Percikan Filsafat dalam Novel Rayni Massardi
loading...
A
A
A
Semua memo, keinginannya untuk dikremasi, diselipkan Sila di mana saja. Ditempel pada cermin di kamar, di kamar mandi, di dapur, juga dalam kertas yang dibekukan bersama es batu di dalam kulkas. Isinya akan mengingatkan kepada setiap orang yang menemukan jasadnya, agar mengkremasi saja, membakar tubuhnya, dan melarungkan abunya ke tengah lautan. Surat legal berisi wasiatnya mengenai kremasi, pemberian organ tubuh, juga sudah dibuat dan dititipkan di kantornya. Wasiat untuk segala aset dan kepemilikan harta bendanya, dipercayakan kepada yayasan yatim piatu dan beberapa rumah jompo, workshop anak jalanan, rumah sakit kecil, dan banyak lagi, yang semuanya harus dikelola di bawah payung perusahannya.
Sila merasa telah dikhianati oleh semua yang telah dia percayai. Sila merasa telah tersakiti oleh permainan dunia ini! Mungkin, ini saja yang akan tersisa sebagai luka pada dirinya, hingga dia kelak mati sendiri.
Sekian tahun dan sekian waktu berlalu. Terlipat sebuah surat wasiat dari Wijaya Munar, ayah Sila, yang wafat beberapa tahun lalu. Ia meninggalkan warisan dan membagikan seluruh asetnya, kepada ketiga anaknya: Sukat, Sulis, dan Sila. Di antaranya, Sila mendapatkan tambahan sebidang tanah di kota kecil, yang berada di ujung jalan, di dekat rumahnya. Menurut wasiat itu, Wijaya Kumar mewarisi lahan itu dari mendiang Ayahnya, yang ternyata bernama Sigap Walam!
Apakah sebagian dari isi novel ini merupakan solilokui Rayni sendiri? Siapa tahu. Atau tidak terlalu penting. Yang jelas, melalui novel ini, Rayni sudah menunjukkan kemampuannya menulis novel yang dapat memancing “percakapan filosofis” tentang hakekat dunia, hakekat hidup, dan hakekat manusia dengan segala persoalannya.
.
Sila merasa telah dikhianati oleh semua yang telah dia percayai. Sila merasa telah tersakiti oleh permainan dunia ini! Mungkin, ini saja yang akan tersisa sebagai luka pada dirinya, hingga dia kelak mati sendiri.
Sekian tahun dan sekian waktu berlalu. Terlipat sebuah surat wasiat dari Wijaya Munar, ayah Sila, yang wafat beberapa tahun lalu. Ia meninggalkan warisan dan membagikan seluruh asetnya, kepada ketiga anaknya: Sukat, Sulis, dan Sila. Di antaranya, Sila mendapatkan tambahan sebidang tanah di kota kecil, yang berada di ujung jalan, di dekat rumahnya. Menurut wasiat itu, Wijaya Kumar mewarisi lahan itu dari mendiang Ayahnya, yang ternyata bernama Sigap Walam!
Apakah sebagian dari isi novel ini merupakan solilokui Rayni sendiri? Siapa tahu. Atau tidak terlalu penting. Yang jelas, melalui novel ini, Rayni sudah menunjukkan kemampuannya menulis novel yang dapat memancing “percakapan filosofis” tentang hakekat dunia, hakekat hidup, dan hakekat manusia dengan segala persoalannya.
.
(wur)