Partisipasi Publik dalam Pemberantasan Korupsi

Senin, 16 Oktober 2023 - 14:15 WIB
loading...
A A A
Merujuk ketentuan partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi tersebut menunjukkan bahwa celah hukum yang luas telah disediakan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (bukan hanya dalam bentuk unjuk rasa) dalam pemberantasan korupsi.

Di dalam Konvensi PBB Antikorupsi tahun 2003 yang telah diratifikasi UU RI Nomor 7 Tahun 2006, partisipasi publik telah dicantumkan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 13 Participation of Society.

Di dalam Bab I Pasal 13 tersebut dicantumkan ketentuan bahwa setiap negara peratifikasi berkewajiban mempromosikan partisipasi masyarakat seperti LSM dan organisasi masyarakat untuk memerangi korupsi dan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan menghadapi perkembangan korupsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum domestic masing-masing.

Namun, kebebasan berpartisipasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan harus menghargai hak-hak dan reputasi orang lain dan sejauh mungkin dapat melindungi keamanan nasional masing-masing negara atau kesusilaan masyarakat. Merujuk ketentuan Konvensi PBB tentang Antikorupsi tersebut jelas bahwa partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi merupakan hak masyarakat di satu sisi dan juga kewajiban negara memberikan ruang akses masyarakat ke dalam kinerja penegakan hukum dan kewajiban pejabat publik untuk mendorong dan memberikan kesempatan luas kepada masyarakat dengan pembatasan-pembatasan tertentu yang hampir sama dengan ketentuan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 dan Bab V UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Namun yang terjadi dalam kenyataan partisipasi masyarakat di Indonesia, di dalam penegakan hukum telah terjadi secara tidak objektif serta terbukti telah melanggar asas praduga tak bersalah serta tidak menghargai hak (asasi) tersangka/terdakwa dalam melakukan pembelaan. Di lain pihak kita saksikan pula partisipasi masyarakat telah mencampuri kewenangan penyidik, penuntut, dan hakim terlalu jauh dibantu oleh pers dan media sosial yang bebas tetapi tidak bertanggung jawab menggiring opini agar tersangka tetap dipersalahkan jauh-jauh hari sebelum diadili oleh persidangan yang terbuka dan dibuka untuk umum sehingga tidak ada lagi celah hukum bagi tersangka/terdakwa untuk melakukan pembelaan secara benar.

Hakim-hakim tipikor pun mengalami tekanan dan intimidasi terutama jika perkara korupsi berasal dari limpahan KPK. Dalam banyak hal sejak KPK jilid III sampai saat ini, hakim tipikor terpaksa dan dengan berat hati telah memutuskan seseorang terdakwa bersalah dan dijatuhi hukuman minimal 1 s/d 3 tahun dan maksimal 20 tahun dalam hal pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Dalam hal ini partisipasi publik dengan bantuan pers dan medsos yang menggebu-gebu mencerminkan kepedulian terhadap masalah korupsi yang telah menggurita.Akan tetapi, sering tampak kebablasan sehingga menggerus objektivitas proses peradilan pidana dalam perkara korupsi yang mengakibatkan ketidakadilan bahkan kezaliman.
(zik)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3199 seconds (0.1#10.140)