Perilaku Kita di Jalan

Rabu, 19 Juli 2017 - 10:16 WIB
Perilaku Kita di Jalan
Perilaku Kita di Jalan
A A A
HASIL survei aplikasi navigasi dan komunitas berbasis lalu lintas, Waze, mengungkapkan Indonesia masuk dalam 10 negara terburuk dalam hal pengalaman berkendara. Berdasarkan hasil survei bertajuk Driver Satisfaction Index 2016 ini dan dipublikasikan pada 2017 ini, Indonesia mendapat indeks 3,53 (1-10) di bawah Peru, Singapura, Kolombia, Venezuela, dan Kosta Rika yang sama-sama masuk 10 terburuk. Posisi kita lebih baik dari El Salvador, Filipina, Guatemala, dan Panama. Perusahaan GPS yang berbasis di Amsterdam, TomTom, juga mengungkap hal yang hampir sama. Pada survei bertajuk TomTom Traffic Index 2017, Jakarta menduduki posisi ke-3, kota dengan tingkat kemacetan terparah di dunia setelah Mexico City (posisi 1) dan Bangkok (posisi 2). Total waktu pengendara yang terbuang sia-sia lantaran kemacetan di Jakarta rata-rata 48 menit sehari atau 184 jam per tahun.

Dua tahun sebelumnya, yaitu pada 2015, Badan kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan bertajuk The Global Status Report on Road Safety 2015, kesantunan dan disiplin dalam berlalu lintas menjadi faktor utama penyebab kecelakaan yang mengakibatkan kematian di Indonesia. Rendahnya disiplin dan kesantunan berlalu lintas di Indonesia antara lain lantaran instansi ber­wenang belum tegas menerapkan regulasi berikut sanksi bagi para pelanggarnya.

Setali tiga uang dengan kondisi jalur pedestrian atau trotoar di Tanah Air, terutama di kota-kota besar. Jalanan yang semestinya memiliki trotoar pun sekadar harapan dan jikapun ada justru digunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, seperti pedagang kaki lima, tempat parkir kendaraan, atau bahkan untuk melintas sepeda motor guna menghindari kemacetan. Memang ada beberapa wilayah di kota-kota besar yang memiliki trotoar dengan lebar yang semestinya, yaitu 2-4 meter, namun justru membuat pejalan kaki tidak nyaman dan aman.

Kebijakan pemerintah memang menjadi salah satu pemicu dari kondisi ini. Namun jika melihat survei-survei di atas dan kenyataan yang terjadi pada trotoar, tampaknya perilaku kita di jalan raya juga menyumbangkan “kebodohan” ini. Ya, sebuah “kebodohan” karena kejadian-kejadian tersebut acap terjadi di kota-kota besar yang semestinya penduduknya mempunyai pengetahuan atau kepintaran yang baik. Para pelanggar aturan dan etika di jalan raya semestinya sangat menyadari bahwa menerabas lampu merah, parkir sembarangan, memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalanan kota, ataupun berkendara di trotoar adalah melanggar aturan dan etika. Namun, sekali lagi, mereka tetap melakukan “kebodohan” tersebut.

Pemerintah memang tengah mengampanyekan tentang revolusi mental. Namun untuk perilaku masyarakat di jalan raya, tampaknya revolusi mental masih butuh perjuangan yang panjang dan keras. Mengubah perilaku masyarakat adalah dengan mengampanyekan bagaimana santun atau menjadi etika ketika berkendaraan. Kampanye yang dilakukan pun bukan hanya berasal dari pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat atau para pemuka agama pun bisa memberikan kampanye tersebut. Perlu sebuah kampanye yang masif dan terus-menerus untuk mengubah perilaku ini. Tindakan tegas dari aparat seperti yang dikritik oleh WHO juga perlu ditingkatkan. Pembiaran perilaku salah ini akan menjadikan membenarkan sesuatu yang salah.

Sebuah contoh di negara Eropa ketika hendak menggelar ajang internasional. Awalnya, penduduk negara tersebut dikenal tidak ramah dengan pendatang. Namun satu tahun menjelang perhelatan, pemerintah didukung oleh semua pihak mengampanyekan ramah terhadap pendatang. Hasilnya, meski belum mengubah perilaku masyarakat negara tersebut secara menyeluruh, sebagian besar sudah mau mengubah perilaku. Kita perlu mencontoh cara tersebut kalau tidak mau terus disebut perilaku pengendara di negeri ini sangat buruk. Apalagi, sebagian besar kecelakaan di Indonesia disebabkan perilaku berkendara yang tidak benar (human error). Dan selanjutnya, bagi masyarakat yang sadar dan tidak mau melakukan “kebodohan” ini bisa terus memberikan contoh dan bukan malah terbawa arus “kebodohan” tersebut.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7568 seconds (0.1#10.140)