Pengamat Hukum Sebut Aturan Produk Tembakau dalam RPP Kesehatan Serupa FCTC
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aturan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang Kesehatan rawan disusupi kepentingan asing dari pihak antitembakau. Indikasi ini perlu diwaspadai karena dinilai bisa mengancam kedaulutan negara.
Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana mengatakan, indikasi adanya kepentingan asing dalam aturan produk tembakau pada RPP Kesehatan terlihat dari isinya yang serupa dengan harapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC adalah perjanjian internasional yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai upaya untuk melarang total penggunaan tembakau. Muatannya terdiri dari beberapa komponen untuk mengendalikan tembakau secara eksesif, mulai dari pelarangan iklan dan promosi produk tembakau, pengenaan pajak yang tinggi untuk produk tembakau, hingga pelarangan konsumsi di tempat umum.
"Saya mensinyalir LSM luar negeri berada di balik draf RPP Kesehatan. LSM ini sudah lama memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi FCTC," kata Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani dalam keterangan tertulis, Rabu (11/10/2023).
Dalama aturan produk tembakau di RPP Kesehatan yang sedang dirumuskan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki isi yang serupa. Antara lain, larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan rokok eceran, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, hingga aturan kemasan minimal 20 batang per bungkus.
Melihat isi aturan tersebut, Hikmahanto menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan apsek lain, seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, keberlanjutan sektor industri tembakau, serta penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Perlu disadari, kata dia, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau bukan angka kecil. Nilainya mencapai 9% sampai 13% dari total penerimaan pajak negara.
"Isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan," ujarnya.
Dengan bunyi aturan tersebut, Hikmahanto menilai industri tembakau nasional bisa sangat terganggu dan akhirnya mati. Karena itu, ia menyarankan Kemenkes mengkaji ulang serta tidak terburu-buru dalam menyusun RPP Kesehatan, terutama berkaitan dengan produk tembakau.
Senada, Anggota Komisi IX DPR Mukhamad Misbakhun juga menilai aturan produk tembakau di RPP Kesehatan merupakan pelaksana dari FCTC. "Saya menegaskan ini sudah tidak benar. Hadirnya draf RPP ini sama saja (Kemenkes) ingin menjadi pelaksana dari FCTC. Kalau diperhatikan semua konsepnya sama. Saya sampai sekarang melarang FCTC diterapkan di Indonesia," katanya.
Ia menekankan Indonesia tidak perlu mengadopsi FCTC sebab industri tembakau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan ekonomi negara. Selain itu, produk tembakau juga merupakan warisan budaya dan leluhur bangsa.
"Industri tembakau merupakan ekosistem besar yang telah menciptakan jutaan lapangan kerja. Negara semestinya mengayomi salah satu kekayaan dan kebhinekaan ini. Masak yang seperti ini mau kita hilangkan," katanya.
Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana mengatakan, indikasi adanya kepentingan asing dalam aturan produk tembakau pada RPP Kesehatan terlihat dari isinya yang serupa dengan harapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC adalah perjanjian internasional yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai upaya untuk melarang total penggunaan tembakau. Muatannya terdiri dari beberapa komponen untuk mengendalikan tembakau secara eksesif, mulai dari pelarangan iklan dan promosi produk tembakau, pengenaan pajak yang tinggi untuk produk tembakau, hingga pelarangan konsumsi di tempat umum.
"Saya mensinyalir LSM luar negeri berada di balik draf RPP Kesehatan. LSM ini sudah lama memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi FCTC," kata Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani dalam keterangan tertulis, Rabu (11/10/2023).
Dalama aturan produk tembakau di RPP Kesehatan yang sedang dirumuskan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki isi yang serupa. Antara lain, larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan rokok eceran, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, hingga aturan kemasan minimal 20 batang per bungkus.
Melihat isi aturan tersebut, Hikmahanto menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan apsek lain, seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, keberlanjutan sektor industri tembakau, serta penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Perlu disadari, kata dia, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau bukan angka kecil. Nilainya mencapai 9% sampai 13% dari total penerimaan pajak negara.
"Isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan," ujarnya.
Dengan bunyi aturan tersebut, Hikmahanto menilai industri tembakau nasional bisa sangat terganggu dan akhirnya mati. Karena itu, ia menyarankan Kemenkes mengkaji ulang serta tidak terburu-buru dalam menyusun RPP Kesehatan, terutama berkaitan dengan produk tembakau.
Senada, Anggota Komisi IX DPR Mukhamad Misbakhun juga menilai aturan produk tembakau di RPP Kesehatan merupakan pelaksana dari FCTC. "Saya menegaskan ini sudah tidak benar. Hadirnya draf RPP ini sama saja (Kemenkes) ingin menjadi pelaksana dari FCTC. Kalau diperhatikan semua konsepnya sama. Saya sampai sekarang melarang FCTC diterapkan di Indonesia," katanya.
Ia menekankan Indonesia tidak perlu mengadopsi FCTC sebab industri tembakau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan ekonomi negara. Selain itu, produk tembakau juga merupakan warisan budaya dan leluhur bangsa.
"Industri tembakau merupakan ekosistem besar yang telah menciptakan jutaan lapangan kerja. Negara semestinya mengayomi salah satu kekayaan dan kebhinekaan ini. Masak yang seperti ini mau kita hilangkan," katanya.
(abd)