Partisipasi Publik dalam Pemberantasan Korupsi

Senin, 16 Oktober 2023 - 14:15 WIB
loading...
Partisipasi Publik dalam Pemberantasan Korupsi
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

PARTISIPASI publik dalam penegakan hukum yang diatur di dalam undang-undang hanya terjadi di Indonesia. Yang terjadi di negara jiran adalah tentang cara publik menyampaikan aspirasinya.

Hal terakhir juga telah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(1) Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:
a. unjuk rasa atau demonstrasi;
b. pawai;
c. rapat umum; dan atau
d. mimbar bebas.

(2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali: a. di lingkungan Istana Kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.



Merujuk ketentuan UU Nomor 9 Tahun 1998 tersebut maka penyampaian pendapat di muka umum berdasarkan undang-undang ini harus dilakukan secara tertib dan tidak mengganggu ketentraman umum. Begitu pula halnya dalam penyampaian pendapat di muka umum terkait kinerja pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh Kejaksaan dan KPK .

Selain pengaturan dan pembatasan tersebut, penyampaian kebebasan pendapat di muka umum juga tidak boleh bertentangan dengan norma kesusilaaan, agama, keamanan dan ketertiban sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 28 J UUD 1945.

Partisipasi publik dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi telah dicantumkan di dalam Bab V UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam hal partisipasi publik atau peran serta masyarakat menurut Bab V tersebut menyatakan bahwa, masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.



Merujuk ketentuan partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi tersebut menunjukkan bahwa celah hukum yang luas telah disediakan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (bukan hanya dalam bentuk unjuk rasa) dalam pemberantasan korupsi.

Di dalam Konvensi PBB Antikorupsi tahun 2003 yang telah diratifikasi UU RI Nomor 7 Tahun 2006, partisipasi publik telah dicantumkan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 13 Participation of Society.

Di dalam Bab I Pasal 13 tersebut dicantumkan ketentuan bahwa setiap negara peratifikasi berkewajiban mempromosikan partisipasi masyarakat seperti LSM dan organisasi masyarakat untuk memerangi korupsi dan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan menghadapi perkembangan korupsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum domestic masing-masing.

Namun, kebebasan berpartisipasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan harus menghargai hak-hak dan reputasi orang lain dan sejauh mungkin dapat melindungi keamanan nasional masing-masing negara atau kesusilaan masyarakat. Merujuk ketentuan Konvensi PBB tentang Antikorupsi tersebut jelas bahwa partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi merupakan hak masyarakat di satu sisi dan juga kewajiban negara memberikan ruang akses masyarakat ke dalam kinerja penegakan hukum dan kewajiban pejabat publik untuk mendorong dan memberikan kesempatan luas kepada masyarakat dengan pembatasan-pembatasan tertentu yang hampir sama dengan ketentuan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 dan Bab V UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Namun yang terjadi dalam kenyataan partisipasi masyarakat di Indonesia, di dalam penegakan hukum telah terjadi secara tidak objektif serta terbukti telah melanggar asas praduga tak bersalah serta tidak menghargai hak (asasi) tersangka/terdakwa dalam melakukan pembelaan. Di lain pihak kita saksikan pula partisipasi masyarakat telah mencampuri kewenangan penyidik, penuntut, dan hakim terlalu jauh dibantu oleh pers dan media sosial yang bebas tetapi tidak bertanggung jawab menggiring opini agar tersangka tetap dipersalahkan jauh-jauh hari sebelum diadili oleh persidangan yang terbuka dan dibuka untuk umum sehingga tidak ada lagi celah hukum bagi tersangka/terdakwa untuk melakukan pembelaan secara benar.

Hakim-hakim tipikor pun mengalami tekanan dan intimidasi terutama jika perkara korupsi berasal dari limpahan KPK. Dalam banyak hal sejak KPK jilid III sampai saat ini, hakim tipikor terpaksa dan dengan berat hati telah memutuskan seseorang terdakwa bersalah dan dijatuhi hukuman minimal 1 s/d 3 tahun dan maksimal 20 tahun dalam hal pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Dalam hal ini partisipasi publik dengan bantuan pers dan medsos yang menggebu-gebu mencerminkan kepedulian terhadap masalah korupsi yang telah menggurita.Akan tetapi, sering tampak kebablasan sehingga menggerus objektivitas proses peradilan pidana dalam perkara korupsi yang mengakibatkan ketidakadilan bahkan kezaliman.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2099 seconds (0.1#10.140)