Banyak Pasal RPP Kesehatan Dinilai Perlu Ditinjau Ulang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan menimbulkan berbagai reaksi dari beberapa pakar keilmuan. Banyak pasal yang dinilai perlu ditinjau ulang.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memberikan beberapa catatan terhadap pengamanan zat adiktif pada RPP Kesehatan.
"Banyak pasal yang harus ditinjau ulang dan dibicarakan, tidak hanya dengan stakeholders kesehatan, tetapi juga stakeholders di perindustrian, penerimaan negara, perdagangan, pengawasan. Saya kira itu masih perlu pendalaman dan kajian lintas sektor," kata Tauhid dalam keterangan persnya, Kamis (2/11/2023).
Demi memberikan dampak positif yang berimbang dan tepat sasaran, pengaturan zat adiktif pada RPP Kesehatan harus dibahas secara komprehensif dari segi industri, petani, tenaga kerja, dan perdagangan.
Hal ini untuk mengurangi dampak buruk yang sangat mungkin muncul di lapangan, seperti maraknya produk tembakau ilegal.
"RPP Kesehatan ini cenderung untuk melarang industri tembakau, bukan memberikan ruang agar industri tembakau dapat menyesuaikan dengan aspek kesehatan. Kalau memang keduanya ingin jalan, saya kira harus ada ruang yang sama-sama disepakati," kata Tauhid.
Walaupun demikian, menurutnya, RPP Kesehatan berangkat dengan tujuan baik agar produk-produk yang ada dalam pasal tersebut dapat dikendalikan. Namun, ia menilai masih terdapat poin-poin yang perlu kajian mendalam sebelum aturan tersebut berlaku.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Ifrani, memberikan catatan khusus terkait RPP Kesehatan yang saat ini dirancang dengan metode omnibus. Ia berpendapat, agar implementasi PP lebih efektif sebaiknya dibuat terpisah mengikuti kompleksitas masing-masing aspek.
"Peraturan pelaksana dalam bentuk omnibus dapat menimbulkan permasalahan baru dalam implementasinya, mengingat fungsi dari peraturan pelaksana adalah untuk menjadi pedoman teknis yang memudahkan pengguna untuk menjalankan ketentuan perundang-undangan," kata Ifrani.
Ifrani menggaris bawahi aspek kehati-hatian dalam menggunakan metode omnibus. Dalam beberapa kasus, penggunaan omnibus dapat memberikan manfaat. Namun, manfaat dan optimalisasi omnibus tidak berlaku sama pada lapisan produk hukum di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memberikan beberapa catatan terhadap pengamanan zat adiktif pada RPP Kesehatan.
"Banyak pasal yang harus ditinjau ulang dan dibicarakan, tidak hanya dengan stakeholders kesehatan, tetapi juga stakeholders di perindustrian, penerimaan negara, perdagangan, pengawasan. Saya kira itu masih perlu pendalaman dan kajian lintas sektor," kata Tauhid dalam keterangan persnya, Kamis (2/11/2023).
Demi memberikan dampak positif yang berimbang dan tepat sasaran, pengaturan zat adiktif pada RPP Kesehatan harus dibahas secara komprehensif dari segi industri, petani, tenaga kerja, dan perdagangan.
Hal ini untuk mengurangi dampak buruk yang sangat mungkin muncul di lapangan, seperti maraknya produk tembakau ilegal.
"RPP Kesehatan ini cenderung untuk melarang industri tembakau, bukan memberikan ruang agar industri tembakau dapat menyesuaikan dengan aspek kesehatan. Kalau memang keduanya ingin jalan, saya kira harus ada ruang yang sama-sama disepakati," kata Tauhid.
Walaupun demikian, menurutnya, RPP Kesehatan berangkat dengan tujuan baik agar produk-produk yang ada dalam pasal tersebut dapat dikendalikan. Namun, ia menilai masih terdapat poin-poin yang perlu kajian mendalam sebelum aturan tersebut berlaku.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Ifrani, memberikan catatan khusus terkait RPP Kesehatan yang saat ini dirancang dengan metode omnibus. Ia berpendapat, agar implementasi PP lebih efektif sebaiknya dibuat terpisah mengikuti kompleksitas masing-masing aspek.
"Peraturan pelaksana dalam bentuk omnibus dapat menimbulkan permasalahan baru dalam implementasinya, mengingat fungsi dari peraturan pelaksana adalah untuk menjadi pedoman teknis yang memudahkan pengguna untuk menjalankan ketentuan perundang-undangan," kata Ifrani.
Ifrani menggaris bawahi aspek kehati-hatian dalam menggunakan metode omnibus. Dalam beberapa kasus, penggunaan omnibus dapat memberikan manfaat. Namun, manfaat dan optimalisasi omnibus tidak berlaku sama pada lapisan produk hukum di Indonesia.
(thm)