Rohingya dan ASEAN

Rabu, 20 September 2017 - 08:05 WIB
Rohingya dan ASEAN
Rohingya dan ASEAN
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder; Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu

POSISI etnis Rohingya di dunia semakin terjepit di mana-mana. Mereka yang meninggalkan Rakhine State menuju berbagai negara untuk mendapatkan suaka mulai mendapatkan penolakan di mana-mana. Bangladesh sudah mengangkat bendera putih atau menyerah bila harus diminta menampung lebih banyak lagi etnis Rohingya yang sudah mulai mencapai batas kapasitas 400.000 orang.

India telah meminta Mahkamah Agung untuk mengeluarkan 40.000 etnis Rohingya dari wilayah India dengan alasan terkait kekhawatiran terorisme. Negara kuat seperti Australia menawarkan uang sekitar Rp264 juta rupiah bagi setiap keluarga yang setuju untuk kembali ke Myanmar. Malaysia secara umum menerima etnis Rohingya yang melarikan diri, tetapi salah satu negara bagian, Serawak, menolak sepenuhnya mereka untuk masuk.

PBB sendiri sudah mengeluarkan pernyataan tentang terjadinya pembersihan etnis di Myanmar. Pernyataan ini sangat serius, apalagi menjelang Sidang Umum PBB karena bila ini terus dilanjutkan dapat menghasilkan sebuah draf resolusi untuk menekan Myanmar walaupun kemungkinan ditolak oleh China dan Rusia.

Sejauh mana kelengkapan fungsi PBB dapat mendorong perubahan di lapangan, juga masih menjadi tanda tanya besar. Namun di sisi lain, tekanan PBB juga menjadi simbol diplomatis ketidakpercayaan terhadap ASEAN dalam menyelesaikan masalah ini.

Terlalu sulit untuk menyelesaikan kasus etnis Rohingya tanpa menyinggung reformasi sistem politik dan ekonomi di Myanmar. Kasus Rohingya sendiri adalah sebuah batu ujian bagi Indonesia dan hubungannya dengan ASEAN serta momentum untuk merefleksikan kembali sebagai negara anggota ASEAN, sejauh mana kita dapat menerima prinsip non-interference dalam menyikapi kasus Rohingya.

Kasus ini menjadi serius bagi Indonesia karena telah meluas memengaruhi dinamika politik kawasan di Asia Tenggara. Tragedi kemanusiaan Rohingya yang berlangsung lebih dari 70 tahun telah berkembang menjadi semakin mendalam dan meluas.

Akar masalah yang awalnya adalah pelanggaran HAM oleh pemerintah Myanmar terkait dengan identitas bangsa Rohingya, telah berkembang menjadi perdagangan orang, kerja paksa, buruh anak, dan bahkan menjadi isu terorisme. Di tataran praktik, kenyataannya terdapat pro dan kontra terkait prinsip non-interference ini dalam kasus Rohingya.

Ada dua faktor utama yang menyebabkan pro dan kontra ini. Pertama adalah definisi apakah dampak kasus Rohingya sudah memengaruhi negara lain atau tidak. Negara-negara ASEAN mengadopsi prinsip non-interference yang tertulis di dalam Treaty of Amity and Corporation (TAC) 1971 ketika pendirian ASEAN.

Perdebatan dari prinsip non-interference saat ini juga terkait dengan prinsip Responsible to Protect (R2P) di bawah United Nations Prevention of Genocide. Prinsip tersebut menyatakan bahwa kedaulatan sebuah bangsa tidak menjaminnya dari intervensi internasional jika negara-negara tidak melindungi kesejahteraan warganya.

Malaysia adalah negara yang terbuka menyatakan bahwa kasus Rohingya sudah masuk berdampak kepada kawasan. Hal ini disebabkan lebih dari 14.000 etnis Rohingya yang saat ini ditampung di Malaysia.

Malaysia tampaknya menggunakan R2P untuk dapat masuk dalam terlibat dalam kasus Rohingya. Kementerian Luar Negeri Malaysia telah menyatakan pada Desember 2016 bahwa kasus Rohingya sudah masuk dalam krisis humanitarian.

Perdana Menteri Najib Razak pada Desember 2016 pernah memimpin aksi unjuk rasa besar-besaran di Stadion Olahraga Kuala Lumpur untuk menyatakan Myanmar telah melakukan genosida secara terbuka.

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mewakili negara anggota ASEAN yang tetap mendukung prinsip non-interference dalam kasus Rohingya. PM Lee mengatakan kepada media massa bahwa ASEAN bukan satu negara, dan ASEAN tidak dapat meminta negara lain untuk bertindak atau melakukan sesuatu.

Malaysia justru bersikap sebaliknya. Thailand yang berbatasan langsung dengan Myanmar memilih untuk berpihak kepada Myanmar dengan menyetujui bahwa mereka akan menyebut para pengungsi itu adalah etnis Bengalis, bukan Rohingya.

Sikap serupa juga ditunjukkan Kamboja, di mana PM Hun Sen menolak internasionalisasi kasus Rohingya dan menyebutnya sebagai masalah internal. Demikian pula dengan Laos dan Vietnam.

Pro dan kontra terhadap prinsip non-interference tersebut tampaknya menunjukkan perbedaan dalam kasus Rohingya, namun sesungguhnya setiap negara melindungi kepentingan strategis jangka panjang mereka sendiri di dalam negeri ataupun luar negeri. Beberapa pengamat mengatakan bahwa sikap keras Malaysia terutama PM Najib tidak lepas dari menurunnya popularitas dirinya akibat skandal kasus korupsi 1MDB, dan aksi unjuk rasa tersebut dianggap sebagai politisasi kasus Rohingya untuk meningkatkan elektabilitasnya.

Namun dari sisi investasi, Malaysia dan Singapura tetap menjadi 10 besar investor terbesar di Myanmar. Singapura bahkan menjadi salah satu investor terbesar pada 2016 dengan jumlah USD10 miliar mengungguli China yang hanya USD5 miliar.

Pemerintahan Thailand sendiri masih dikuasai oleh junta militer yang melakukan kudeta atas pemilu. Masyarakat di sana masih takut untuk menyuarakan kritik mereka, terutama kepada kerajaan, karena sanksi hukuman yang sangat berat.

Di Kamboja, PM Hun Sen telah menyatakan diri akan mengikuti pemilu lagi pada 2018 setelah figur oposisinya, Kem Sokha, divonis bersalah oleh pengadilan karena dianggap memicu kerusuhan. Laos dan Vietnam sendiri adalah negara sosialis dengan kebijakan satu partai yang memang tidak mengenal oposisi.

Dengan kata lain, saya ingin mengatakan bahwa krisis Rohingya sebetulnya juga menjadi batu ujian bagi ASEAN untuk merefleksikan kembali posisi mereka di kawasan. Selain Indonesia dan Filipina, negara-negara ASEAN lain masih mewarisi dan memperkuat sistem politik tertutup dan cenderung otoritarian seperti ketika ASEAN didirikan. Wajar apabila sebagian besar para negara anggota ASEAN tetap mendukung definisi kedaulatan tahun 1960-an dan menggunakannya prinsip non-interference untuk kepentingan strategis mereka di kawasan.

Hal ini berbeda dengan sistem politik Indonesia yang terus berevolusi menuju sistem politik yang lebih terbuka, di mana mulai mengurangi penggunaan cara-cara kekerasan dan menggantikannya dengan penyelesaian yang lebih demokratis ketika menghadapi masalah di dalam negeri, meski belum sempurna.

Kita tetap berpegang teguh bahwa urusan dalam negeri tidak dapat dicampuri, tetapi apabila masalah di dalam negeri telah keluar dan mengganggu kawasan maka prinsip non-interference itu harus sudah ditinggalkan. Hal itu tidak berarti ASEAN hanya bisa menekan Myanmar, tetapi juga harus menanggung biaya hidup para pengungsi sehari-hari.

Dana ini sangat besar karena apabila menggunakan Standar Kebutuhan Hidup Minimum BPS, satu orang minimal mendapatkan USD300 per bulan. Negara ASEAN yang paling kuat atau memiliki pendapatan per kapita tertinggi seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia, dan Filipina harus menanggung biaya secara proporsional dibandingkan negara kecil lain seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4811 seconds (0.1#10.140)