Menimbang Ulang Kebijakan Sekolah Lima Hari

Jum'at, 14 Juli 2017 - 10:10 WIB
Menimbang Ulang Kebijakan Sekolah Lima Hari
Menimbang Ulang Kebijakan Sekolah Lima Hari
A A A
Yulina Eva Riany
Peneliti Indonesia di Universitas Queensland, Australia


KEBIJAKAN
sekolah lima hari yang akan diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menuai polemik dari berbagai pihak. Kontroversi akan pemberlakuan kebijakan ini sangat beragam mulai dari keterbatasan waktu anak untuk belajar agama sore hari hingga belum siapnya sumber daya sekolah di daerah dalam menerapkan sistem yang baru.

Kebijakan long day school ini bahkan dipercaya bertentangan dengan misi revolusi mental yang dicanangkan oleh presiden karena dapat membatasi waktu anak untuk belajar agama melalui pendidikan madrasah diniyah dan pesantren di luar jam sekolah formal. Penerapan sistem baru pendidikan yang sedang menunggu penguatan peraturan presiden ini dikhawatirkan dapat mematikan pasar yayasan-yayasan pendidikan agama yang dinaungi oleh Kementerian Agama.

Pro dan kontra terus berlanjut hingga saat ini dengan dalih bahwa adanya ketidakmerataan sumber daya dan kesiapan sekolah antarwilayah di Indonesia. Beberapa pakar pendidikan menyatakan bahwa kebijakan ini hanya cocok diterapkan di wilayah perkotaan, tapi tidak sesuai untuk dilaksanakan di wilayah pedesaan. Dengan demikian, apabila pemerintah tetap akan memberlakukan peraturan ini di daerah, akan banyak sekali bentuk penyesuaian yang harus dicanangkan.

Untuk menjawab ini, pemerintah mulai mengadakan sosialisasi mengenai bagaimana aturan ini akan dilaksanakan. Menteri pendidikan dan kebudayaan telah memperkuat pemberlakuan kebijakan ini sebagai sebuah strategi penanggulangan maraknya kasus kenakalan remaja, radikalisme, dan kekerasan terhadap anak yang kian marak terjadi di berbagai wilayah Tanah Air. Namun, presiden belum berkenan menggulirkan peraturannya demi memperkuat implementasi peraturan ini, sebelum adanya kajian intensif tentang manfaat dari pemberlakuan sistem baru ini.

Sistem pendidikan yang menerapkan sekolah lima hari sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru di dunia pendidikan internasional. Berbagai negara maju yang memiliki peringkat pendidikan tertinggi di dunia, seperti Jepang, Singapura, Hong Kong, Finlandia, Inggris, Kanada, Amerika, dan Australia telah menerapkan sistem tersebut. Negara-negara ini telah menerapkan sistem pendidikan dengan pemberlakuan tujuh-delapan jam selama lima hari dalam seminggu dengan menerapkan metode pembelajaran yang terintegrasi berbagai subjek pendidikan, mulai dari ilmu pasti, ilmu sosial, seni, hingga bahasa. Hal ini dilakukan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan masyarakatnya.

Namun, kondisi masyarakat di beberapa negara maju tersebut tentunya berbeda dengan kondisi masyarakat kita yang sangat beragam. Masyarakat Indonesia yang berada di beberapa wilayah tertentu memiliki tradisi yang kental dengan kultur budaya lokal dan keagamaan. Dengan tetap melestarikan budaya, tidak sedikit orang tua yang mengikutsertakan anak mereka ke sekolah nonformal berbasis keagamaan, seperti madrasah dan pesantren untuk memperkuat bekal ilmu keagamaan anak yang dirasa kurang disediakan oleh sekolah formal pada umumnya. Dengan adanya pemberlakuan sistem pendidikan long day school selama lima hari seminggu ini tentunya akan mematikan ribuan lembaga pendidikan nonformal tersebut.

Berbeda dengan kondisi masyarakat di wilayah yang memiliki tradisi keagamaan kuat, beberapa wilayah perkotaan di Indonesia memiliki struktur sosial dan aktivitas keseharian yang cenderung mirip dengan berbagai wilayah maju, seperti Jepang, Singapura, dan Australia. Kuatnya animo masyarakat kelas menengah-atas akan peningkatan kapasitas akademik putra-putri mereka menjadikan masyarakat berlomba-lomba untuk menyediakan pendidikan nonformal bernuansa akademis demi mengantarkan anak mereka ke posisi teratas kelas ataupun sekolah. Jadi, kesempatan anak untuk mengasah kompetensi akademik disediakan luas oleh lembaga-lembaga nonformal ini apabila aktivitas belajar mengajar di sekolah dinilai kurang bagi peningkatan performa akademik anak.

Namun, tentu saja tidak semua masyarakat mampu untuk mengikutsertakan anak mereka pada lembaga nonformal akademik untuk menopang kualitas pendidikan.

Bagi sebagian besar masyarakat urban ataupun daerah yang tidak memiliki kapasitas perekonomian yang mumpuni, mereka lebih memilih menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah pemerintah yang memberlakukan sistem pendidikan dengan jam belajar yang singkat selama enam hari sekolah. Dengan sistem pembelajaran yang singkat tersebut, tentunya anak memiliki banyak waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan belajar mengajar. Akan tetapi, dengan pemberlakuan sistem pendidikan singkat selama enam hari oleh pemerintah seakan memberikan peluang bagi anak-anak tersebut untuk lepas dari kontrol sekolah ataupun keluarga. Berbagai kasus kekerasan terhadap anak, kenakalan remaja, narkoba, pergaulan bebas, pornografi, hingga doktrinasi radikalisme terjadi akibat peralihan waktu pengawasan oleh sekolah ke keluarga yang terkadang tidak sinkron.

Lima Hari Sekolah untuk Peningkatan Mutu Pendidikan

Sudah tidak diragukan lagi bahwa sekolah memegang peranan vital bagi penanaman nilai-nilai pendidikan bagi anak. Sekolah merupakan rumah kedua dalam penanaman karakter anak setelah keluarga. Pemberlakuan sistem long day school tentunya memberikan kesempatan besar bagi anak untuk mendapatkan kualitas pembelajaran lebih baik di sekolah. Beberapa keterampilan yang memerlukan banyak latihan, seperti peningkatan daya analisis, kemampuan baca tulis, pemikiran kritis, olahraga, seni, keterampilan, dan peningkatan pendidikan agama dapat ditingkatkan melalui pemberlakuan sistem pendidikan ini.

Dengan adanya penambahan jam pelajaran menjadi 7-8 jam sehari tentunya menjadi media bagi para guru di seluruh wilayah Indonesia untuk terus berinovasi terhadap metode pembelajaran interaktif dan menyenangkan bagi anak. Pengejawantahan kurikulum nasional yang berlaku dengan melakukan penyesuaian sarana dan prasarana yang tersedia di sekitar merupakan tantangan yang harus dijawab oleh para agen pendidik untuk terus berinovasi, berkreasi, dan bergerak dalam peningkatan mutu pendidikan nasional.

Sistem pembelajaran tradisional yang hanya menitikberatkan pada metode ceramah dan partisipasi pasif anak dianggap sebagai metode yang usang dan tidak sesuai bagi perkembangan pendidikan internasional yang mengharapkan daya analisis kritis anak. Melalui pemberlakuan sistem pembelajaran long day school , sangat diharapkan guru dan siswa memiliki kesempatan belajar dan mengajar yang lebih luas di sekolah.

Penelitian ekstensif yang dilakukan di Colorado, Amerika, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan sistem pembelajaran enam hari dalam seminggu, sistem pendidikan selama lima hari terbukti dapat meningkatkan performa anak di sekolah. Penelitian lain menemukan bahwa 7-8 jam per hari selama lima hari per minggu adalah waktu yang baik bagi penyerapan pendidikan bagi anak. Jadi, tidak diragukan mengapa negara-negara yang telah menerapkan pendidikan selama lima hari memiliki kualitas pendidikan pada peringkat teratas di dunia.

Selain itu, pemberlakuan metode pendidikan lima hari dapat memberikan kesempatan anak untuk belajar tanpa membebani mereka dengan load pelajaran yang terlalu banyak. Memberikan dua hari break kepada anak dipercaya memberikan waktu bagi anak untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis pasca-pelaksanaan belajar mengajar di sekolah. Harapannya, anak akan terhindar dari stres yang disebabkan overload aktivitas belajar di sekolah selama enam hari.

Bahkan, kebijakan long day school dapat memberikan waktu panjang bagi anak untuk berinteraksi tidak hanya dengan guru, melainkan dengan teman-teman di sekolahnya sehingga kemampuan sosialisasi anak dapat terasah dengan optimal. Anak juga akan memiliki waktu lebih banyak untuk mengerjakan tugas selama weekend ataupun mengasah minat dan bakatnya di luar kemampuan akademik di sekolah.

Menyediakan Waktu bagi Interaksi Keluarga

Pemberlakuan sistem pendidikan selama lima hari seminggu juga menyediakan waktu bagi para orang tua untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak lebih banyak. Komunikasi dan interaksi yang intensif antara orang tua dan anak tidak hanya akan meningkatkan kualitas hubungan antaranggota keluarga. Namun lebih dari itu, komunikasi dan interaksi ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi orang tua dalam menanamkan nilai-nilai karakter pada anak di lingkungan keluarga. Harapannya, peran keluarga sebagai institusi pendidikan yang pertama dan utama dapat dioptimalkan.

Dengan adanya program kebijakan ini, memberikan pembagian beban tanggung jawab antara sekolah dan keluarga sebagai dua institusi utama bagi penanaman nilai pada anak. Asumsi bahwa sekolah adalah tempat "penitipan" anak untuk mendalami budi pekerti akan dapat terhapus dengan memberikan kesempatan luas bagi keluarga untuk ikut andil mengontrol dan mengawasi anak selama hari libur. Supervisi keluarga terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak juga diharapkan dapat dioptimalkan dengan adanya pemberlakuan dua hari break sekolah.

Integrasi Pendidikan Formal dan Nonformal

Besarnya manfaat yang dapat diperoleh dengan penerapan sistem pendidikan lima hari sekolah ini tentunya dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk memperkuat teknis penerapan sistem baru ini di lapangan. Meskipun dipandang sebagai sebuah PR yang berat, integrasi kurikulum pendidikan formal dan nonformal tentunya diharapkan dapat menjadi sebuah win-win solution dengan tetap menjaga kelestarian lembaga pendidikan nonformal, khususnya lembaga pendidikan keagamaan.

Hal ini penting karena pelestarian lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah dan pesantren ini dipercaya dapat meningkatkan kapasitas keagamaan anak. Dengan bekal keagamaan yang kuat, harapannya masyarakat Indonesia tangguh dalam menghadapi derasnya arus radikalisme dengan mengusung pesan keagamaan.

Sistem integrasi pendidikan formal dan nonformal juga dapat menjadi sebuah solusi bagi masa transisi penerapan sistem pendidikan lima hari per minggu ini. Bagi daerah yang memiliki kultur keagamaan yang kuat, penggabungan sistem pembelajaran formal dan agama diharapkan merupakan sebuah strategi dalam memperkuat kompetensi anak di bidang akademik dan agama. Integrasi sistem pendidikan formal dan nonformal ini tentunya tidak terbatas bagi pendidikan keagamaan saja. Titik berat penguatan pendidikan harus disesuaikan dengan potensi masyarakat di area masing-masing.

Peran guru sebagai pendidik tentunya sangat vital dalam pemberlakuan sistem tersebut. Namun, untuk mendukung pemberlakuan sistem pendidikan nasional ini, tentunya diperlukan sebuah uji coba melalui penelitian intensif yang menilai tingkat efektivitas dan keberhasilan sistem pendidikan di segala bidang, baik akademik, karakter, maupun sosial anak. Tidak hanya itu, keberhasilan sistem pendidikan juga harus diukur dari peningkatan kualitas seluruh elemen pendukung sistem, baik guru, sekolah, lembaga nonformal, maupun orang tua.

Dengan demikian, penerapan kebijakan lima hari sekolah ini tidak hanya dapat menjadi strategi pemerintah bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional, tetapi pemberlakuan sistem pendidikan ini juga dapat tetap menjaga kelestarian tradisi masyarakat lokal. Pemberlakuan sistem pendidikan lima hari juga diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang menginginkan adanya integrasi peran sekolah dan keluarga dalam penanaman nilai-nilai karakter anak. Sudah waktunya pendidikan Indonesia berbenah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan menyediakan kesempatan bagi guru dan murid untuk terus meningkatkan kualitas belajar mengajar dengan tanpa memberikan beban pendidikan yang terlalu berat bagi anak bangsa.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8046 seconds (0.1#10.140)