Santri dan Adab Berpolitik
loading...
A
A
A
Di era Orde Baru, kepentingan politik NU secara kelembagaan partai politik terwakili melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Memasuki era Orde Reformasi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hadir mewakili kepentingan NU. Di luar pro dan kontra yang dihadapinya, PKB tercatat sebagai partai politik peserta Pemilu yang didukung kaum Nahdliyin sebagai basis kekuatan konstituen politik utamanya.
Santri dan Politik Akhlak
Partisipasi politik kaum santri bak sebuah oase di tengah panasnya hamparan gurun. Dalam arti, kehadiran santri termasuk partai politik yang berbasis dukungan santri sangat diharapkan dapat menjadi penyegar atas rasa dahaga akan kehidupan politik yang berakhlak dan bermartabat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa konstelasi politik Indonesia kerap dijumpai tindakan-tindakan tak terpuji, seperti praktik politik uang (money politics). Meskipun praktik politik uang lebih menyasar kepada masyarakat akar rumput untuk membeli suara mereka, secara etika praktik demikian tidak dapat dibenarkan baik secara hukum agama maupun hukum negara. Praktik politik uang berkontribusi terhadap terciptanya kondisi politik biaya tinggi (high cost politics).
Situasi ini tidak hanya memberatkan para kontestan politik namun juga menjadi ancaman bagi terwujudnya ketatapemerintahan yang bersih (good governance) hasil Pemilu. Situasi demikian tidak terlepas dari sifat kontestasi politik itu sendiri yang secara sadar dilakukan dengan tujuan untuk “merebut dan mempertahankan kekuasaan”.
Diksi “merebut dan mempertahankan kekuasaan” di sini dapat dimaknai sebagai suatu keadaan (state of affairs) yang berpotensi menyandera perilaku politik dalam sebuah jebakan kepentingan sesaat yang dalam implementasinya kerap mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tanpa didasari sikap berpolitik yang akhlakul karimah, maka karakteristik Machiavellianism dalam berpolitik akan semakin hadir berkuasa dengan menggunakan segala cara untuk meraihnya (a drive to use whatever necessary to gain power).
Berbeda dengan Machiavellianism yang mengusung semangat the end justifies the means, politik santri justru mengusung nilai-nilai kesantunan, keikhlasan dan kejujuran. Norma politik santri ini tentunya sangat diperlukan dalam membantu mewujudkan proses politik yang santun, jujur dan adil. Budaya debat berbasis fakta dan data menjadi bagian inherent dari budaya santri termasuk dalam ranah kehidupan sosio-politik.
Kehidupan santri sangat lekat dengan budaya Bathsul Masail, sebuah forum silaturahim untuk pembahasan dan pemecahan masalah-masalah Maudlu’iyah (tematik) dan Waqi’iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum. Budaya literasi kaum santri ini senafas dengan budaya yang ada di dunia politik praktis yang memiliki tradisi literasi sejenis.
Karekteristik politik santri yang santun, ikhlas dan jujur seyogianya menjiwai perilaku pemimpin dan politisi nasional khususnya mereka yang mengklaim sebagai insan agamis. Semangat sepi ing pamrih, rame ing gawe sebagaimana yang diteladankan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam kiprah perjuangan beliau merupakan solusi efektif untuk membawa situasi politik nasional keluar dari jeratan politik transaksional yang sangat berbiaya tinggi dan berpotensi menyengsarakan rakyat baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Situasi high cost politics akan menjadikan situasi kepolitikan nasional semakin tidak sehat dan rapuh di tengah situasi persaingan global yang makin sengit dan ketat.
Santri dan Harapan Publik
Tantangan politik serius yang saat ini dihadapai bangsa ini adalah krisis akhlak akut. Situasi politik tidak sehat ini yang mewarnai kehidupan politik nasional terindikasikan melalui perilaku hypocrisy (hipokrit) dan short memory syndrome yang kerap menghinggapi politisi akan janji-janji politiknya, serta aksi politisasi identitas khususnya yang berkedok agama untuk tujuan kepentingan sesaat.
Santri dan Politik Akhlak
Partisipasi politik kaum santri bak sebuah oase di tengah panasnya hamparan gurun. Dalam arti, kehadiran santri termasuk partai politik yang berbasis dukungan santri sangat diharapkan dapat menjadi penyegar atas rasa dahaga akan kehidupan politik yang berakhlak dan bermartabat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa konstelasi politik Indonesia kerap dijumpai tindakan-tindakan tak terpuji, seperti praktik politik uang (money politics). Meskipun praktik politik uang lebih menyasar kepada masyarakat akar rumput untuk membeli suara mereka, secara etika praktik demikian tidak dapat dibenarkan baik secara hukum agama maupun hukum negara. Praktik politik uang berkontribusi terhadap terciptanya kondisi politik biaya tinggi (high cost politics).
Situasi ini tidak hanya memberatkan para kontestan politik namun juga menjadi ancaman bagi terwujudnya ketatapemerintahan yang bersih (good governance) hasil Pemilu. Situasi demikian tidak terlepas dari sifat kontestasi politik itu sendiri yang secara sadar dilakukan dengan tujuan untuk “merebut dan mempertahankan kekuasaan”.
Diksi “merebut dan mempertahankan kekuasaan” di sini dapat dimaknai sebagai suatu keadaan (state of affairs) yang berpotensi menyandera perilaku politik dalam sebuah jebakan kepentingan sesaat yang dalam implementasinya kerap mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tanpa didasari sikap berpolitik yang akhlakul karimah, maka karakteristik Machiavellianism dalam berpolitik akan semakin hadir berkuasa dengan menggunakan segala cara untuk meraihnya (a drive to use whatever necessary to gain power).
Berbeda dengan Machiavellianism yang mengusung semangat the end justifies the means, politik santri justru mengusung nilai-nilai kesantunan, keikhlasan dan kejujuran. Norma politik santri ini tentunya sangat diperlukan dalam membantu mewujudkan proses politik yang santun, jujur dan adil. Budaya debat berbasis fakta dan data menjadi bagian inherent dari budaya santri termasuk dalam ranah kehidupan sosio-politik.
Kehidupan santri sangat lekat dengan budaya Bathsul Masail, sebuah forum silaturahim untuk pembahasan dan pemecahan masalah-masalah Maudlu’iyah (tematik) dan Waqi’iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum. Budaya literasi kaum santri ini senafas dengan budaya yang ada di dunia politik praktis yang memiliki tradisi literasi sejenis.
Karekteristik politik santri yang santun, ikhlas dan jujur seyogianya menjiwai perilaku pemimpin dan politisi nasional khususnya mereka yang mengklaim sebagai insan agamis. Semangat sepi ing pamrih, rame ing gawe sebagaimana yang diteladankan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam kiprah perjuangan beliau merupakan solusi efektif untuk membawa situasi politik nasional keluar dari jeratan politik transaksional yang sangat berbiaya tinggi dan berpotensi menyengsarakan rakyat baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Situasi high cost politics akan menjadikan situasi kepolitikan nasional semakin tidak sehat dan rapuh di tengah situasi persaingan global yang makin sengit dan ketat.
Santri dan Harapan Publik
Tantangan politik serius yang saat ini dihadapai bangsa ini adalah krisis akhlak akut. Situasi politik tidak sehat ini yang mewarnai kehidupan politik nasional terindikasikan melalui perilaku hypocrisy (hipokrit) dan short memory syndrome yang kerap menghinggapi politisi akan janji-janji politiknya, serta aksi politisasi identitas khususnya yang berkedok agama untuk tujuan kepentingan sesaat.