Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista
loading...
A
A
A
INDUSTRI pertahanan (Inhan) nasional tak jeda menghadirkan kebanggaan. Kabar teranyar di antaranya menyuguhkan galangan kapal swasta nasional, PT Palindo Shipyard Marine. Perusahaan yang bermarkas di Batam tersebut pekan lalu melakukan seremonial starting of steel cutting pembangunan kapal Hidro Oseanografi Ocean Going (BHO).
baca juga: Industri Pertahanan Swasta Aset Strategis Bangsa
Walaupun pengerjaan kapal ini menggandeng perusahaan Abeking & Rasmussen Jerman, terutama untuk pemenuhan peralatan dan teknologi canggih, apa yang disuguhkan Palindo merupakan prestasi membanggakan.
Proyek yang diberikan Kementerian Pertahanan (Kemhan) itu menunjukkan kepercayaan tinggi terhadap Palindo, sekaligus membuktikan kapasitas perusahaan tersebut menggarap kapal canggih sekaligus keberaniannya menerima tantangan lebih besar.
Pembangunan kapal BHO dilakukan untuk memenuhi kebutuhan armada kapal survei dan pemetaan di Tanah Air agar pemetaan ataupun deteksi bawah air bisa dilakukan secara lebih efektif. Sebagai kapal riset, kapal BHO dilengkapi peralatan berteknologi tinggi.
Dibanding kapal perang yang selama ini digarap Palindo, tentu ada perbedaan spesifikasi. Karena itulah, kemampuan Palindo menguasai rancang bangun kapal dan kemampuan berinovasi akan diuji dalam program ini.
Kepercayaan yang diberikan kepada galangan kapal swasta seperti Palindo untuk mengerjakan kapal strategis menjadi pertanda kongkret bahwa pemain industri kapal di Tanah Air kini tidak lagi hanya bertumpu pada PT PAL.
Industri pertahanan swasta nasional, termasuk Palindo dan galangan kapal swasta lain kini menempati posisi strategis dalam konteks industri pertahanan nasional untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI, dan menopang ambisi negeri ini membangun kemandirian pertahanan negara.
Prestasi tak kalah membanggakan juga disuguhkan PT Daya Radar Utama (DRU). Perusahaan asal Lampung tersebut pada 2021 telah diberi kepercayaan Kemhan membangun Kapal Offshore Patrol Vessel (OPV) dan OPV 90 meter masing-masing sebanyak 1 (satu) unit.
baca juga: Menhan Prabowo Berkomitmen Hapus Budaya Korupsi di Industri Pertahanan
Bila dilihat dari spesifikasi persenjataannya, OPV ini bukan hanya difungsikan untuk kapal patrol seperti dimiliki Bakamla, tapi fungsi pemukul. Bagaimana tidak, kapal akan dilengkapi persenjataan ala korvet atau fregat, seperti rudal Atmaca produksi Roketsan Turki, dan dengan combat management system dari Havelsan, Turki.
Selain Palindo dan DRU, Indonesia memiliki banyak galangan kapal swasta lain yang bisa dipercaya menggarap kapal perang. Di Batam saja, misalnya, masih ada PT Bandar Abadi Shipyard, Karimun Anugerah Abadi dan PT Citra Shipyard, dan PT Batamec.
Di luar itu masih ada PT Dok Kodja Bahari, PT Dok dan Perkapalan Surabaya, PT Lundin Industry Invest, PT Tesco Indomaritim, PT Caputra Mitra Sejati, PT Infinity Global Mandiri, PT Republik Palindo, dan PT Steadfast Marine.
Peran Setara
Lahirnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan membawa angin segar bagi industri pertahanan Tanah Air. Keberadaan dasar hukum tersebut secara kongkret mendorong upaya mewujudkan kemandirian pemenuhan alutsista dan membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal.
Selain mewujudkan kemandirian alutsista, upaya mendorong industri pertahanan nasional juga diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan menyerap tenaga kerja.
baca juga: Titah Jokowi, BUMN Pertahanan Diminta Pindah ke Kawasan Industri Subang
Tak kalah pentingnya adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) hingga bisa diandalkan untuk mengembangkan industri pertahanan nasional ke depan. Demi mendukung visi itulah, UU No 16 Tahun 2012 menggariskan prasyarat untuk setiap akuisisi alutsista, termasuk yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
Dalam konteks kepentingan membangun industri pertahanan nasional, prasyarat dimaksud antara lain mengikutsertakan partisipasi industri pertahanan domestik, kewajiban alih teknologi atau transfer of technology (ToT), adanya kandungan lokal dan/atau offset dengan ketentuan tertentu, dan pemberlakuan offset.
Awalnya, berdasar UU Nomor 16 Tahun 2012, hanya BUMN yang dapat memproduksi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Adapun industri pertahanan swasta sebatas berposisi sebagai subordinat dari perusahaan BUMN.
Untuk membangun alutsista kapal perang utama misalnya, Kemhan hanya bisa mempercayakan kepada PT PAL. Sedangkan kepada galangan kapal swasta, proyek yang diberikan sebatas pada kapal cepat, kapal patroli, atau landing ship tank (LST).
Seperti diatur dalam undang-undang tersebut, hanya BUMN yang bisa menempati posisi industri alat utama sekaligus menjadi lead integrator. Sedangkan perusahaan swasta hanya menempati posisi industri komponen utama atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung, dan industri bahan baku.
Posisi demikian berubah drastis setelah muncul Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Dampaknya, industri pertahanan swasta diperbolehkan alutsista yang sebelumnya hanya dikuasai BUMN. Revisi terjadi di antaranya karena keistimewaan yang diberikan kepada BUMN ternyata belum mampu mendorong tercapainya kemandirian dalam pemenuhan alutsista.
Melalui terobosan tersebut, industri pertahanan swasta memiliki peran setara, meski posisi lead integrator masih dipegang perusahaan BUMN. Dengan adanya revisi UU Nomor 16 Tahun 2012, tak heran kini galangan kapal swasta nasional tidak hanya diberi jatah menggarap kapal kelas kapal boat, kapal patrol, kapal cepat atau landing ship tank (LST). Mereka pun berkesempatan menggarap kapal perang lebih besar, canggih, dan strategis.
baca juga: Jabat Menhan, Prabowo Sukses Naikkan Kontrak BUMN Industri Pertahanan hingga 800 Persen
Di sisi lain, PT PAL tidak lagi sendirian bertanggung jawab mewujudkan kemandirian alutsista. Dan dengan bertambahnya anggaran belanja pertahanan dan gencarnya pesanan kapal perang TNI, pembangunan tidak harus menunggu waktu lama karena proyek terpusat di PT PAL.
Banyaknya galangan kapal yang dilibatkan akan mengakselerasi pemenuhan target pembangunan kapal. Selain itu, tak kalah pentingnya adalah semakin banyaknya anak bangsa terserap dalam industri perkapalan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bisa Diandalkan
Pelibatan galangan kapal swasta untuk membangun kapal perang sejenis BHO dan OPV tidaklah sembarangan. Bila tidak, pembuatan kapal yang menggunakan uang rakyat bisa mangkrak dan ujungnya hanya menghabiskan uang rakyat.
Kasus demikian bisa disaksikan pada program pembangunan kapal littoral combat ship (LCS) Mahara Lela Malaysia yang diserahkan kepada Bousted Naval Shipyard. Walaupun pengerjaan sudah dimulai sejak 2011, hingga kini tak satupun kapal sudah berlayar. Karena rumitnya persoalan, akhirnya Kementerian Pertahanan Malaysia memutuskan Maharaja Lela menjadi museum kapal.
Untuk memastikan kapabilitas galangan kapal yang akan diserahi tugas membangun kapal perang, Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang diberi tanggung jawab Presiden mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan harus memastikan industri pertahanan swasta.
baca juga: Prabowo Boyong Industri Pertahanan Lokal ke Abu Dhabi Unjuk Gigi di IDEX UEA
Dalam hal ini, galangan kapal seperti Palindo dan DRU, layak diberi pekerjaan membangun kapal perang dengan spesifikasi ditentukan. Karena itulah, sebelum memberikan kepercayaan tim KKIP terlebih dulu memverikasi secara langsung proses pembuatan kapal serta melihat sejauh mana potensi, kemampuan dan kesanggupan perusahaan Palindo dan DRU dalam memenuhi kebutuhan pengadaan Alutsista TNI.
Tim KKIP juga memastikan secara langsung mekanisme dan kapasitas produksi yang dimiliki agar bisa memenuhi berbagai peluang yang diberikan Pemerintah. Tak kalah krusialnya, verifikasi juga memastikan kapasitas SDM, teknologi, infrastruktur, keuangan dan manajemen secara keseluruhan.
Di sisi lain, kedua galangan kapal tersebut memang sudah memiliki pengalaman dan sukses mengerjakan kapal perang walaupun dengan skala kerumitan lebih kecil.
Beberapa portofolia Palindo antara lain pembangunan Kapal Cepat Rudal (KCR) Clurit Class, Kapal Patroli type PC 40M KRI Pari Class, Kapal OPV KN Tanjung Datu untuk Bakamla, Kapal Pengawas Tipe C untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kapal SAR 50-60 meter untuk Basarnas dan Kapal SAR 40 meter untuk Basarnas.
Sedangkan DRU pernah sukses mengerjakan pesanan KRI Teluk Bintuni Class dengan panjang 120 meter dan kapal niaga dengan kapasitas hingga 17.500 dead weight tonnage (DWT) yang dipesan oleh Pertamina dan Kementerian Perhubungan. Produk kedua perusahaan bahkan sudah diekspor ke beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
Selain menggarap kapal BHO, Palindo sebenarnya telah lama menyiapkan rancangan kapal selam mini (midget). Rencana awal, pembangunan sudah dimulai dari 2017 hingga kelar tiga tahun kemudian. Namun hingga kini kelanjutan program tersebut belum ada kabarnya.
baca juga: TKDN Rantis Maung 65 Persen, Pengamat: Kemhan Era Prabowo Beri Legacy Positif untuk Industri Pertahanan
Tapi apapun kondisi yang terjadi, pesan utamanya adanya kepercayaan lebih besar dan lebih luas kepada galangan kapal swasta yang tersebar di berbagai daerah untuk berpartisipasi dalam visi membangun kemandirian sudah on the right track dan harus diteruskan. Tentu, proyek yang diberikan sesuai dengan kapasitas dan spesialisasi yang dimiliki masing-masing galangan kapal.
Melalui kepercayaan yang diberikan pemerintah, setapak demi setapak galangan kapal swasta atau industri pertahanan swasta secara umum akan menjalani percepatan learning process hingga mendapat keberanian untuk menerima proyek lebih menantang dan berinovasi, untuk menyuguhkan kapal perang masa depan dan kapal yang sesuai dengan karakter kondisi geografis Indonesia.
Bila harapan tersebut bisa terpenuhi, kemandirian alutsista pasti akan terwujud. Tak kalah pentingnya, keterpaduan kapasitas Palindo, DRU dan galangan kapal swasta nasional lain dengan PT PAL sebagai BUMN menjadi variabel penting untuk mengakselerasi cita-cita TNI sebagai blue water navy dan disegani di kawasan. (*)
baca juga: Industri Pertahanan Swasta Aset Strategis Bangsa
Walaupun pengerjaan kapal ini menggandeng perusahaan Abeking & Rasmussen Jerman, terutama untuk pemenuhan peralatan dan teknologi canggih, apa yang disuguhkan Palindo merupakan prestasi membanggakan.
Proyek yang diberikan Kementerian Pertahanan (Kemhan) itu menunjukkan kepercayaan tinggi terhadap Palindo, sekaligus membuktikan kapasitas perusahaan tersebut menggarap kapal canggih sekaligus keberaniannya menerima tantangan lebih besar.
Pembangunan kapal BHO dilakukan untuk memenuhi kebutuhan armada kapal survei dan pemetaan di Tanah Air agar pemetaan ataupun deteksi bawah air bisa dilakukan secara lebih efektif. Sebagai kapal riset, kapal BHO dilengkapi peralatan berteknologi tinggi.
Dibanding kapal perang yang selama ini digarap Palindo, tentu ada perbedaan spesifikasi. Karena itulah, kemampuan Palindo menguasai rancang bangun kapal dan kemampuan berinovasi akan diuji dalam program ini.
Kepercayaan yang diberikan kepada galangan kapal swasta seperti Palindo untuk mengerjakan kapal strategis menjadi pertanda kongkret bahwa pemain industri kapal di Tanah Air kini tidak lagi hanya bertumpu pada PT PAL.
Industri pertahanan swasta nasional, termasuk Palindo dan galangan kapal swasta lain kini menempati posisi strategis dalam konteks industri pertahanan nasional untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI, dan menopang ambisi negeri ini membangun kemandirian pertahanan negara.
Prestasi tak kalah membanggakan juga disuguhkan PT Daya Radar Utama (DRU). Perusahaan asal Lampung tersebut pada 2021 telah diberi kepercayaan Kemhan membangun Kapal Offshore Patrol Vessel (OPV) dan OPV 90 meter masing-masing sebanyak 1 (satu) unit.
baca juga: Menhan Prabowo Berkomitmen Hapus Budaya Korupsi di Industri Pertahanan
Bila dilihat dari spesifikasi persenjataannya, OPV ini bukan hanya difungsikan untuk kapal patrol seperti dimiliki Bakamla, tapi fungsi pemukul. Bagaimana tidak, kapal akan dilengkapi persenjataan ala korvet atau fregat, seperti rudal Atmaca produksi Roketsan Turki, dan dengan combat management system dari Havelsan, Turki.
Selain Palindo dan DRU, Indonesia memiliki banyak galangan kapal swasta lain yang bisa dipercaya menggarap kapal perang. Di Batam saja, misalnya, masih ada PT Bandar Abadi Shipyard, Karimun Anugerah Abadi dan PT Citra Shipyard, dan PT Batamec.
Di luar itu masih ada PT Dok Kodja Bahari, PT Dok dan Perkapalan Surabaya, PT Lundin Industry Invest, PT Tesco Indomaritim, PT Caputra Mitra Sejati, PT Infinity Global Mandiri, PT Republik Palindo, dan PT Steadfast Marine.
Peran Setara
Lahirnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan membawa angin segar bagi industri pertahanan Tanah Air. Keberadaan dasar hukum tersebut secara kongkret mendorong upaya mewujudkan kemandirian pemenuhan alutsista dan membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal.
Selain mewujudkan kemandirian alutsista, upaya mendorong industri pertahanan nasional juga diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan menyerap tenaga kerja.
baca juga: Titah Jokowi, BUMN Pertahanan Diminta Pindah ke Kawasan Industri Subang
Tak kalah pentingnya adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) hingga bisa diandalkan untuk mengembangkan industri pertahanan nasional ke depan. Demi mendukung visi itulah, UU No 16 Tahun 2012 menggariskan prasyarat untuk setiap akuisisi alutsista, termasuk yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
Dalam konteks kepentingan membangun industri pertahanan nasional, prasyarat dimaksud antara lain mengikutsertakan partisipasi industri pertahanan domestik, kewajiban alih teknologi atau transfer of technology (ToT), adanya kandungan lokal dan/atau offset dengan ketentuan tertentu, dan pemberlakuan offset.
Awalnya, berdasar UU Nomor 16 Tahun 2012, hanya BUMN yang dapat memproduksi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Adapun industri pertahanan swasta sebatas berposisi sebagai subordinat dari perusahaan BUMN.
Untuk membangun alutsista kapal perang utama misalnya, Kemhan hanya bisa mempercayakan kepada PT PAL. Sedangkan kepada galangan kapal swasta, proyek yang diberikan sebatas pada kapal cepat, kapal patroli, atau landing ship tank (LST).
Seperti diatur dalam undang-undang tersebut, hanya BUMN yang bisa menempati posisi industri alat utama sekaligus menjadi lead integrator. Sedangkan perusahaan swasta hanya menempati posisi industri komponen utama atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung, dan industri bahan baku.
Posisi demikian berubah drastis setelah muncul Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Dampaknya, industri pertahanan swasta diperbolehkan alutsista yang sebelumnya hanya dikuasai BUMN. Revisi terjadi di antaranya karena keistimewaan yang diberikan kepada BUMN ternyata belum mampu mendorong tercapainya kemandirian dalam pemenuhan alutsista.
Melalui terobosan tersebut, industri pertahanan swasta memiliki peran setara, meski posisi lead integrator masih dipegang perusahaan BUMN. Dengan adanya revisi UU Nomor 16 Tahun 2012, tak heran kini galangan kapal swasta nasional tidak hanya diberi jatah menggarap kapal kelas kapal boat, kapal patrol, kapal cepat atau landing ship tank (LST). Mereka pun berkesempatan menggarap kapal perang lebih besar, canggih, dan strategis.
baca juga: Jabat Menhan, Prabowo Sukses Naikkan Kontrak BUMN Industri Pertahanan hingga 800 Persen
Di sisi lain, PT PAL tidak lagi sendirian bertanggung jawab mewujudkan kemandirian alutsista. Dan dengan bertambahnya anggaran belanja pertahanan dan gencarnya pesanan kapal perang TNI, pembangunan tidak harus menunggu waktu lama karena proyek terpusat di PT PAL.
Banyaknya galangan kapal yang dilibatkan akan mengakselerasi pemenuhan target pembangunan kapal. Selain itu, tak kalah pentingnya adalah semakin banyaknya anak bangsa terserap dalam industri perkapalan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bisa Diandalkan
Pelibatan galangan kapal swasta untuk membangun kapal perang sejenis BHO dan OPV tidaklah sembarangan. Bila tidak, pembuatan kapal yang menggunakan uang rakyat bisa mangkrak dan ujungnya hanya menghabiskan uang rakyat.
Kasus demikian bisa disaksikan pada program pembangunan kapal littoral combat ship (LCS) Mahara Lela Malaysia yang diserahkan kepada Bousted Naval Shipyard. Walaupun pengerjaan sudah dimulai sejak 2011, hingga kini tak satupun kapal sudah berlayar. Karena rumitnya persoalan, akhirnya Kementerian Pertahanan Malaysia memutuskan Maharaja Lela menjadi museum kapal.
Untuk memastikan kapabilitas galangan kapal yang akan diserahi tugas membangun kapal perang, Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang diberi tanggung jawab Presiden mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan harus memastikan industri pertahanan swasta.
baca juga: Prabowo Boyong Industri Pertahanan Lokal ke Abu Dhabi Unjuk Gigi di IDEX UEA
Dalam hal ini, galangan kapal seperti Palindo dan DRU, layak diberi pekerjaan membangun kapal perang dengan spesifikasi ditentukan. Karena itulah, sebelum memberikan kepercayaan tim KKIP terlebih dulu memverikasi secara langsung proses pembuatan kapal serta melihat sejauh mana potensi, kemampuan dan kesanggupan perusahaan Palindo dan DRU dalam memenuhi kebutuhan pengadaan Alutsista TNI.
Tim KKIP juga memastikan secara langsung mekanisme dan kapasitas produksi yang dimiliki agar bisa memenuhi berbagai peluang yang diberikan Pemerintah. Tak kalah krusialnya, verifikasi juga memastikan kapasitas SDM, teknologi, infrastruktur, keuangan dan manajemen secara keseluruhan.
Di sisi lain, kedua galangan kapal tersebut memang sudah memiliki pengalaman dan sukses mengerjakan kapal perang walaupun dengan skala kerumitan lebih kecil.
Beberapa portofolia Palindo antara lain pembangunan Kapal Cepat Rudal (KCR) Clurit Class, Kapal Patroli type PC 40M KRI Pari Class, Kapal OPV KN Tanjung Datu untuk Bakamla, Kapal Pengawas Tipe C untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kapal SAR 50-60 meter untuk Basarnas dan Kapal SAR 40 meter untuk Basarnas.
Sedangkan DRU pernah sukses mengerjakan pesanan KRI Teluk Bintuni Class dengan panjang 120 meter dan kapal niaga dengan kapasitas hingga 17.500 dead weight tonnage (DWT) yang dipesan oleh Pertamina dan Kementerian Perhubungan. Produk kedua perusahaan bahkan sudah diekspor ke beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
Selain menggarap kapal BHO, Palindo sebenarnya telah lama menyiapkan rancangan kapal selam mini (midget). Rencana awal, pembangunan sudah dimulai dari 2017 hingga kelar tiga tahun kemudian. Namun hingga kini kelanjutan program tersebut belum ada kabarnya.
baca juga: TKDN Rantis Maung 65 Persen, Pengamat: Kemhan Era Prabowo Beri Legacy Positif untuk Industri Pertahanan
Tapi apapun kondisi yang terjadi, pesan utamanya adanya kepercayaan lebih besar dan lebih luas kepada galangan kapal swasta yang tersebar di berbagai daerah untuk berpartisipasi dalam visi membangun kemandirian sudah on the right track dan harus diteruskan. Tentu, proyek yang diberikan sesuai dengan kapasitas dan spesialisasi yang dimiliki masing-masing galangan kapal.
Melalui kepercayaan yang diberikan pemerintah, setapak demi setapak galangan kapal swasta atau industri pertahanan swasta secara umum akan menjalani percepatan learning process hingga mendapat keberanian untuk menerima proyek lebih menantang dan berinovasi, untuk menyuguhkan kapal perang masa depan dan kapal yang sesuai dengan karakter kondisi geografis Indonesia.
Bila harapan tersebut bisa terpenuhi, kemandirian alutsista pasti akan terwujud. Tak kalah pentingnya, keterpaduan kapasitas Palindo, DRU dan galangan kapal swasta nasional lain dengan PT PAL sebagai BUMN menjadi variabel penting untuk mengakselerasi cita-cita TNI sebagai blue water navy dan disegani di kawasan. (*)
(hdr)