampaknya juga. Karena itu, sejak awal, petani tembakau serta para serikat dan organisasi pekerja IHT terus melakukan protes dan penolakan.
Adapun Guru Besar Universitas Airlangga (Unair), Prof Hotman Siahaan menyebut kebijakan mengerek naik cukai rokok 11,6% pada 2023 jelas merugikan IHT dan petani tembakau. Padahal, sektor industri ini adalah padat karya, khususnya Sigaret Kretek Tangan (SKT). Bisa dibayangkan jika sektor IHT di daerah sentra tembakau nyungsep, perekonomian daerah itu pastinya ikut jeblok.
"Padahal, jika perekonomian daerah penghasil tembakau itu bagus, akan menopang perekonomian provinsi dan nasional," kata Prof Hotman.
Prof Hotman mengatakan, pemerintah pusat seharusnya menyadari efek dominonya dari melajunya perekonomian daerah. Sehingga, jangan gegabah dengan mengerek naik cukai hasil tembakau (CHT). "Dengan kenaikan CHT per tahun, maka industri rokok akan melakukan efisiensi besar-besaran," tuturnya.
Terlebih, menurutnya, banyak di antara pekerja SKT merupakan ibu rumah tangga, yang selama ini turut menopang perekonomian keluarga. "Kalau mereka menganggur, berarti daya beli keluarga menjadi rendah," ujarnya.
Ketika konsumsi rumah tangga menjadi lemah, maka pada akhirnya roda perekonomian di daerah tersebut menjadi lesu. Situasi ini yang kemudian juga akan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional dan pemulihan ekonomi pascapandemi.
Belum lama ini, sebuah pabrik SKT di Blitar, Jawa Timur, terpaksa tutup. Sebanyak 890 pekerja pabrik tersebut terpaksa di-PHK. Tak hanya pekerja, nasib petani tembakau juga tak kalah miris. Kenaikan cukai bisa membuat harga tembakau turun dan mengakibatkan petani merugi.
"Ujung-ujungnya, produktivitas pertanian tembakau turun, padahal ini bahan baku yang sangat diperlukan. Apakah kita ingin seperti itu? Kan tidak. Semuanya tergantung pemerintah," kata Hotman.
(abd)