Peran Kebangsaan Dokter

Sabtu, 20 Mei 2017 - 09:00 WIB
Peran  Kebangsaan  Dokter
Peran Kebangsaan Dokter
A A A
FX Wikan Indrarto
Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta

TANGGAL 20 Mei tidak hanya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tetapi juga sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI). Mulai 2008 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara rutin menyelenggarakan HBDI, agar para dokter zaman sekarang meneladani para dokter seniornya dalam berbakti untuk negeri. Apa yang harus dilakukan oleh para dokter?

Dokter seharusnya tidak hanya mengobati (agent of treatment), tetapi juga menjadi agen perubahan (agent of change) dan agen pembangunan (agent of development). Kebangkitan nasional tidak terlepas dari peran besar dokter sebagai agen perubahan dan pembangunan, yaitu dr Wahidin Soediro­hoesodo, dr Soetomo, dan teman-teman dokter dalam pembentukan Boedi Oetomo pada 1908.

Profesi dokter zaman sekarang sangat dipengaruhi oleh program besar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diterapkan mulai 1 Januari 2014. Perubahan drastis dalam sistem pembiayaan pasien pada era JKN ini diduga telah menyebabkan perubahan besar pada alur pikir dan tindakan medik oleh dokter, bahkan pendapatan finansial sebagian besar dokter. Selain itu, pembatasan kebebasan profesi dokter sebagai agent of treatment dalam pengambilan keputusan medik pada pelayanan pasien diduga telah menimbulkan penolakan dalam diam bagi banyak dokter, atas sistem JKN yang dirasakan belum adil. Para dokter seharusnya mewujudkan baktinya untuk negeri dengan tidak sekadar mengkritik, tetapi juga menyumbangkan pemikiran, niat baik, dan kompetensinya, demi terwujudnya sistem JKN di Indonesia yang lebih baik.

Selain itu, saat ini Indonesia sedang mengalami masalah besar, dalam kehidupan ber­bangsa dan bernegara. Ancaman terbesar adalah potensi konflik karena kepentingan dua kelompok besar dalam Pilkada 2017, yang menyebabkan polarisasi hebat dan kita hampir terbelah. Keberagaman, kemajemukan, dan kebinekaan kita sebagai sebuah bangsa besar justru terlihat berpotensi sebagai awal perpecahan. Pada­hal, dalam semangat dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebenarnya kita justru berpotensi menjadi negara maju seperti sudah semakin jelas terlihat dalam program Nawacita dan hasil kerja Presiden Joko Widodo, meskipun dalam keberagaman. Para dokter Indonesia tentu saja wajib mendukung kebinekaan kita sebagai sebuah bangsa, sebagaimana telah diteladankan oleh dr Wahidin Soedirohoesodo.

Dokter yang lahir pada 7 Januari 1852 di Mlati, Sleman, yang waktu itu menjadi wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sangat senang bergaul dengan rakyat biasa sehingga mengetahui benar apa arti penderitaan rakyat. Dia juga sangat menyadari bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat Hindia Belanda akibat kekejaman sistem penjajahan Belanda.

Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat haruslah cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah resmi. Dua hal pokok yang menjadi perjuangan dr Wahidin, dan seharusnya juga dilakukan para dokter zaman sekarang, ialah memperluas pendidikan dan pengajaran serta memupuk kesadaran kebangsaan.

Gagasan tersebut dikemukakannya kepada para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Jakarta, yaitu sekolah untuk pendidikan dokter pribumi pada zaman kolonial Hindia Belanda. Gagasan besar tersebut khususnya tentang perlunya mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Gagasan ini ternyata disambut baik oleh para pelajar STOVIA tersebut. Pada akhir tahun 1907 dr Wahidin ber­temu Sutomo, seorang pelajar dari STOVIA di Jakarta. Berdasar pertemuan itu Sutomo menceritakan kepada teman-temannya di STOVIA maksud dan tujuan dr Wahidin. Akhirnya pada 20 Mei 1908 lahirlah Budi Utomo.

Para dokter Indonesia zaman sekarang memang tidak harus sampai membentuk sebuah organisasi seperti Boedi Outomo, tetapi rasanya lebih pas dalam menyebarluaskan semangat dan paham kebangsaan di seluruh Indonesia. Langkah besar tersebut telah dilakukan dr Wahidin waktu itu dengan berkeliling ke kota-kota besar di Pulau Jawa, mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat, dan kalangan priayi Jawa antara tahun 1906-1907. Pengajaran tentang keberagaman, kemajemukan, dan kebinekaan kita sebagai sebuah bangsa dalam semangat dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, seharusnya juga dilakukan oleh dokter.

Dalam bahasa Latin “Duco, ducere, duxi, ductus’ yang me­rupakan asal kata dokter berarti memimpin atau mempertimbangkan, maka wajar saja kalau dokter memiliki kewajiban memimpin warga bangsa. Selain itu, dokter wajib mengajak mempertimbangkan hal yang terbaik tentang keberagaman, kemajemukan dan kebinekaan kita. Tentu demi terwujudnya Indonesia seperti yang dirumuskan dan dicita-citakan oleh segenap pendiri bangsa. Hal ini dapat dimulai dengan ikut serta secara aktif meredam perpecahan paham dan munculnya pendapat yang sangat keras di sekitar kehidupan para dokter, baik di lingkup keluarga maupun komunitas pekerjaan. Para dokter dapat juga meman­faatkan luasnya pergaulan, mahirnya iptek, dan besarnya pengaruh atau kewibawaan profesi. Selain itu, menggalang kebersamaan dengan berbagai pihak yang memiliki keprihatinan serupa, agar potensi perpecahan dapat diredam.

Momentum 20 Mei 2017 seharusnya memunculkan para dokter dengan peran lain, yaitu peran perubahan dan pembangunan kebangsaan, sebagaimana telah dilakukan oleh dr Wahidin dalam pembentukan Boedi Oetomo dahulu. Apa­kah sanggup?
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3214 seconds (0.1#10.140)