Percikan Filsafat dalam Novel Rayni Massardi

Senin, 18 September 2023 - 13:12 WIB
loading...
A A A
Di tempat baru Sila bertemu dengan Ruben Purnama, seorang duda muda. Setelah bercerai dengan istrinya yang warga negara Australia, Ruben memilih tinggal di kota kecil itu dan membuka usaha toko makanan sehat.

Selain Ruben, Sila juga kerap melihat bayangan seorang pria di sekitar rumahnya. Sesekali bayangan itu seperti memanggilnya. Hingga suatu kali sosok itu tampak begitu jelas: seorang lelaki yang duduk di kursi rumahnya. Namanya Sigap Walam. Sosok ini juga membuat novel Rayni jadi agak-agak surrealis.

Sigap Walam ini selalu hadir dalam kehidupan Sila. Bahkan makin lama Sigap makin penting dalam hidupnya. Aneka peristiwa terjadi atau dilalui antara Sila dan Sigap Walam. Suatu hubungan yang cukup misterius. Namun, pada suatu waktu, Sigap menghilang begitu saja. Sila dengan bantuan Ruben mencari Sigap, tapi tidak ketemu..

Dalam menampilkan karakter tokoh utamanya, Rayni menggunakan metode langsung (telling). Metode ini mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Ini berbeda jika pengarang menggunakan metode tidak langsung (showing). Dalam metode showing, pengarang menempatkan diri di luar kisah dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk memampilkan perwatakan mereka sendiri melalui dialog dan tindakan (action). Meskipun, belakangan banyak juga pengarang yang menggunakan kedua metode itu sekaligus dalam karyanya.

Sedangkan mengenai isinya, di beberapa bagian, saya cukup terkejut dengan penggambaran Rayni tentang tokoh Sila. Apa yang dirasakan, dikatakan, dan dilakukan Sila, memunculkan kelebatan pandangan beberapa filosof sekaligus di kepala saya.

Sila yang digambarkan hidup sendiri dan memandang dunia dan masyarakat sebagai kumpulan “orang sakit” itu agak mirip dengan kehidupan Arthur Schopenhauer. Bagi Schopenhauer, bergaul dengan banyak orang adalah “memuakkan” dan “membuang waktu”. Ia mengejek masyarakat sebagai “para karikatur”, “rumah sakit penuh orang tolol”, dan “pertunjukan para penipu”. Dia memandang hidup ini adalah tragis, berbahaya, dan mengerikan.

Menurut Schopenhauer, realitas kita ini sakit, tidak beres, dan jahat. Di dunia manusia ini terdapat egoisme, kemiskinan, kesengsaraan, penyakit, dendam, ketidakpercayaan, dan pembunuhan. Yang tidak baik dalam dunia ini jauh lebih besar jumlahnya daripada yang baik.

Pandangan Schopenhauer ini bahkan menginspirasi Friedrich Wilhelm Nietzche pada periode awal. Namun, pada keduanya terdapat perbedaan yang penting. Sementara Schopenhauer cenderung menolak kehidupan atau melarikan diri darinya, sikap Nietzche sebaliknya. Dia dengan tegas menerima kehidupan ini dengan mengatakan “ya” (Ja-Sagen) terhadap kehidupan ini.

Masih menurut Schopenhauer, hakekat dunia ini bukanlah sesuatu yang rasional (akal budi, logos, Ide, Roh absolut, atau Subjek transendental), melainkan sesuatu yang bersifat tidak rasional. Ia menamakan unsur tidak rasioal ini sebagai “Kehendak untuk hidup” (der Wille zum Laben). Dunia ini dikuasai oleh Kehendak. Dunia ini dipandang oleh Schopenhauer sebagai Kehendak dan Gagasan. Rasio dan pengetahuan hanyalah pelayanan kepada Kehendak itu.

Lalu, tindakan dan keputusan-keputusan manusia pertama-tama tidak berasal dari kesadarannya, tetapi muncul atas dorongan kehendak yang tidak rasional. Adapun kesadaran kita cuma sebagian kecil dari hakekat manusia. Ia hanyalah "permukaan" dari sebuah "lautan" yang dalam. Keputusan-keputusan kita muncul dari dalam lautan itu. Pendeknya, dunia batin serta akal budi kita dikuasai oleh kehendak yang buta ini. Hidup manusia, menurutnya, selalu berarti mengalami penderitaan, meskipun hal itu bisa diatasi melalui kesenian atau secara radikal memadamkan segala hawa nafsu dan melepaskan diri dari segala keinginan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2374 seconds (0.1#10.140)